Membicarakan perihal sastra bukanlah hal yang sebentar, bukan juga sedikit. Agak susah untuk memilah-milah dan memilih fokus. Tapi, walau bagaimana pun, pembicaraan itu harus tetap diangkat. Karena sastra adalah bagian dari peradaban, bahkan dapat dibilang, sastra juga memiliki turut andil yang besar dalam membangun peradaban. Tidak terkecuali di Indonesia.
Sastra di Indonesia ini, sudah berada lama sekali, bahkan ketika wacana mengenai kenegaraan masih jauh dari bentuk jabang bayi. Beberapa pendapat mengatakan sastra muncul sejak kerajaan-kerajaan penganut Hindu bermunculan. Seperti kerajaan Kutai, Tarumanegara, Sriwijaya atau beberapa lagi –terdapat berbagai macam versi mengenai kerajaan tertua. Ditemukannya berbagai macam prasasti yang dipercayai dari zaman tersebut, menunjukkan adanya peran aksara dan bahasa dalam peradaban kerajaan. Dengan adanya aksara dan bahasa, sangat tidak mustahil ada pula bentuk kesusastraan, meski nilai-nilai kesusastraan di zaman itu tentu tidak sama dengan saat ini. Kesusastraan pada masa silam lebih bersifat religuitas dan sakral. Para pandai aksara berasal dari kaum Brahmana, tingkatan tertinggi dalam kasta Hindu.
Tetapi, ternyata kesusastraan bukan pula hanya terbatas pada aksara. Sebuah masyarakat yang belum mengenal aksara, belum tentu juga tidak memiliki konsep kesusastraan. Dengan demikian, masyarakat zaman animisme atau yang masih berorientasi pada dewa-dewa, yang keberadaannya sudah ada jauh sebelum adanya kerajaan, tidak dapat diacuhkan dalam hal ini. Misalnya, di masyarakat Dayak Uud Danum, ada dikenal Kolimoi dan Tahtum yang hingga kini masih bersifat lisan. Disinyalir keberadaan folkor yang mirip Mahabarata dan Ramayana itu sudah ada sejak pra-masehi.
Lebih jauh lagi, sastra mungkin telah ada sejak adanya manusia pertama kali. Penggambaran ini diungkapkan oleh Octavio Paz dalam essainya Suara Lain, “Hubungan antara manusia dengan puisi (bisa juga dibaca “sastra”) sama tuanya dengan sejarah kita; ia mulai ketika manusia menjadi manusia. Pemburu pertama dan pengumpul bahan makanan pertama pada suatu hari memandang kepada diri mereka dengan rasa heran. Hal ini berlangsung sejenak namun tak berkesudahan dan melahirkan akhiran teduh sebuah puisi. Sejak saat itu orang-orang tidak berhenti memandang kepada diri mereka pada cermin itu. Dan mereka telah melihat pada diri mereka sendiri, pada suatu waktu dan waktu yang sama, sebagai kreator citra-citra dan sekaligus sebagai citra-citra ciptaan mereka sendiri. Untuk alasan itulah saya dapat menyatakan dengan sedikit kepastian, bahwa selama di sana ada orang, ada manusia, maka di sana akan ada puisi”.
Melalui ungkapan Paz tersebut, dapat kita temukan satu titik temu antara keberadaan manusia dan kesusastraan. Keduanya ternyata tidak dapat dipisahkan, seperti sosok dan bayangannya, sosok dan cerminnya. Kita pun sampai pada kesimpulan sementara; sastra memang telah ada sejak nafas manusia yang pertama kali ada.
Mungkin pernyataan tersebut terdengar terlalu melankolis atau “meninggi-ninggikan sastra”. Tetapi, kenyataannya sastra memang selalu ada. Ternyata pula, ia memiliki pengaruh yang tidak sedikit dalam perjalanan umat manusia. Kegiatan “meninggikan” sastra, dapat menjadi suatu upaya menciptakan peradaban yang lebih baik. Hal ini dapat kita lihat lewat pembacaan terhadap sejarah. Yunani Kuno. Ia masih diingat keberadaannya, salah satu faktor utamanya karena kesusastraan mereka. Nama-nama semacam Aristoteles, Plato, Socrates tidak dapat dilepaskan dari perkembangan umat manusia meski Yunani Kuno telah lama menghilang. Contoh lain lagi, kita bisa melihat pada zaman Harun Al-Rasyid. Kesusastraan memiliki posisi yang diprioritaskan kala itu, membuat kisah 1001 Malam, Abu Nawas, atau Nasruddin, menjadi terkenang hingga kini. Zaman Al-Rasyid pun akhirnya kerap dijadikan parameter “zaman keemasan”. Lainnya, kisah Mahabarata dan Ramayana, juga memiliki andil besar dalam membangun peradaban India, juga masyarakat-masyarakat yang di kemudian hari menganut Hindu. Contohnya, kerajaan-kerajaan awal Nusantara. Kedua kisah tersebut, sudah tidak perlu dipertanyakan lagi kebesaran dan keajaibannya. Di tanah Jawa juga, kita pun mendapat kebesaran Serat Centini, kitab Pararaton, Serat Kertanegara, dan macam-macam lagi, yang ternyata memiliki nilai-nilai yang besar dalam pembangunan peradaban Jawa lama, membuat kita bisa mengingat bahwa zaman itu adalah salah satu zaman terbaik yang pernah ada di nusantara.
Kesemuanya menunjukkan bahwa keberadaan sastra memiliki posisi yang penting dalam pembangunan peradaban. Peradaban yang terbaik, salah satu indikatornya adalah ketika sastra ditempatkan pada tempat yang selayaknya dan tidak diacuhkan. Mengacuhkan sastra dapat dianggap sebagai proses membunuh diri perlahan-lahan. Bukan tanpa landasan kalimat tersebut saya cetuskan, sebab sering sastra memiliki andil terhadap suatu perubahan negri. Perang saudara di Amerika misalnya, salah satunya disebabkan karena munculnya novel Uncle Tom yang ditulis oleh Harriet Beecher Stowe, dipublikasikan pada 1852. Amerika pun lantas berangsur-angsur melihat manusia secara sama rata, tanpa membedakan warna kulit. Di Indonesia, pernah terjadi masa keberadaan Balai Pustaka dianggap senjata kolonial sehingga membuat banyak pengarang menerbitkan “karya tandingan”. Secara langsung dan tidak langsung, keadaan tersebut ternyata turut memunculkan kesadaran kemerdekaan. Pasca kemerdekaan, perseteruan-perseteruan kembali terjadi juga, antar ideologi budaya atau antara ideologi budaya dengan realitas kekuasaan; Perseteruan konsep arah perjalanan budaya bangsa antara ketimuran yang diwakili oleh Armijn Pane atau kebaratan yang diwakili oleh Sutan Takdir Alisyahbana; perseteruan Manikebu dan Lekra; Demonstrasi di masa reformasi 66 yang salah satu penyebabnya adalah puisi-puisi Taufiq Ismail; beberapa demonstrasi zaman Soeharto karena puisi Wiji Tukul. Dan beberapa lagi.
Bicara tentang sastra, bukan sekadar bicara tentang kumpulan imajinasi yang dibahasakan. Sastra tidak lahir dari kekosongan realita. Ia tidak seratus persen imajinatif. Selalu ada kandungan yang diusungnya, entah itu dari segi filsafat, agama, politik, sejarah, psikis, atau sosial. Karena itu, bagi saya sendiri, bila Al-Kitab dianggap sebagai pencerahan, maka sastra adalah keterbukaan. Selalu ada sudut pandang lain yang mungkin muncul dari tempat yang tidak terduga, menyadarkan kita bahwa dunia begitu luas dan dalam.
Sayangnya, kebanyakan masyarakat Indonesia tidak beranggapan demikian. Sastra sering dituduh sebagai bacaan “tak berisi” karena dianggap sekadar berisikan imajinasi dan khayalan. Novel, puisi, cerpen, naskah lakon, hanya dipandang sebagai bacaan hiburan. Orang tua akan lebih senang anaknya membaca buku Fisika ketimbang menjadi pecandu Sastra (bukan dengan maksud mendiskriminasikan Fisika atau Ilmu Pasti). Bahkan, tidak sedikit orang tua yang mengharamkan sastra, karena takut anaknya menjadi tukang melamun. (padahal, tidak sedikit dari orang tua tersebut selalu menunggu dengan tidak sabar lanjutan sinetron). Di ruang pendidikan, sama saja. Seorang teman pernah bercerita bahwa ada guru yang melarang murid-muridnya membaca novel dengan alasan buku pelajaran lebih penting untuk dibaca. Dan kejadian itu adalah hal yang tidak asing, membuat kita bertanya-tanya “apakah pendidikan hanya ditolak ukur dari sebatas buku pelajaran?”. “Bukankah esensi pendidikan adalah peluasan wawasan?”. Di ruang media massa (koran, televisi)yang memiliki andil besar dalam menentukan budaya dan pola pikir masyarakat, sastra sering dinomor sekiankan. Hanya beberapa media massa yang masih mengapresasi karya sastra dengan amat baik. Selebihnya hanya bersifat ala kadar dan bahkan enggan.
Suatu saat saya melamar pekerjaan di sebuah media massa yang cukup besar. Setelah beberapa kali test, sampailah pada test wawancara. Tiga jam penuh saya berhadap-hadapan dengan kepala bagian SDM, saling tanya jawab. Salah satu konteks pertanyaan adalah mengenai sastra dan budaya (koran ini tidak memiliki rubrik sastra dan budaya). Saya kemukakan argumen saya dan dia tertawa kecil. Katanya "kalau mau jadi wartawan khusus bagian budaya, susah. Tidak setiap hari ada konser musik dan perlombaan tari-tarian. Dan tanpa rubrik sastra pun koran kita sudah besar". Ah, budaya hanya dianggap sebagai komoditi (pantas kalau pemerintahan menyandingkan Budaya dengan Pariwisata dalam satu dinas)... dan sastra, seperti yang sudah dibilang, zaman ini seperti itik salah kandang.
*****
Pentingnya keeksistensian karya sastra pernah diangakat oleh Adonis, salah seorang pengarang kontemporer Arab. Ia pernah mencetuskan kalimat “sastrawan hampir sama dengan nabi”. Ucapan yang terdengar kontroversial itu dilandasi dari anggapan bahwa fungsi sastrawan dan agama sesungguhnya tidak jauh berbeda. Keduanya sama-sama mengandung konsep “society controller”. Bedanya, jika agama memiliki nilai dogma (dalam arti seluas-luasnya) yang kadang tidak bisa diganggu gugat, sastra lebih bersifat terbuka dan bukan berarti antara agama dan sastra mesti harus dicari pemenangnya (seakan-akan kebenaran adalah ajang mencari juara). Keduanya sering kali berkolerasi dan memang sepatutnya demikian. Keterbukaan sastra sering dipraktekan para penulis sufistik untuk mendalami lebih jauh keberadaan agama dan hubungan dengan Tuhan. Di Indonesia, penulis-penulis semisal Y.B. Mangunwijaya, Danarto, A.A Navis dan Mustafa Bisri, bisa menjadi acuan dalam melihat keakraban antara agama dan sastra. Sastra dan agama seperti kakak beradik saja, bahkan meski seorang penyair “menampikkan” Tuhan.
Reposisi terhadap keberadaan sastra di Indonesia, simpulannya, mesti terus diadakan. Sastra sudah semestinya tidak dipahami sebagai media hiburan, fiktif, dan imajinatif belaka. Pendidikan dapat menjadi wadah pertama dalam proses reidentifikasi ini, sebab pendidikan adalah modal utama untuk arah perjalanan yang lebih baik. Jika keberadaan sastra tetap dianggap sebagai konteks yang terpisah sama sekali dari realitas sosial, akan sangat sulit menduga-duga peradaban bangsa ini bisa sebaik, misalnya zaman Harun Al-Rasyid. Dan pemisahan tersebut telah menunjukkan bahwa imajinasi, sebagai salah satu unsur penting sastra, dan sebagai salah satu karunia terbaik dalam diri manusia, ditempatkan pada posisi yang salah kaprah. Hanya sebagai “embel-embel” eksistensi manusia. Padahal, “imajinasi lebih hebat dari sains apapun” begitu tutur Einstein. Lanjutan kalimat Ovtavio Paz berikut ini, bisa menjadi tafsiran bagi kalimat Enstein tersebut. “Lahir dari imajinasi manusia, ia (sastra) bisa saja mati sekiranya imajinasi mati dan dikorup. Jika manusia melupakan sastra, mereka akan melupakan diri mereka. Dan akhirnya, kembali kepada kekacaubalauan semula.”
Boleh kita juga mengingat ungkapan Pramodya Ananta Toer, sebagai sirene instropeksi, bukan nada provokasi. “Kalian boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan apa saja, tapi tanpa mencintai sastra, kalian tinggal hanya hewan yang pandai."
Singkawang, 7 Agustus 2012
Jejak-jejak langkah, tak selalu di dinding batu. Banyak yang tergerus ombak dan kembali ke lautan. Seperti batu itu pun, nanti.
Rabu, 12 September 2012
Selasa, 28 Agustus 2012
JEJAK LANGKAH PASIR (8); MANUSIA ITU BERNAMA JUMENA
*Dipublikasikan juga di Pontianak Post, 14 Agustus 2012
Lelaki tua bernama Jumena itu, duduk sendiri. Ia memandang sepi pada tali di hadapannya, yang disediakan untuk menggantung dirinya. Jumena lalu beranjak ke arah tali, dan bersiap-siap untuk mati sampai akhirnya ia berkata “Kalau saya bunuh diri, sandiwara ini tidak akan pernah ada.”
Lalu, lakon Sumur Tanpa Dasar, yang ditulis Arifin C. Noer, antara tahun 1960-1970 (terdapat berbagai versi mengenai ini), pun bermula. Semua alur dan jalinan konflik bertitik fokus pada tokoh Jumena, tokoh yang berorientasi pada materi dan rasionalitas, yang mengabaikan relasi sosial (ia tidak mempercayai semua istrinya, termasuk istri keempatnya, Euis, karena beranggapan mereka bermaksud mendapatkan hasil dari timbunan hartanya; menuduh Marjuki, adik angkatnya, dan semua karyawannya, berniat menipu dirinya), tokoh yang berteriak akan melawan malaikat dan setan-setan yang berani mengganggu lemari uangnya, dan tokoh yang bingung dengan eksistensinya. Karena itu, Jumena bisa dibilang mengidap krisis eksistensi. Krisis eksistensi Jumena tersebut yang menjadi pokok alur, dari awal hingga layar tertutup. Dan, tidak ada akhir konflik. Tidak ada penyelesaian konflik. Seakan-akan, Jumena sesungguhnya tidak mati.
Sebab, apa yang dialami Jumena memang tidak berdasar. Berputar-putar begitu saja. Jumena adalah manusia yang bimbang mengenai makna hidup sejati dan tidak pernah “mendapat apa yang dicari” atau tenggelam dalam “sumur tanpa dasar”. Dalam kerangka filsafat, hal tersebut amat bersentuhan dengan konsep eksistensialisme. Arifin memang pernah mengakui, ia ada dipengaruhi oleh pemikiran Freud dan beberapa pemikir eksistensialisme. Mungkin Albert Camus menarik perhatiannya juga, sebab beberapa teks lakon Sumur Tanpa Dasar mirip dengan Caligula, naskah besar si Camus. Dan Caligula itu, menekankan eksistensialisme yang absurd; bahwa hidup adalah sesuatu yang riddicolous, konyol. Atas dasar itu, Caligula pun merasa bebas untuk membunuh, memerkosa, dan merampok. Tapi Arifin bukanlah Camus. Jumena bukanlah Caligula.
Tidak ada pembunuhan besar-besaran yang dilakukan Jumena. Tidak ada kematian tragis yang menjadi akhir riwayat Jumena. Arifin tidak ingin “mematikan” tokoh ini, sebab ia mengira-ngira bahwa Jumena akan selalu ada. Jumena hanya simbol ucapan selamat datang kepada era modern. Jumena diciptakan Arifin, terutama untuk Indonesia “Saya melihat potret orang masa kini alias ‘modern’ dalam diri dan konflik Jumena Martawangsa, lelaki tua yang sukses tapi harus menghadapi suksesi itu....dan yang lebih penting tokoh Jumena mewakili orang Indonesia sekarang, yang merupakan ajang pertempuran antara masa-silam dan masa-depan, antara kekolotan dan kemajuan, antara kemapanan dan perubahan antara idealisme dan materialisme. Antara Tuhan dan Dajjal. Suatu pertempuran fikiran yang menyebabkan Jumena menjadi porak poranda sebagai manusia”.
Arifin nampaknya benar. Sejak Indonesia beralih dari negara terjajah ke negara merdeka, lalu dari era Soekarno atau era Soeharto, dan era-era lainnya lagi, Indonesia tidak pernah lepas dari pertikaian ideologi, secara massal ataupun individual. Masing-masing berusaha mencari dirinya. Terus berlangsung hingga dekade dekat-dekat ini. Tentu, makna ideologi disini tidak sekadar isme-isme yang sering dibahas dalam pelajaran sejarah perpolitikan. Kecenderungan sosial dan budaya juga masuk dalamnya. Termasuk juga, kecenderungan untuk berlaku seperti Jumena yang berorientasi pada materi.
Majalah Tempo, edisi 20-26 Februari 2012, mewartakan, lima puluh persen lebih penduduk Indonesia, secara statistik, adalah kaum menengah ke atas. Suatu hal yang menggembirakan jika dilihat dari sudut pandang ekonomi. Tetapi, eksistensi seseorang tentu tidak hanya ditandai oleh statistik finansialnya. Karena sering, orientasi materi hanya menutup mata seseorang terhadap keberadaan orang lain.
Bukan perihal yang mengherankan jika suatu saat kita temui seseorang yang memiliki koleksi tas Hermes, baju Hugo Boss, atau bahkan mobil Alphard hanya untuk dipakai sesekali. Bukan hal yang aneh bila ada kita temui seseorang dengan berbagai macam koleksi sepatu dengan harga minimal sekian juta hanya untuk disimpan di almari. Dan saya pribadi, pernah kenal seseorang yang lebih rela menghutang buku kuliah demi pergi ke Singapura, menonton boy band Korea. Sebagian bergerak dengan tujuan gengsi dan materi. Orientasi pada hal-hal itu muncul karena perkembangan budaya.
Perkembangan budaya, banyak faktor yang turut andil di dalamnya. Pasar, gejala si Narcissus yang tidak tertahankan, pendidikan, dan macam-macam lagi. Kesemuanya, pada akhirnya, hanya menjadikan seseorang menjadi individualistis. Semakin nampak nyata bila mereka disandingkan dengan orang-orang yang bersusah payah hanya demi memenuhi kebutuhan, yang jumlah mereka tidak sedikit. Kalau keironisan tersebut tidak menggugah mereka, akan menjadi tidak masalah. Namun yang kerap terjadi adalah, masalah dan masalah. Memang hidup akan selalu diliputi masalah. Tinggal memilih saja, ingin masalah yang rada prinsipil atau konyol. Dan masalah yang ditimbulkan karena gengsi nampaknya sesuatu yang konyol. Ada orang yang terjerat hutang hanya karena ngebet punya rumah baru. Ada orang yang jatuh miskin gara-gara belanja blak-blakan dengan kartu kredit. Ada orang yang terjerat kasus korupsi karena agar mendapat gelar haji. Akhirnya, yang tampak jelas dari mereka hanyalah kehadiran Jumena-Jumena baru.
Lalu kita bertanya-tanya, bagaimanakah memenuhi impian agar meninggal dengan tenang, dikelilingi sanak tercinta, dihembus angin pantai, dan senyuman? Sebab, itulah impian terbanyak dari umat manusia, menunjukkan bahwa yang dicari manusia dari kehidupan adalah kebahagiaan. Lantas, kita pun melangkah ke dalam agama, ke dalam seminar enterpreneurship, ke dalam profesi, ke dalam buku-buku. Masing-masing dengan jalannya masing-masing. Masing-masing dengan keyakinannya masing-masing. Masing-masing ingin menghindari diri dari menjadi Jumena. Dan Arifin mencoba membantu. Katanya, setelah lama lakon itu ia tulis, kesalahan Jumena yang paling fatal adalah; tidak lagi sepenuhnya kepada Tuhan (Teater Tanpa Masa Silam, 2005:160).
Namun, “eksistensi manusia” sama artinya dengan “semua bergantung pada manusianya”. Langkah kaki, tetap manusia yang melakukannya. Mungkin, bisa dimulai dari mencari makna sesungguhnya dari “ketenangan”.
“Kalau saya bisa percaya, saya tenang. Kalau saya bisa tidak percaya, saya tenang. Kalau saya bisa percaya dan bisa tidak percaya, saya tenang. Tapi, saya tidak bisa percaya tidak bisa tidak percaya, jadi saya tidak tenang. Tapi juga, kalau saya tenang, tak akan pernah ada sandiwara ini” ujar Jumena. Dan begitulah realitas kehidupan (baca; sandiwara), dari rahim yang tenang, kita lahir untuk mencari ketenangan, sampai atau tidak sampai.
Terima kasih.
Singkawang, 1 Agustus 2012
Lelaki tua bernama Jumena itu, duduk sendiri. Ia memandang sepi pada tali di hadapannya, yang disediakan untuk menggantung dirinya. Jumena lalu beranjak ke arah tali, dan bersiap-siap untuk mati sampai akhirnya ia berkata “Kalau saya bunuh diri, sandiwara ini tidak akan pernah ada.”
Lalu, lakon Sumur Tanpa Dasar, yang ditulis Arifin C. Noer, antara tahun 1960-1970 (terdapat berbagai versi mengenai ini), pun bermula. Semua alur dan jalinan konflik bertitik fokus pada tokoh Jumena, tokoh yang berorientasi pada materi dan rasionalitas, yang mengabaikan relasi sosial (ia tidak mempercayai semua istrinya, termasuk istri keempatnya, Euis, karena beranggapan mereka bermaksud mendapatkan hasil dari timbunan hartanya; menuduh Marjuki, adik angkatnya, dan semua karyawannya, berniat menipu dirinya), tokoh yang berteriak akan melawan malaikat dan setan-setan yang berani mengganggu lemari uangnya, dan tokoh yang bingung dengan eksistensinya. Karena itu, Jumena bisa dibilang mengidap krisis eksistensi. Krisis eksistensi Jumena tersebut yang menjadi pokok alur, dari awal hingga layar tertutup. Dan, tidak ada akhir konflik. Tidak ada penyelesaian konflik. Seakan-akan, Jumena sesungguhnya tidak mati.
Sebab, apa yang dialami Jumena memang tidak berdasar. Berputar-putar begitu saja. Jumena adalah manusia yang bimbang mengenai makna hidup sejati dan tidak pernah “mendapat apa yang dicari” atau tenggelam dalam “sumur tanpa dasar”. Dalam kerangka filsafat, hal tersebut amat bersentuhan dengan konsep eksistensialisme. Arifin memang pernah mengakui, ia ada dipengaruhi oleh pemikiran Freud dan beberapa pemikir eksistensialisme. Mungkin Albert Camus menarik perhatiannya juga, sebab beberapa teks lakon Sumur Tanpa Dasar mirip dengan Caligula, naskah besar si Camus. Dan Caligula itu, menekankan eksistensialisme yang absurd; bahwa hidup adalah sesuatu yang riddicolous, konyol. Atas dasar itu, Caligula pun merasa bebas untuk membunuh, memerkosa, dan merampok. Tapi Arifin bukanlah Camus. Jumena bukanlah Caligula.
Tidak ada pembunuhan besar-besaran yang dilakukan Jumena. Tidak ada kematian tragis yang menjadi akhir riwayat Jumena. Arifin tidak ingin “mematikan” tokoh ini, sebab ia mengira-ngira bahwa Jumena akan selalu ada. Jumena hanya simbol ucapan selamat datang kepada era modern. Jumena diciptakan Arifin, terutama untuk Indonesia “Saya melihat potret orang masa kini alias ‘modern’ dalam diri dan konflik Jumena Martawangsa, lelaki tua yang sukses tapi harus menghadapi suksesi itu....dan yang lebih penting tokoh Jumena mewakili orang Indonesia sekarang, yang merupakan ajang pertempuran antara masa-silam dan masa-depan, antara kekolotan dan kemajuan, antara kemapanan dan perubahan antara idealisme dan materialisme. Antara Tuhan dan Dajjal. Suatu pertempuran fikiran yang menyebabkan Jumena menjadi porak poranda sebagai manusia”.
Arifin nampaknya benar. Sejak Indonesia beralih dari negara terjajah ke negara merdeka, lalu dari era Soekarno atau era Soeharto, dan era-era lainnya lagi, Indonesia tidak pernah lepas dari pertikaian ideologi, secara massal ataupun individual. Masing-masing berusaha mencari dirinya. Terus berlangsung hingga dekade dekat-dekat ini. Tentu, makna ideologi disini tidak sekadar isme-isme yang sering dibahas dalam pelajaran sejarah perpolitikan. Kecenderungan sosial dan budaya juga masuk dalamnya. Termasuk juga, kecenderungan untuk berlaku seperti Jumena yang berorientasi pada materi.
Majalah Tempo, edisi 20-26 Februari 2012, mewartakan, lima puluh persen lebih penduduk Indonesia, secara statistik, adalah kaum menengah ke atas. Suatu hal yang menggembirakan jika dilihat dari sudut pandang ekonomi. Tetapi, eksistensi seseorang tentu tidak hanya ditandai oleh statistik finansialnya. Karena sering, orientasi materi hanya menutup mata seseorang terhadap keberadaan orang lain.
Bukan perihal yang mengherankan jika suatu saat kita temui seseorang yang memiliki koleksi tas Hermes, baju Hugo Boss, atau bahkan mobil Alphard hanya untuk dipakai sesekali. Bukan hal yang aneh bila ada kita temui seseorang dengan berbagai macam koleksi sepatu dengan harga minimal sekian juta hanya untuk disimpan di almari. Dan saya pribadi, pernah kenal seseorang yang lebih rela menghutang buku kuliah demi pergi ke Singapura, menonton boy band Korea. Sebagian bergerak dengan tujuan gengsi dan materi. Orientasi pada hal-hal itu muncul karena perkembangan budaya.
Perkembangan budaya, banyak faktor yang turut andil di dalamnya. Pasar, gejala si Narcissus yang tidak tertahankan, pendidikan, dan macam-macam lagi. Kesemuanya, pada akhirnya, hanya menjadikan seseorang menjadi individualistis. Semakin nampak nyata bila mereka disandingkan dengan orang-orang yang bersusah payah hanya demi memenuhi kebutuhan, yang jumlah mereka tidak sedikit. Kalau keironisan tersebut tidak menggugah mereka, akan menjadi tidak masalah. Namun yang kerap terjadi adalah, masalah dan masalah. Memang hidup akan selalu diliputi masalah. Tinggal memilih saja, ingin masalah yang rada prinsipil atau konyol. Dan masalah yang ditimbulkan karena gengsi nampaknya sesuatu yang konyol. Ada orang yang terjerat hutang hanya karena ngebet punya rumah baru. Ada orang yang jatuh miskin gara-gara belanja blak-blakan dengan kartu kredit. Ada orang yang terjerat kasus korupsi karena agar mendapat gelar haji. Akhirnya, yang tampak jelas dari mereka hanyalah kehadiran Jumena-Jumena baru.
Lalu kita bertanya-tanya, bagaimanakah memenuhi impian agar meninggal dengan tenang, dikelilingi sanak tercinta, dihembus angin pantai, dan senyuman? Sebab, itulah impian terbanyak dari umat manusia, menunjukkan bahwa yang dicari manusia dari kehidupan adalah kebahagiaan. Lantas, kita pun melangkah ke dalam agama, ke dalam seminar enterpreneurship, ke dalam profesi, ke dalam buku-buku. Masing-masing dengan jalannya masing-masing. Masing-masing dengan keyakinannya masing-masing. Masing-masing ingin menghindari diri dari menjadi Jumena. Dan Arifin mencoba membantu. Katanya, setelah lama lakon itu ia tulis, kesalahan Jumena yang paling fatal adalah; tidak lagi sepenuhnya kepada Tuhan (Teater Tanpa Masa Silam, 2005:160).
Namun, “eksistensi manusia” sama artinya dengan “semua bergantung pada manusianya”. Langkah kaki, tetap manusia yang melakukannya. Mungkin, bisa dimulai dari mencari makna sesungguhnya dari “ketenangan”.
“Kalau saya bisa percaya, saya tenang. Kalau saya bisa tidak percaya, saya tenang. Kalau saya bisa percaya dan bisa tidak percaya, saya tenang. Tapi, saya tidak bisa percaya tidak bisa tidak percaya, jadi saya tidak tenang. Tapi juga, kalau saya tenang, tak akan pernah ada sandiwara ini” ujar Jumena. Dan begitulah realitas kehidupan (baca; sandiwara), dari rahim yang tenang, kita lahir untuk mencari ketenangan, sampai atau tidak sampai.
Terima kasih.
Singkawang, 1 Agustus 2012
JEJAK LANGKAH PASIR (7); UTOPIA DALAM KEMUSTAHILAN DAN KEMUNGKINAN
Ada yang harus kuungkapkan
Tentang mimpi-mimpiku
Bercerita soal kehidupan
Di atas pulau biru
Gak ada hakim, dan terdakwa, jauh dari kriminal.
Itu adalah kutipan lirik lagu PulauBiru, Slank. Larik ‘mimpi-mimpiku’, sepertinya bukan mimpi sang pencipta lirik, Bimbim, belaka. Itu harapan banyak orang; ada kehidupan yang begitu damai, yang tak perlu hakim dan jaksa. Tetapi, peradaban manusia berdiri dari leher yang terpenggal dan suara letusan senapan. Ada darah yang dituntut. Ada kejahatan yang terkadang mesti. Epos Adam-Hawa menyiratkan bahwa manusia ada di Bumi karena pelanggaran. Pembunuhan Qobil terhadap Habil pun menambahkan, yang tersisa hanyalah keturunan sang pembunuh. Kodrat ‘penjahat’ sepertinya telah melekat di jidad. Dan kita dihadapkan pada pilihan; membenarkan kejahatan atau menjahatkan kejahatan.
Tentu akan selalu ada yang mengelus dada usai membaca rubrik kriminalitas di koran pagi. Elusan dada itu menunjukkan bahwa mimpi harus selalu berlangsung. Jalan ke negeri dongeng yang aman, sejahtera, dan sentosa mesti dibangun. Salah satunya, dengan membentuk ‘wadah’ orang-orang yang memberantas Poerterico –tokoh cerpen Narasi Seorang Pembunuh, karya Sihar Situmorang, yang menyenangi kegiatan membunuh-. Kita pun kemudian mengenal kata ‘Mahkamah’ dan ‘Polisi’.
Sayangnya, lembaga hukum seringkali tidak seperti diharapkan. Terutama di Indonesia, hukum yang kehilangan wibawa kerap menjadi opini di koran dan warta televisi. Sebagian diakibatkan ulah penanggung jawab hukum itu sendiri. Menjatuhkan hukuman 3 tahun penjara (belum lagi remisi) pada koruptor dan 5 tahun untuk maling semangka; menyidang tersangka korupsi dengan seorang hakim yang pernah menjadi tersangka korupsi, adalah salah satu contoh biang hilangnya wibawa. Masyarakat yang tergerus kepercayaannya, akhirnya tidak sabar. Mereka datang ke kantor polisi demi menghakimi sendiri maling motor; membakar polisi karena ditilang; saling adu parang antar golongan/ras/geng/aliran keagamaan dengan polisi hanya menjadi penonton. Ketidakadilan melahirkan ketidakpercayaan. Diri sendiri menjadi merasa memiliki wewenang. Wewenang ini sering bersifat kriminal. Rantai kriminalitas pun tak berujung, melingkar bulat penuh. Ketidakadilan-ketidakpercayaan-kriminalitas-hukum-ketidakadilan....
Satu cinta hilangkan, naluri saling menghancurkan..
Begitu lirik selanjutnya lagu Pulau Biru. Itu penawaran memutus lingkaran, yang tentu tidak hanya datang dari Bimbim. Agak terdengar romantis, tapi mungkin yang terbaik, yang bisa dilakukan dalam ruang lingkup kecil. Erich Fromm merumuskan penawaran ini dalam ruang ‘cinta saudara’; keharmonisan suatu masyarakat dimungkinkan dengan melihat orang lain sebagai bagian dari diri sendiri. Kepentingan diri sendiri pun akhirnya tidak selalu berbentrokan dengan kepentingan masyarakat. Individu menjadi individu itu sendiri, sekaligus menjadi bagian individu lainnya. Individu mencintai diri sendiri, sekaligus mencintai lingkungannya...tindakan buruk bagi orang lain hanya akan kembali pada diri sendiri. Dan sambil terus melihat diri sendiri, patut juga untuk tidak selalu berpandangan pesimis. Sesuatu yang baik adalah sesuatu yang terus berbenah. Muhammad Hatta Ali, resmi menjadi ketua Mahkamah Agung di 1 Maret 2012. Darinya, hukum diharapkan diletakkan pada garis yang seharusnya; adil. Tindakan perubahan mulai tercium. Untuk kasus pencurian kecil-kecilan, sang ketua sudah menerapkan hukum baru. Pencurian dibawah 2,5 juta, hanya diperlakukan seperti sidang tilang. Tidak perlu ada persidangan. Mungkin ini tindakan baik, mungkin juga blunder. Akan menjadi baik selama ada niat baik. Akan menjadi baik selama manusia mendengarkan hatinya, bukan mendengar bisikan kompromi kanan-kiri.
Erich Fromm boleh merumuskan mungkin konsep masyarakat ideal. Bim-Bim boleh bermimpi tentang pulau Biru. Namun, menghapus Poertorico-Poertorico dari rubrik kriminalitas bukan perkara gampang dan sebentar. Hakim, jaksa, terdakwa, akan selalu ada. Sejarah peradaban manusia mengajarkan: selama ada manusia, tidak pernah akan ada utopia. Sekaligus pula, selama ada manusia, selalu ada kemungkinan ke sana.
Pontianak, Maret 2012
Minggu, 05 Agustus 2012
JEJAK PASIR (6); AGAMA DAN TRANSFORMASI SOSIAL
“Agama adalah candu” begitu pernyataan Karl Marx, sebuah ungkapan yang bisa saja menumbuhkan kekesalan para penganut agama. Namun, tentu lebih baik melihat latar belakang mengapa pernyataan itu ada. Pada zaman Marx, agama berfungsi tidak lebih sebagai “hiburan” bagi masyarakat proletar. Dakwah yang dilakukan lembaga-lembaga dan penguasa agama, tentang surga di seberang kematian, lebih bertujuan agar masyarakattidak memprotes kehidupan yang serba miskin dan serba kekurangan. Lebih jauh lagi, agar gejala kolusi, korupsi, antara para tokoh agama dan penguasa tiran dalam berkuasa tidak terganggu dan tidak dikritisi.Bagi penguasa, agama menjadi senjata. Bagi yang dikuasai, agama menjadi candu, menjadi pelarian untuk mengeluhkan kemiskinan dan ketidakadilan.
Keadaan tersebut bertahan dalam waktu yang cukup lama. Doktrin agama yang cenderung sakral untuk dibantah membantu kondisi semacam itu bertahan. Sebab memang, secara psikologi sosial, kecenderungan kesadaran beragama dan kebutuhan bertuhan lebih mudah muncul ketika seseorang ditimpa malapetaka. Seseorang yang merasa mudah putus asa dengan keadaan, ditekan oleh kekuasaan, dan ditambah lagi tiadanya ulur tangan orang lain untuk menariknya dari jurang kelam, akan melakukan satu-satunya yang ia bisa: berdoa pada sesuatu yang bersifat irasional atau transenden. Berdoa dalam kasus ini akhirnya merupakan bentuk pengalihan. Represi, begitu Sigmund Freud mengistilahkannya –Freud juga mengeluarkan komentar yang mirip dengan Marx mengenai “candu agama” ini.
Jika dikaji ulang, secara historis, kemunculan agama-agama umumnyamemang lahir terlebih dahulu di kalangan kaum proletar atau bukan dari kaum penguasa. Keberhasilan dakwah Musa salah satunya karena ia mampu menggaet kaum yang dalam kurun waktu yang lama ditindas oleh Firaun. Keberadaan Isa sebagai nabi hanya diikuti oleh sekelompok kecil dan mereka mesti berhadapan dengan kekuasaan Romawi.
Dalam Islam, hal yang tidak jauh berbeda juga terjadi. Muhammad sendiri bukan dari keluarga kaya raya, namun dari keluarga sederhana. Di masa awal dakwahnya di Mekkah, Muhammad hanya memiliki tidak sampai seratus orang pengikut, sebagian besar bukan dari golongan bangsawan. Keberadaan mereka diperangi oleh hampir seluruh Bani penguasa Makkah. Dalam satu waktu, para pengikut Muhammad bahkan mesti hijrah ke Habsyah demi menghindari teror penguasa. Ketika Muhammad pindah ke Yatsrib (Madinah), barulah ia memiliki posisi yang stategis dalam meluaskan Islam.Di Nusantara, Islamdi masa awal perkembangannya lebih mudah diterima oleh kaum Sudra, kasta terbawah dalam Hindu. Tidak adanya peraturan kasta dalam Islam menjadi salah satu daya tarik utama bagi golongan tersebut.
Simpulannya, makna dan semangat keadilan umumnya lebih dihayati oleh kaum miskin, papa, yang berada pada strata sosial terbawah, dan menjadi objek ekpoitasi kekuasaan yang tertinggi. Oleh sebab itu, kehadiran nabi dalam kalangan proletar tidak dapat dianggap sebagai sebuah kebetulan. Nabi ternyata tidak berfungsi sebagai pembawa risalah agama, yang menjanjikan jalan keselamatan di alam ukhrowi, namun juga menjadi pembela hak asasi manusia. Meski keimanan dan aspek transendental tetap menjadi pokok kehadiran agama, bukan berarti aspek sosial dinomorduakan. Transformasisosial (meminjam istilah Komaruddin Hidayat), jugamenjadi salah satu agenda utama dalam konsep keberagamaan. Namun, meski nabi langsung diutus oleh Tuhan, perubahan sosial tidak serta merta terjadi. Perubahan selalu menuntut proses, sebab secara substansial dan hakiki, masyarakat tetap menjadi subjek bagi diri mereka sendiri. Perubahan yang diharapkan dapat terjadi dengan dimulai dari perubahan mereka sendiri.
Keberadaan nabi dan perubahan sosial, hal tersebutlah yang lantas menimbulkan pertentangan. Para penentang yang umumnya berasal dari kaum penguasa cemas terhadap prinsip keadilan dan paham egalitarianisme yang dibawa oleh agama. Membiarkan mereka sama artinya dengan membiarkan transformasi sosial, transformasi tampuk pimpinan.
Kita akhirnya sama-sama tahu, transformasi sosial itu terjadi. Hukum rimba beralih pada hukum yang manusiawi dan adil. Hal tersebut tidak lepas dari peranan agama. Secara luas, agama perlahan-lahan memegang banyak kendali terhadap peradaban manusia. Agama menjadi panutan dalam hal rohani juga menjadi hukum dalam kehidupan sehari-hari. Di tata pemerintahan, agama juga memegang peranan yang penting. Terutama di dalam Islam, keberhasilan Muhammad, Khulafa Al-Rasyidin, bani Umayyah dan bani Abbasiyah dalam menerapkan sistem keadilan sosial mencatatkan Islam sebagai agama yang sukses membawa peradaban ke arah yang lebih baik.
Tetapi, sejarah mencatat, ada masa agama sulit untuk dipersatukan dengan konsep sosial. Sebab, meski agama membawa konsep egalitarianisme, tetaplah pelaku beragama dan bernegara adalah manusia. Dan manusia adalah makhluk paling baik sekaligus paling buruk yang pernah ada di muka bumi.
Seperti di masa Marx dan Freud, agama tidak lagi dipercayai sebagai konstitusi keadilan sosial dikarenakan agama bahkan sering digunakan sebagai pelanggeng kekuasaan, kepentingan ideologi, dan senjata pembodohan rakyat. Dalam persentuhannya dengan kebenaran pengetahuan, pelaku agama juga sering kali menempatkan diri sebagai pihak otoriter, dan semakin otoriter ketika negara dan agama diotonomikan pada satu pihak saja. Misalnya di pertengahan abad 16, otonomi kekuasaan negara dan agama yang dipegang oleh Paus Alexander IV telah menimbulkan sikap skeptis di kalangan ilmuwan, filsuf, juga masyarakat terhadap agama.Sikap tersebut tidak lepas dari kesewenang-wenangan dan tidak terkontrolnya kelakuan Paus Alexander IV (bernama asli Rodrigo Borgia, dari Spanyol). Dia membuunuh rahib Dominikan Girolamo de Savanarola (1452-1490) yang menghujatnya, berkembang biak seenaknya lewat perzinahan, korup, pesta dan mabuk-mabukan, dan menghambat perkembangan pengetahuan –salah satunya dengan membakar bukuDe Revolutionibus orbium coelestium (Tentang peredaran benda-benda langit) yang terbit pada tahun 1543, karya Nicolaus Copernicus.
Hal yang tidak jauh berbeda dapat ditemukan juga bila kita melihat keruntuhan Bani Abbasiyah. Selain disebabkan oleh serangan dari bangsa Mongol, kejatuhan Abbasiyah juga dikarenakan problem-problem internal yang tidak kalah besar. Banyaknya pemberontakan karena pajak yang tinggi dan degradasi rasa kepercayaan kepada pimpinan, telahmenggangguperekonomian dan kehidupan sosial. Pengeluaranpun semakinmembengkakakibat gaya hidupparakhalifahdanpejabatyang hura-hura dan penuh tindakankorupsi. Masyarakat semakin tidak percaya. Pemberontakan semakin meluas.Segalafaktor itu punsalingberkaitan, tidakterpisahkan, dan tidak terselesaikan hingga Abbasiyah benar-benar jatuh.
Penyalahgunaan peran agama dalam ruang sosial dan birokrasi pemerintahan akhirnya melahirkan paham sekulerisme, pemisahan antara kekuasaan dan agama. Perkembangan sekulerisme, dalam pandangan Sosiolog Max Weber dan teolog Harvey Cox, semakin mendunia akibat pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan menguatnya sistem birokrasi modern. Dampaknya, masyarakat memang cenderung mulai memisahkan antara fungsi bernegara dan fungsi beragama.
Terlepas dari sependapat atau tidaknya mengenai sekulerisme ini, terdapat beberapa catatan peradaban bahwa sekulerisme juga memiliki kandungan nilai positif dan negatif dalam keberagamaan. Komaruddin Hidayat, dalam essai Dari Sekulerisme ke Pluralisme(1992)mengatakan manusia sekuler lebih mempercayai kekuatan dan otonomi manusia. Mereka merasa terbebas dari batang-bayang doktrin agama yang membelenggu. Di satu sisi, di saat orang beragama, ia menyadari sepenuhnya pilihannya, bukan karena paksaan dan otoritas wahyu atau lembaga. Wahyu lebih bersifat inspiratif dan petunjuk, bukan doktrinitas yang tidak bisa diganggu gugat.
Hal-hal tersebut tentu berpengaruh dalam aspek sosial. Sekulerisme yang lahir dari jalan panjang sejarah pun mengambil alih tata kerja transformasi sosial.Transformasi sosial diletakkan kepada lembaga-lembaga yang cenderung terpisah dari agama. Perkembangan perbankan, ekonomi, pendidikan, dan budaya yang tentu berpengaruh pada ruang transformasi sosial lebih bersifat humansentral(sepenuhnya pada manusia, berikut aturan-aturannya). Jika ada persentuhan dengan agama, akan ada pemisahan yang jelas. Sebab, agama sendiri telah terdegradasi konsepnya menjadi “kumpulan dogma”.
Degradasi konsep ini, tentu titik persoalannya bukan pada agama, namun pelakunya. Pelaku agama yang “sungguh-sungguh” pernah dan akan berhasil memberlakukan keadilan sosial, menegakan etika, dan etos transformasi sosial, karena agama memang memiliki begitu banyak kaidah kehidupan sosial. Secara aqidah pun sesungguhnya relasi pada Tuhan dapat dimulakan dari relasi antar-manusia. Hal ini lah yang sekiranya perlu dibina kembali,bukan memberlakukan agama menjadi lembaga himpunan dogma teologis dan layanan ritual untuk menghibur mereka yang tengah berduka dan tersuruk dari panggung kehidupan, seakan-akan agama hanya diperlukan di saat berkeluh kesah dan berdosa.
Keadaan tersebut bertahan dalam waktu yang cukup lama. Doktrin agama yang cenderung sakral untuk dibantah membantu kondisi semacam itu bertahan. Sebab memang, secara psikologi sosial, kecenderungan kesadaran beragama dan kebutuhan bertuhan lebih mudah muncul ketika seseorang ditimpa malapetaka. Seseorang yang merasa mudah putus asa dengan keadaan, ditekan oleh kekuasaan, dan ditambah lagi tiadanya ulur tangan orang lain untuk menariknya dari jurang kelam, akan melakukan satu-satunya yang ia bisa: berdoa pada sesuatu yang bersifat irasional atau transenden. Berdoa dalam kasus ini akhirnya merupakan bentuk pengalihan. Represi, begitu Sigmund Freud mengistilahkannya –Freud juga mengeluarkan komentar yang mirip dengan Marx mengenai “candu agama” ini.
Jika dikaji ulang, secara historis, kemunculan agama-agama umumnyamemang lahir terlebih dahulu di kalangan kaum proletar atau bukan dari kaum penguasa. Keberhasilan dakwah Musa salah satunya karena ia mampu menggaet kaum yang dalam kurun waktu yang lama ditindas oleh Firaun. Keberadaan Isa sebagai nabi hanya diikuti oleh sekelompok kecil dan mereka mesti berhadapan dengan kekuasaan Romawi.
Dalam Islam, hal yang tidak jauh berbeda juga terjadi. Muhammad sendiri bukan dari keluarga kaya raya, namun dari keluarga sederhana. Di masa awal dakwahnya di Mekkah, Muhammad hanya memiliki tidak sampai seratus orang pengikut, sebagian besar bukan dari golongan bangsawan. Keberadaan mereka diperangi oleh hampir seluruh Bani penguasa Makkah. Dalam satu waktu, para pengikut Muhammad bahkan mesti hijrah ke Habsyah demi menghindari teror penguasa. Ketika Muhammad pindah ke Yatsrib (Madinah), barulah ia memiliki posisi yang stategis dalam meluaskan Islam.Di Nusantara, Islamdi masa awal perkembangannya lebih mudah diterima oleh kaum Sudra, kasta terbawah dalam Hindu. Tidak adanya peraturan kasta dalam Islam menjadi salah satu daya tarik utama bagi golongan tersebut.
Simpulannya, makna dan semangat keadilan umumnya lebih dihayati oleh kaum miskin, papa, yang berada pada strata sosial terbawah, dan menjadi objek ekpoitasi kekuasaan yang tertinggi. Oleh sebab itu, kehadiran nabi dalam kalangan proletar tidak dapat dianggap sebagai sebuah kebetulan. Nabi ternyata tidak berfungsi sebagai pembawa risalah agama, yang menjanjikan jalan keselamatan di alam ukhrowi, namun juga menjadi pembela hak asasi manusia. Meski keimanan dan aspek transendental tetap menjadi pokok kehadiran agama, bukan berarti aspek sosial dinomorduakan. Transformasisosial (meminjam istilah Komaruddin Hidayat), jugamenjadi salah satu agenda utama dalam konsep keberagamaan. Namun, meski nabi langsung diutus oleh Tuhan, perubahan sosial tidak serta merta terjadi. Perubahan selalu menuntut proses, sebab secara substansial dan hakiki, masyarakat tetap menjadi subjek bagi diri mereka sendiri. Perubahan yang diharapkan dapat terjadi dengan dimulai dari perubahan mereka sendiri.
Keberadaan nabi dan perubahan sosial, hal tersebutlah yang lantas menimbulkan pertentangan. Para penentang yang umumnya berasal dari kaum penguasa cemas terhadap prinsip keadilan dan paham egalitarianisme yang dibawa oleh agama. Membiarkan mereka sama artinya dengan membiarkan transformasi sosial, transformasi tampuk pimpinan.
Kita akhirnya sama-sama tahu, transformasi sosial itu terjadi. Hukum rimba beralih pada hukum yang manusiawi dan adil. Hal tersebut tidak lepas dari peranan agama. Secara luas, agama perlahan-lahan memegang banyak kendali terhadap peradaban manusia. Agama menjadi panutan dalam hal rohani juga menjadi hukum dalam kehidupan sehari-hari. Di tata pemerintahan, agama juga memegang peranan yang penting. Terutama di dalam Islam, keberhasilan Muhammad, Khulafa Al-Rasyidin, bani Umayyah dan bani Abbasiyah dalam menerapkan sistem keadilan sosial mencatatkan Islam sebagai agama yang sukses membawa peradaban ke arah yang lebih baik.
Tetapi, sejarah mencatat, ada masa agama sulit untuk dipersatukan dengan konsep sosial. Sebab, meski agama membawa konsep egalitarianisme, tetaplah pelaku beragama dan bernegara adalah manusia. Dan manusia adalah makhluk paling baik sekaligus paling buruk yang pernah ada di muka bumi.
Seperti di masa Marx dan Freud, agama tidak lagi dipercayai sebagai konstitusi keadilan sosial dikarenakan agama bahkan sering digunakan sebagai pelanggeng kekuasaan, kepentingan ideologi, dan senjata pembodohan rakyat. Dalam persentuhannya dengan kebenaran pengetahuan, pelaku agama juga sering kali menempatkan diri sebagai pihak otoriter, dan semakin otoriter ketika negara dan agama diotonomikan pada satu pihak saja. Misalnya di pertengahan abad 16, otonomi kekuasaan negara dan agama yang dipegang oleh Paus Alexander IV telah menimbulkan sikap skeptis di kalangan ilmuwan, filsuf, juga masyarakat terhadap agama.Sikap tersebut tidak lepas dari kesewenang-wenangan dan tidak terkontrolnya kelakuan Paus Alexander IV (bernama asli Rodrigo Borgia, dari Spanyol). Dia membuunuh rahib Dominikan Girolamo de Savanarola (1452-1490) yang menghujatnya, berkembang biak seenaknya lewat perzinahan, korup, pesta dan mabuk-mabukan, dan menghambat perkembangan pengetahuan –salah satunya dengan membakar bukuDe Revolutionibus orbium coelestium (Tentang peredaran benda-benda langit) yang terbit pada tahun 1543, karya Nicolaus Copernicus.
Hal yang tidak jauh berbeda dapat ditemukan juga bila kita melihat keruntuhan Bani Abbasiyah. Selain disebabkan oleh serangan dari bangsa Mongol, kejatuhan Abbasiyah juga dikarenakan problem-problem internal yang tidak kalah besar. Banyaknya pemberontakan karena pajak yang tinggi dan degradasi rasa kepercayaan kepada pimpinan, telahmenggangguperekonomian dan kehidupan sosial. Pengeluaranpun semakinmembengkakakibat gaya hidupparakhalifahdanpejabatyang hura-hura dan penuh tindakankorupsi. Masyarakat semakin tidak percaya. Pemberontakan semakin meluas.Segalafaktor itu punsalingberkaitan, tidakterpisahkan, dan tidak terselesaikan hingga Abbasiyah benar-benar jatuh.
Penyalahgunaan peran agama dalam ruang sosial dan birokrasi pemerintahan akhirnya melahirkan paham sekulerisme, pemisahan antara kekuasaan dan agama. Perkembangan sekulerisme, dalam pandangan Sosiolog Max Weber dan teolog Harvey Cox, semakin mendunia akibat pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan menguatnya sistem birokrasi modern. Dampaknya, masyarakat memang cenderung mulai memisahkan antara fungsi bernegara dan fungsi beragama.
Terlepas dari sependapat atau tidaknya mengenai sekulerisme ini, terdapat beberapa catatan peradaban bahwa sekulerisme juga memiliki kandungan nilai positif dan negatif dalam keberagamaan. Komaruddin Hidayat, dalam essai Dari Sekulerisme ke Pluralisme(1992)mengatakan manusia sekuler lebih mempercayai kekuatan dan otonomi manusia. Mereka merasa terbebas dari batang-bayang doktrin agama yang membelenggu. Di satu sisi, di saat orang beragama, ia menyadari sepenuhnya pilihannya, bukan karena paksaan dan otoritas wahyu atau lembaga. Wahyu lebih bersifat inspiratif dan petunjuk, bukan doktrinitas yang tidak bisa diganggu gugat.
Hal-hal tersebut tentu berpengaruh dalam aspek sosial. Sekulerisme yang lahir dari jalan panjang sejarah pun mengambil alih tata kerja transformasi sosial.Transformasi sosial diletakkan kepada lembaga-lembaga yang cenderung terpisah dari agama. Perkembangan perbankan, ekonomi, pendidikan, dan budaya yang tentu berpengaruh pada ruang transformasi sosial lebih bersifat humansentral(sepenuhnya pada manusia, berikut aturan-aturannya). Jika ada persentuhan dengan agama, akan ada pemisahan yang jelas. Sebab, agama sendiri telah terdegradasi konsepnya menjadi “kumpulan dogma”.
Degradasi konsep ini, tentu titik persoalannya bukan pada agama, namun pelakunya. Pelaku agama yang “sungguh-sungguh” pernah dan akan berhasil memberlakukan keadilan sosial, menegakan etika, dan etos transformasi sosial, karena agama memang memiliki begitu banyak kaidah kehidupan sosial. Secara aqidah pun sesungguhnya relasi pada Tuhan dapat dimulakan dari relasi antar-manusia. Hal ini lah yang sekiranya perlu dibina kembali,bukan memberlakukan agama menjadi lembaga himpunan dogma teologis dan layanan ritual untuk menghibur mereka yang tengah berduka dan tersuruk dari panggung kehidupan, seakan-akan agama hanya diperlukan di saat berkeluh kesah dan berdosa.
Jumat, 03 Agustus 2012
JEJAK PASIR (5); ANAK MUDA.
Seorang Anak Muda, mendengar dering incoming call dari handphone miliknya. Dilihatnya nama yang masuk. Perusahan M, sebuah PT yang bergerak di bidang media informasi, yang namanya sedang berada di tingkat pertama sebagai “Koran terbaik dan terlaris”. Anak muda mengangkat handphonenya.Terjadi percakapan sejenak. Ketika pembicaraan telah usai dan koneksi putus, dengan senyum ia menghadap orang tua nya “Besok panggilan wawancara kerja. Jam satu siang”.
Maka, esok hari jam satu siang, sang Anak Muda dengan kemeja kotak-kotak, celana jeans, dan sepatu boat Catterpilar, datang ke Perusahaan M. Ternyata bos yang akan mewancarai belum hadir. Ia pun mesti sabar menunggu di ruang lobi. Santai sekali sikapnya, seperti bukan hendak melamar kerja. Seperti hendak kondangan saja. Ketika ia membaca sebuah rubrik koran sebagai pengisi waktu menunggu, ia bahkan hampir tertawa terbahak-bahak(padahal yang dibaca adalah berita kriminalitas). Beruntung dia tidak lupa keadaan. Sopan santun harus dijaga mesti sopan santun itu buatan manusia.
“Mas” terdengar panggilan. Ia menoleh. Oh, si mbak asisten bos.
“Sekarang mas”.
Anak muda itu lalu masuk ke dalam sebuah ruangan. Di dalamnya, seorang tua yang nyaris botak mempersilahkannya duduk sambil memperkenalkan diri “Saya pak ZZ, kepala bagian SDM.”
Lalu, terjadilah wawancara. Tanya itu-jawab itu, tanya ini-jawab ini. Beberapa pertanyaan dan pernyataan bos ternyata berhasil mengubah niatnya awalnya yang bersungguh-sungguh untuk masuk ke perusahaan M menjadi ragu.
Salah satu penyebabnya adalah, karena adanya perbedaan pemahaman (bahasa kotornya;idealisme)antara Anak Muda dan si bos. Misalnya, Anak Muda beranggapan bahwa keterampilan menulis sangat diperlukan, apalagi bagi perusahaan yang bergerak dalam pemberitaan. Bahasa (dengan B kapital) mampu mempengaruhi budaya masyarakat. Bahasa dapat merembes hingga alam tidak sadar. Artinya,suatu perusahaan media informasi, yang bergerak dengan menggunakan Bahasa, pasti akan berpengaruh pada perkembangan pola pikir masyarakat. Ketika suatu perusahaan media mengacuhkan Bahasa, atau menomorsekiankannya, dapat dianggap perusahaan tersebut tidak ambil peduli dengan pengaruh mereka pada pembaca. Apakah pembaca itu lantas menjadi pintar, kritis, atau bego, itu bukan urusan mereka. Terjadilah yang dinamakan Monopoli Pola Pikir Sosial.
Dan kecenderungan itulah yang ditangkap anak muda sebab si Bos beranggapan“keterampilan menulis tidak terlalu dibutuhkan di sini. Yang penting kamu dapat berita. Sehari minimal tiga”
Kalimat terakhir bos itu juga menjadi masalah. Anak Muda itu berpikir, “Kalau dalam satu hari hanya ada satu kejadian yang pantas diberitakan, apakah yang harus dilakukan agar mendapat dua berita lagi? Jalan paling gampang, bikin “berita-beritaan”. Ini sama artinya dengan pembohongan publik. Oh, jadi seperti ini yang selama ini mereka lakukan?”
Ada lagi perdebatan lain. Misalnya, ketika bos bertanya “kamu mau ditempatkan di rubrik apa?”
Si Anak Muda menjawab “Budaya”
Si Bos terkekeh-kekeh. “Dalam sebulan, kegiatan budaya, konser, pertunjukkan tari, drama, lomba melukis, paling banyak hanya tiga kali. Sedikit sekali berita yang bisa kamu cari”.
Anak Muda itu pun berpikir “Mereka hanya memandang budaya sebagai komoditas. Budaya hanya dianggap tari-tarian, konser musik, atau lomba melukis. Budaya disempitkan maknanya sekadar “bentuk”. Padahal, budaya lebih dari itu. Ia bercerita tentang konsep sosial, psikologi, filsafat, agama, seni, politik. Semuanya. Karena budaya adalah manusia dan manusia adalah budaya.”
Dan banyak lagi perbedaan konsepsi yang lantas membuat Anak Muda itu berpikir ulang untuk tetap kerja di perusahaan M. Ketika wawancara usai, Anak Muda itu terus saja berpikir setiap hari. Dua minggu kemudian, handphonenya berdering lagi karena ada panggilan dari Perusahaan M. Ia dikabari, ia lulus tes wawancara. Ia diterima. Tanggal sekian, jam sekian, diharapkan hadir untuk membicarakan kontrak.
Anak Muda itu lantas menjawab “Maaf, saya mengundurkan diri”
Yah, Anak Muda dan konsep hidupnya (bahasa kotornya; Idealisme. Tolong diingat-ingat), ternyata berhasil membuat ia gagal mendapat kerja. Ia sendiri yang menggagalkannya. Di satu sisi, saya salut. Ia berani berpegang teguh pada pendiriannya. Di sisi yang lain, ia adalah lelucon. Mau makan apa dari idealisme?
Hingga hari ini, ia memang masih susah “makan dari idealisme”. Ia bahkan harus tertatih-tatih untuk sekadar mengepul. Tapi, apakah ia gagal? Selama keberhasilan tidak disempitkan konsepnya dengan tumpukan kata “popularitas”, “materi”, “motor baru”, “handphone baru”, tidak bisa kita mancapnya manusia gagal. Bahkan, mungkin ia telah berhasil. Setidaknya, ia berhasil menjalani jalan yang dipilihnya sendiri, bukan paksaan. Dan tidak banyak orang bisa berlaku seperti itu.
Memang tidak jarang, Anak Muda itu ragu, apakah ia memang bisa menjalani jalan pilihanya. Keraguan yang wajar. Sebab, masa muda adalah masa yang dihadapkan banyak jalan. Jalan-jalan itu bercabang-cabang. Cabang-cabang jalan itu, bercabang-cabang lagi. Cabangnya cabang-cabang itu, bercabang lagi. Dan semua menawarkan sesuatu yang mengasyikkan. Namun satu yang hanya bisa dipilih. Pada saat yang bersamaan, terdapat tembok besar di setiap jalan, di setiap cabang, bernama “ketidakpastian”, membuat pemilih jalan ragu, “apakah memang ini?.” Seorang anak muda pun bisa diibaratkan sebagai “pejalan yang ditutup kepalanya dengan kain hitam, namun ada pegangan”.
Mungkin pengibaratan itu agak berlebihan. Namun, begitulah, sebab masa-masa muda adalah masa antara spontanitas dan planning saling bertubrukan, antara keinginan individual dan tuntutan eksternal saling bersilangan, antara keyakinan dan keraguan saling berhantam. Anak muda bisa mengubah dunia, seperti kata Soekarno yang kira-kira seperti ini “beri aku seribu orang tua, akan kupindahkan gunung. Beri aku sepuluh anak muda, akan kugoncang dunia”. Anies Baswedan, ketua program Indonesia Mengajar, juga tidak ragu-ragu memercayakan masa depan pendidikan anak-anak sekolah dasar yang jauh dari kota, jauh dari turun tangan pemerintah, pada anak-anak muda yang sebagian besar tidak memiliki pengalaman mengajar dan terjun langsung ke dunia pendidikan.
Namun, anak muda juga bisa menghancurkan dunia. Bila sejuta anak muda hidup pesimis, bisa jadi peradaban dunia kembali lagi ke zaman batu. Yah, tidak ada yang lebih buruk ketimbang anak muda yang pesimis.
Kembali lagi pada si Anak Muda. Suatu hari, ia bertemu dengan temannya yang sudah berstatus karyawan. Mereka bercakap-cakap banyak. Mulanya membahas masa silam. Selanjutnya, dan ini yang paling utama, mereka bicara soal masa depan.
Tidak perlu lah saya ceritakan seperti apa detail pembicaraan mereka. Tidak beda jauh dengan percakapan kita bila membahas harapan masa depan. Masing-masing punya. Masing-masing mendukung. Hanya, ada beberapa kesimpulan yang sepertinya bisa saya utarakan.
Si Karyawan menjadi karyawan, karena ia memang ingin menjadi karyawan. Si Anak muda ingin menjadi penulis karena ingin menjadi penulis. Pada dasarnya, pilihan mereka tentu ada dipengaruhi ruang lingkup eksternal, keluarga, teman, atau masyarakat. Tetapi, toh pada akhirnya semua kembali pada diri masing-masing. Menjalani dengan senang atau rasa terpaksa. Yang terbaik tentu yang pertama. Selain itu, di setiap jalan yang akan dipilih, telah dikatakan akan selalu ada tembok besar bernama “ketidakpastian”. Satu-satunya jalan untuk merobohkannya hanyalah dengan memercayai keyakinan sepenuhnya dan selalu menjadi “manusia bebas”, bila kebebasan kita definiskan sebagai “bebas dari rasa takut”.
Mungkin pada akhirnya, kita akan “sampai”. Mungkin juga, seperti kata Jumena dalam lakon Sumur Tanpa Dasar, “Kita tidak akan pernah sampai”. Tetapi, apakah kita akan tahu “akan sampai atau tidak sampai” bila tidak menjalani?
Begitu saja. Terima kasih.Karena saya anak muda yang labil, saya pun bingung mau menulis apa lagi dan bagaimana seharusnya lagi.
Singkawang, 24 Juli 12
Sekadar catatan;
- Tulisan ini, maaf, terdengar seperti kumpulan wejangan. Sengaja saya lakukan sebagai sarana sharing antara saya dan diri saya sendiri, dan saya dengan teman-teman.he.
- Tulisan ini, diperuntukkan untuk segala anak muda yang mulai merintis jalannya.
Maka, esok hari jam satu siang, sang Anak Muda dengan kemeja kotak-kotak, celana jeans, dan sepatu boat Catterpilar, datang ke Perusahaan M. Ternyata bos yang akan mewancarai belum hadir. Ia pun mesti sabar menunggu di ruang lobi. Santai sekali sikapnya, seperti bukan hendak melamar kerja. Seperti hendak kondangan saja. Ketika ia membaca sebuah rubrik koran sebagai pengisi waktu menunggu, ia bahkan hampir tertawa terbahak-bahak(padahal yang dibaca adalah berita kriminalitas). Beruntung dia tidak lupa keadaan. Sopan santun harus dijaga mesti sopan santun itu buatan manusia.
“Mas” terdengar panggilan. Ia menoleh. Oh, si mbak asisten bos.
“Sekarang mas”.
Anak muda itu lalu masuk ke dalam sebuah ruangan. Di dalamnya, seorang tua yang nyaris botak mempersilahkannya duduk sambil memperkenalkan diri “Saya pak ZZ, kepala bagian SDM.”
Lalu, terjadilah wawancara. Tanya itu-jawab itu, tanya ini-jawab ini. Beberapa pertanyaan dan pernyataan bos ternyata berhasil mengubah niatnya awalnya yang bersungguh-sungguh untuk masuk ke perusahaan M menjadi ragu.
Salah satu penyebabnya adalah, karena adanya perbedaan pemahaman (bahasa kotornya;idealisme)antara Anak Muda dan si bos. Misalnya, Anak Muda beranggapan bahwa keterampilan menulis sangat diperlukan, apalagi bagi perusahaan yang bergerak dalam pemberitaan. Bahasa (dengan B kapital) mampu mempengaruhi budaya masyarakat. Bahasa dapat merembes hingga alam tidak sadar. Artinya,suatu perusahaan media informasi, yang bergerak dengan menggunakan Bahasa, pasti akan berpengaruh pada perkembangan pola pikir masyarakat. Ketika suatu perusahaan media mengacuhkan Bahasa, atau menomorsekiankannya, dapat dianggap perusahaan tersebut tidak ambil peduli dengan pengaruh mereka pada pembaca. Apakah pembaca itu lantas menjadi pintar, kritis, atau bego, itu bukan urusan mereka. Terjadilah yang dinamakan Monopoli Pola Pikir Sosial.
Dan kecenderungan itulah yang ditangkap anak muda sebab si Bos beranggapan“keterampilan menulis tidak terlalu dibutuhkan di sini. Yang penting kamu dapat berita. Sehari minimal tiga”
Kalimat terakhir bos itu juga menjadi masalah. Anak Muda itu berpikir, “Kalau dalam satu hari hanya ada satu kejadian yang pantas diberitakan, apakah yang harus dilakukan agar mendapat dua berita lagi? Jalan paling gampang, bikin “berita-beritaan”. Ini sama artinya dengan pembohongan publik. Oh, jadi seperti ini yang selama ini mereka lakukan?”
Ada lagi perdebatan lain. Misalnya, ketika bos bertanya “kamu mau ditempatkan di rubrik apa?”
Si Anak Muda menjawab “Budaya”
Si Bos terkekeh-kekeh. “Dalam sebulan, kegiatan budaya, konser, pertunjukkan tari, drama, lomba melukis, paling banyak hanya tiga kali. Sedikit sekali berita yang bisa kamu cari”.
Anak Muda itu pun berpikir “Mereka hanya memandang budaya sebagai komoditas. Budaya hanya dianggap tari-tarian, konser musik, atau lomba melukis. Budaya disempitkan maknanya sekadar “bentuk”. Padahal, budaya lebih dari itu. Ia bercerita tentang konsep sosial, psikologi, filsafat, agama, seni, politik. Semuanya. Karena budaya adalah manusia dan manusia adalah budaya.”
Dan banyak lagi perbedaan konsepsi yang lantas membuat Anak Muda itu berpikir ulang untuk tetap kerja di perusahaan M. Ketika wawancara usai, Anak Muda itu terus saja berpikir setiap hari. Dua minggu kemudian, handphonenya berdering lagi karena ada panggilan dari Perusahaan M. Ia dikabari, ia lulus tes wawancara. Ia diterima. Tanggal sekian, jam sekian, diharapkan hadir untuk membicarakan kontrak.
Anak Muda itu lantas menjawab “Maaf, saya mengundurkan diri”
Yah, Anak Muda dan konsep hidupnya (bahasa kotornya; Idealisme. Tolong diingat-ingat), ternyata berhasil membuat ia gagal mendapat kerja. Ia sendiri yang menggagalkannya. Di satu sisi, saya salut. Ia berani berpegang teguh pada pendiriannya. Di sisi yang lain, ia adalah lelucon. Mau makan apa dari idealisme?
Hingga hari ini, ia memang masih susah “makan dari idealisme”. Ia bahkan harus tertatih-tatih untuk sekadar mengepul. Tapi, apakah ia gagal? Selama keberhasilan tidak disempitkan konsepnya dengan tumpukan kata “popularitas”, “materi”, “motor baru”, “handphone baru”, tidak bisa kita mancapnya manusia gagal. Bahkan, mungkin ia telah berhasil. Setidaknya, ia berhasil menjalani jalan yang dipilihnya sendiri, bukan paksaan. Dan tidak banyak orang bisa berlaku seperti itu.
Memang tidak jarang, Anak Muda itu ragu, apakah ia memang bisa menjalani jalan pilihanya. Keraguan yang wajar. Sebab, masa muda adalah masa yang dihadapkan banyak jalan. Jalan-jalan itu bercabang-cabang. Cabang-cabang jalan itu, bercabang-cabang lagi. Cabangnya cabang-cabang itu, bercabang lagi. Dan semua menawarkan sesuatu yang mengasyikkan. Namun satu yang hanya bisa dipilih. Pada saat yang bersamaan, terdapat tembok besar di setiap jalan, di setiap cabang, bernama “ketidakpastian”, membuat pemilih jalan ragu, “apakah memang ini?.” Seorang anak muda pun bisa diibaratkan sebagai “pejalan yang ditutup kepalanya dengan kain hitam, namun ada pegangan”.
Mungkin pengibaratan itu agak berlebihan. Namun, begitulah, sebab masa-masa muda adalah masa antara spontanitas dan planning saling bertubrukan, antara keinginan individual dan tuntutan eksternal saling bersilangan, antara keyakinan dan keraguan saling berhantam. Anak muda bisa mengubah dunia, seperti kata Soekarno yang kira-kira seperti ini “beri aku seribu orang tua, akan kupindahkan gunung. Beri aku sepuluh anak muda, akan kugoncang dunia”. Anies Baswedan, ketua program Indonesia Mengajar, juga tidak ragu-ragu memercayakan masa depan pendidikan anak-anak sekolah dasar yang jauh dari kota, jauh dari turun tangan pemerintah, pada anak-anak muda yang sebagian besar tidak memiliki pengalaman mengajar dan terjun langsung ke dunia pendidikan.
Namun, anak muda juga bisa menghancurkan dunia. Bila sejuta anak muda hidup pesimis, bisa jadi peradaban dunia kembali lagi ke zaman batu. Yah, tidak ada yang lebih buruk ketimbang anak muda yang pesimis.
Kembali lagi pada si Anak Muda. Suatu hari, ia bertemu dengan temannya yang sudah berstatus karyawan. Mereka bercakap-cakap banyak. Mulanya membahas masa silam. Selanjutnya, dan ini yang paling utama, mereka bicara soal masa depan.
Tidak perlu lah saya ceritakan seperti apa detail pembicaraan mereka. Tidak beda jauh dengan percakapan kita bila membahas harapan masa depan. Masing-masing punya. Masing-masing mendukung. Hanya, ada beberapa kesimpulan yang sepertinya bisa saya utarakan.
Si Karyawan menjadi karyawan, karena ia memang ingin menjadi karyawan. Si Anak muda ingin menjadi penulis karena ingin menjadi penulis. Pada dasarnya, pilihan mereka tentu ada dipengaruhi ruang lingkup eksternal, keluarga, teman, atau masyarakat. Tetapi, toh pada akhirnya semua kembali pada diri masing-masing. Menjalani dengan senang atau rasa terpaksa. Yang terbaik tentu yang pertama. Selain itu, di setiap jalan yang akan dipilih, telah dikatakan akan selalu ada tembok besar bernama “ketidakpastian”. Satu-satunya jalan untuk merobohkannya hanyalah dengan memercayai keyakinan sepenuhnya dan selalu menjadi “manusia bebas”, bila kebebasan kita definiskan sebagai “bebas dari rasa takut”.
Mungkin pada akhirnya, kita akan “sampai”. Mungkin juga, seperti kata Jumena dalam lakon Sumur Tanpa Dasar, “Kita tidak akan pernah sampai”. Tetapi, apakah kita akan tahu “akan sampai atau tidak sampai” bila tidak menjalani?
Begitu saja. Terima kasih.Karena saya anak muda yang labil, saya pun bingung mau menulis apa lagi dan bagaimana seharusnya lagi.
Singkawang, 24 Juli 12
Sekadar catatan;
- Tulisan ini, maaf, terdengar seperti kumpulan wejangan. Sengaja saya lakukan sebagai sarana sharing antara saya dan diri saya sendiri, dan saya dengan teman-teman.he.
- Tulisan ini, diperuntukkan untuk segala anak muda yang mulai merintis jalannya.
JEJAK PASIR (4); PONTIANAK, OH PONTIANAK...
Suatu hari, seorang teman datang ke Pontianak. Saya memanggilnya Tifa. Kami berkenalan saat di Putussibau. Dia adalah salah satu peserta program Indonesia Mengajar dan mendapat tempat tugas di desa Empangao, Kapuas Hulu. Kedatangannya ke Pontianak adalah untuk transit. Kontrak mengajarnya yang setahun itu sudah habis, dan ia hendak kembali ke rumah asalnya, Yogyakarta. Transit nya di Pontianak ini, selama dua hari satu malam (Hm, itu bukan transit ya?).
Saya pun mencoba menjadi tuan rumah yang baik. Saya tawarkan dia untuk berkeliling Pontianak, berharap “ia tidak melupakan panasnya kota Pontianak”. Dan memang itu niat dia. Kami pun memulai perjalanan dari pom bensin, sebab motor perlu dipenuhkan tangkinya terlebih dahulu.
Setelah dari pom bensin, kami ke museum Kalbar. Ternyata sudah tutup. Saat itu sudah hampir jam dua siang dan museum tutup jam satu (padahal ditulis di papan pengumumannya, tutup jam dua. Apakah ini indikasi kalau pengelola museum suka sewenang-wenang atau ditutup karena jarang yang mengunjungi). Ya sudahlah. Kami melanjutkan tur.
Lantas, kami ke stadion PSP (Persatuan Sepakbola Pontianak), di jalan Pattimura. Tujuannya apalagi kalau bukan untuk mencari oleh-oleh. Di sana, di belakang stadion, berjejer toko-toko yang menawarkan oleh-oleh khas Kalbar, dari baju hingga makanan (karena tahu hal ini, mereka kadang kelewatan memasang harga. Huuu). Ternyata Tifa adalah perempuan yang susah dan tidak doyan berbelanja. Saya pun begitu. Maka, jadilah kami keluar masuk toko tanpa banyak bertanya dan menawar. Hasilnya, beberapa helai baju saja.
Dari PSP, kami lantas ke Jembatan Kapuas. Sebenarnya tidak terlalu jauh, namun karena kemacetan –Pontianak semakin sumpek saja dari hari ke hari- dan panas yang menyengat, perjalanan terasa menjadi cukup melelahkan. Akhirnya, lewat dari jembatan Kapuas, kami berbelok ke kiri, ke arah keraton Kesultanan Syarif Al-Kadriyah, sisa-sisa kerajaan Islam di Pontianak.
Beruntung Tifa tidak banyak bertanya pada saya, sebab saya sendiri memang baru pertama kali ini ke keraton (agak malu-malu saya mengakui hal ini). Ketika kami masuk ke keraton, buyarlah semua bayangan saya tentang kejayaan Kesultanan. Saya pikir, yang namanya kerajaan pasti mewah. Setidaknya, mereka memiliki nilai historis yang menakjubkan. Ternyata, tidak terlalu. Ah, tidak tega saya menggambarkannya. Ibaratnya, tidak ada bedanya bila saya datang ke keraton dengan ke rumah kayu lama yang diberi debu benda-bendanya. Atau, mungkin saya saja yang terlalu naif.
Satu-satunya yang berkesan bagi saya adalah sebuah info, yang tertulis di sebelah potret Sultan Hamid II, bahwa pembuat lambang burung Garuda adalah Sultan Hamid II. Sedikit ulasan tentang ini; di hari-hari kemudian, saya temui warta investigasi dari sebuah koran bahwa burung Garuda itu diambil Sultan Hamid II dari lambang Kesultanan Sintang. Ini tentu membingungkan, sebab banyak tulisan yang saya temukan mengabarkan bahwa lambang Garuda adalah tunggangan Shiwa, dan menjadi hewan suci di era Majapahit. Misalnya, di buku Gayatri Rajapatni, ditulis oleh Earl Drake, disebutkan bahwa “ lambang negara Indonesia terdiri dari elang keemasan bernama Garuda, yang muncul dalam titeratur kuno dan ditemukan di sejumlah candi yang dibangun antara abad ke-6 dan 16.” Disebutkan juga di sana, slogan “Bhineka Tunggal Ika” adalah motto jawa kuno yang dicetuskan oleh Mpu Tantular dari kerajaan Majapahit.
Ah, peduli amatlah dengan masa lalu.
Dan Sultan Hamid II itu, bila ia memang termasuk pahlawan nasional, adakah yang repot-repot mencari tahu tentangnya? Kita hanya dijejali tentang Soekarno, Hatta, Sjahrir, dan baru-baru ini Tan Malaka. Bukannya ingin menampik jasa mereka, bukan pula ingin memunculkan fanatisme pada Sultan Hamid II. Saya hanya ingin berargumen bahwa sejarah sering kali diringkas dalam peran beberapa tokoh saja.
Ah, peduli amatlah dengan masa lalu.
Oh, ada lagi beberapa kesan yang kami dapat dari Keraton. Ketika Tifa bertanya pada seorang penjaga “ada tidak buku tentang keraton Pontianak?”. Penjaga yang merupakan wanita separuh baya itu mengangguk “ada”. Lantas, kami diajaknya masuk ke dalam kamar yang berisikan sebuah ranjang kuno. Beberapa orang kami dapati sedang berpotret di depan ranjang tersebut. Kami pikir “tentu ranjang ini adalah ranjang yang sakral. Mungkin bekas Sultan Hamid II”. Dan ketika si ibu pejaga mengambil buku, yang ternyata hanya potokopian, dari bawah bantal di ranjang itu, segala interpretasi bermunculan di kepala saya dan Tifa.
“Hahaha. Jadi ranjang kuno ini kalau malam dipakai si ibu untuk tidur. Kalau siang, dibagus-bagusin, di kasih bunga-bunga. Biar dibilang “antik”. Haha. Bagus, bagus, menyakrakalkan benda cuma bikin syirik plus bangkrut”
“Hahaha, gue kirain bukunya taruh dimana. Ternyata di bawah bantal!”
“Hahaha, kirain buku beneran! ternyata potokopian dan harganya 25 ribu”
Kami akhirnya berterima kasih saja. Tidak jadi beli. Selain bawa duit pas-pasan, setelah kami membaca sekilas, ada keyakinan bahwa info di dalam buku itu bisa kami cari di Tuan Gugel. Jika tidak didapati, tidak apa-apa juga. Toh, isinya kebanyakan hanya susunan silsilah (Hmm, heran, mengapa sejarah kerajaan sering kali disempitkan hanya pada susunan silsilah, seakan-akan perjalanan peradaban manusia hanyalah urusan beranak-pinak). Dan, ada satu komentar Tifa yang menarik. “Kalau diperhatikan, rata-rata kerajaan Islam pasti pangkal paling atas adalah Nabi Muhammad. Kalau bukan nabi, minimal sahabat-sahabat nabi, atau syekh siapa gituu”. Ya ya ya. Wajar bu. Bukan mau menyinggung SARA, tapi kita memang agak sulit melepaskan sisi kefanatikan identitas.
Ah, peduli amatlah dengan masa lalu.
Lantas, kami mengisi “buku tamu”. Di dalamnya, ada kolom “aspirasi”. Saya baca beberapa aspirasi pengunjung lain. Isinya, hampir sama semua; “tolong di rawat”, “tolong dijaga keraton ini”, “tolong pemerintah lebih memerhatikan aset sejarah daerah”, dan macam-macam lagi. Melihat kondisi keraton, saya yakin, aspirasi tersebut hanya formalitas saja. Tapi, ada satu aspirasi yang hingga saat ini bisa membuat saya tertawa bila mengingatnya. “So sweet”, begitu bunyinya. Hmm, ya ya ya. Entah, apakah itu bentuk kepolosan penulisnya atau bentuk kritikan atau mungkin, keraton ini memang so sweet.
Saya sendiri akhirnya tidak menulis apa-apa. Sebab, peduli amatlah dengan masa lalu.
Setelah menulis buku tamu, kami ternyata dimintai uang sumbangan. Kami berilah sekian rupiah. Kira kami, uang itu adalah uang perawatan Keraton, ternyata bukan. “Buat acara pengajian di Keraton”, begitu ungkap si penjaga dengan nada polos.
Kami dibohongi! Niat kami kan untuk merawat keraton (meski pun sesungguhnya “peduli amatlah dengan sejarah”), kenapa beralih ke pengajian? Okelah, menyumbang pengajian juga adalah hal yang baik, tapi bagaimana kalau pengajian mereka ternyata pengajian yang sesat. Sekarang banyak aliran sesat. Kami merasa akan sangat berdosa bila itu adalah kenyataan!! (lebay.com).
Kenyataannya, kami tidak berpendapat apa-apa.
Lalu, selesai urusan dengan keraton, kami pun keluar, siap-siap melanjutkan perjalanan. Sambil memasang sepatu, seseorang menghampiri saya. Dia pengemis. Dan jumlah mereka bukan hanya satu. Yang datang kepada saya adalah seorang perempuan tua. Dia menyapa saya seakan saya adalah kenalan lama. Saya tawari dia rokok, dia mau. Lagi-lagi, kami tidak ada pendapat apa-apa soal ini, meski sesungguhnya timbul pikiran miris. “Keraton dan Pengemis". Yang satu adalah sisa kejayaan masa lalu, yang satu adalah realita masa kini. Keduanya seperti tidak pernah terjalin dalam satu ikatan yang sama. Dan memang begitulah kehidupan. (halaaah)
Saya dan Tifa akhirnya benar-benar meninggalkan keraton ini.
Kami kemudian menuju ke tugu Khatulistiwa yang ada di tepian kota Pontianak, terletak satu-dua kilo meter setelah gapura “selamat Jalan, semoga sampai dengan selamat di tujuan”. Saya pribadi, tidak pernah betul-betul singgah ke tugu Khatulistiwa. Melihatnya sering, karena ia berada di jalur Pontianak-Singkawang, rute yang pasti akrab dengan saya.
“Gini aja?” kalau tidak salah, seperti itulah komentar Tifa ketika kami tiba di tugu. Saya angguk-angguk.
“Iya, gini aja”
“Di foto-foto, keliatan wah. Tinggi”
“Salah satu kegunaan foto adalah untuk mengaburi kenyataan. Gak mau foto sekalian?” Tifa membawa kamera poket juga. Sekadar dibawa saja karena ia ternyata tidak banyak memotret.
“Poto Tugu? Gak usahlah. Download aja nanti di Gugel. Lebih bagus”
“Hahaha”
Memangnya seperti apa sih tugu Khatulistiwa yang sudah ada sejak zaman Belanda itu? lebih baik, lihat sendiri saja. Kalau saya kebanyakan bacot, dan bacotan saya sering bernada skeptis, saya takut tidak ada lagi teman yang mau datang ke Pontianak. Yah, meski bagaimana pun, kota Pontianak adalah kota kelahiran saya. Tidak sepantasnya saya mengkritik (baca: berskeptis) dengan nada minus terlalu berlebihan. Masih ada hal-hal menarik yang bisa dilihat di Pontianak. Saya saja yang terlalu naif memandang.
Akhirnya, kami memilih minum es lidah buaya di warung samping tugu. Es lidah buaya ini bisa jadi promosi pariwisata!. Rasa segarnya berhasil membuat saya tidak lagi skeptis.
Setelah es habis, kami kembali ke kota. Tepatnya, ke Mall Ayani. Tidak ada yang berbeda dari Mall di sini dengan Mall Jakarta atau Bandung. Jadi, sama sekali tidak ada kesan. Hanya, Tifa sendiri kelihatan agak linglung. Dia terlalu lama di Empangao yang menjejalinya dengan keindahan hijau daun, kesunyian riak sungai, dehem Buaya, dan anak-anak yang polos. Ya kawan, selamat datang kembali ke dunia nyata, dunia yang dipenuhi macam-macam indikasi modernitas, dari dering handphone, klakson motor, riuh promosi produk impor, dan tawa manusia moderen sendiri. Semoga menikmati. He.
Akhirnya, kita ke bioskop saja. Beruntung kami punya minat yang sama. Dia ajak nonton Soegija. Sayang, saya sudah menonton. Akhirnya, film “asimilasi” yang jadi pilihan. Judulnya, Snow Princess and the Huntsman. Betulkan istillah “asimilasi”? dua cerita dijadikan satu. Contohnya, si Putri Salju (yang diperankan Gadis Twilight itu, Kristen Steward) ketika pingsan, tidak menjadi sadar karena ciuman pangeran, namun karena kecupan si Pemburu (lupa juga nama pemerannya). Hmm. Apa ini model dekonstuksi terbaru?
Habis nonton, kami cari makan malam. Ketika keluar Mall, kami sadari ada yang berubah dari udara Pontianak. Pekat sekali. Pasti karena asap dari pembakaran hutan. Di siang hari tidak begitu berasa. Kasihan juga si Tifa. Di Empangao pasti udaranya jernih. Di kota, ia sudah harus beradaptasi dengan polusi. Akibat perubahan mendadak itu, dia batuk-batuk. Ckck. Semoga menikmati.
Singkatnya, kami pun makan malam. Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Sebaiknya pulang. Tapi, saya sudah terlanjur bikin janji dengan beberapa teman di jalan Gajah Mada, tempat segala macam warung kopi, dari yang berlabel hotspot hingga tradisional, berderet. Kami pun mengopi-ngopi dulu. Ngobrol ini itu. Saat jam sudah hampir di angka sebelas, kami baru benar-benar pulang.
Di perjalanan, saya tanya Tifa “bagaimana Pontianak?”
“Bagus” ujarnya. Saya menangkap kesan di balik itu, namun tidak saya bicarakan. Sambil terus menggas motor, konsentrasi saya pun terpecah antara mengemudi dan merenungkan kota kelahiran saya ini. Perlahan-lahan, rasa miris pun menyergap hati. Pontianak, oh Pontianak.
Singkawang, 24 Juli 2012.
Saya pun mencoba menjadi tuan rumah yang baik. Saya tawarkan dia untuk berkeliling Pontianak, berharap “ia tidak melupakan panasnya kota Pontianak”. Dan memang itu niat dia. Kami pun memulai perjalanan dari pom bensin, sebab motor perlu dipenuhkan tangkinya terlebih dahulu.
Setelah dari pom bensin, kami ke museum Kalbar. Ternyata sudah tutup. Saat itu sudah hampir jam dua siang dan museum tutup jam satu (padahal ditulis di papan pengumumannya, tutup jam dua. Apakah ini indikasi kalau pengelola museum suka sewenang-wenang atau ditutup karena jarang yang mengunjungi). Ya sudahlah. Kami melanjutkan tur.
Lantas, kami ke stadion PSP (Persatuan Sepakbola Pontianak), di jalan Pattimura. Tujuannya apalagi kalau bukan untuk mencari oleh-oleh. Di sana, di belakang stadion, berjejer toko-toko yang menawarkan oleh-oleh khas Kalbar, dari baju hingga makanan (karena tahu hal ini, mereka kadang kelewatan memasang harga. Huuu). Ternyata Tifa adalah perempuan yang susah dan tidak doyan berbelanja. Saya pun begitu. Maka, jadilah kami keluar masuk toko tanpa banyak bertanya dan menawar. Hasilnya, beberapa helai baju saja.
Dari PSP, kami lantas ke Jembatan Kapuas. Sebenarnya tidak terlalu jauh, namun karena kemacetan –Pontianak semakin sumpek saja dari hari ke hari- dan panas yang menyengat, perjalanan terasa menjadi cukup melelahkan. Akhirnya, lewat dari jembatan Kapuas, kami berbelok ke kiri, ke arah keraton Kesultanan Syarif Al-Kadriyah, sisa-sisa kerajaan Islam di Pontianak.
Beruntung Tifa tidak banyak bertanya pada saya, sebab saya sendiri memang baru pertama kali ini ke keraton (agak malu-malu saya mengakui hal ini). Ketika kami masuk ke keraton, buyarlah semua bayangan saya tentang kejayaan Kesultanan. Saya pikir, yang namanya kerajaan pasti mewah. Setidaknya, mereka memiliki nilai historis yang menakjubkan. Ternyata, tidak terlalu. Ah, tidak tega saya menggambarkannya. Ibaratnya, tidak ada bedanya bila saya datang ke keraton dengan ke rumah kayu lama yang diberi debu benda-bendanya. Atau, mungkin saya saja yang terlalu naif.
Satu-satunya yang berkesan bagi saya adalah sebuah info, yang tertulis di sebelah potret Sultan Hamid II, bahwa pembuat lambang burung Garuda adalah Sultan Hamid II. Sedikit ulasan tentang ini; di hari-hari kemudian, saya temui warta investigasi dari sebuah koran bahwa burung Garuda itu diambil Sultan Hamid II dari lambang Kesultanan Sintang. Ini tentu membingungkan, sebab banyak tulisan yang saya temukan mengabarkan bahwa lambang Garuda adalah tunggangan Shiwa, dan menjadi hewan suci di era Majapahit. Misalnya, di buku Gayatri Rajapatni, ditulis oleh Earl Drake, disebutkan bahwa “ lambang negara Indonesia terdiri dari elang keemasan bernama Garuda, yang muncul dalam titeratur kuno dan ditemukan di sejumlah candi yang dibangun antara abad ke-6 dan 16.” Disebutkan juga di sana, slogan “Bhineka Tunggal Ika” adalah motto jawa kuno yang dicetuskan oleh Mpu Tantular dari kerajaan Majapahit.
Ah, peduli amatlah dengan masa lalu.
Dan Sultan Hamid II itu, bila ia memang termasuk pahlawan nasional, adakah yang repot-repot mencari tahu tentangnya? Kita hanya dijejali tentang Soekarno, Hatta, Sjahrir, dan baru-baru ini Tan Malaka. Bukannya ingin menampik jasa mereka, bukan pula ingin memunculkan fanatisme pada Sultan Hamid II. Saya hanya ingin berargumen bahwa sejarah sering kali diringkas dalam peran beberapa tokoh saja.
Ah, peduli amatlah dengan masa lalu.
Oh, ada lagi beberapa kesan yang kami dapat dari Keraton. Ketika Tifa bertanya pada seorang penjaga “ada tidak buku tentang keraton Pontianak?”. Penjaga yang merupakan wanita separuh baya itu mengangguk “ada”. Lantas, kami diajaknya masuk ke dalam kamar yang berisikan sebuah ranjang kuno. Beberapa orang kami dapati sedang berpotret di depan ranjang tersebut. Kami pikir “tentu ranjang ini adalah ranjang yang sakral. Mungkin bekas Sultan Hamid II”. Dan ketika si ibu pejaga mengambil buku, yang ternyata hanya potokopian, dari bawah bantal di ranjang itu, segala interpretasi bermunculan di kepala saya dan Tifa.
“Hahaha. Jadi ranjang kuno ini kalau malam dipakai si ibu untuk tidur. Kalau siang, dibagus-bagusin, di kasih bunga-bunga. Biar dibilang “antik”. Haha. Bagus, bagus, menyakrakalkan benda cuma bikin syirik plus bangkrut”
“Hahaha, gue kirain bukunya taruh dimana. Ternyata di bawah bantal!”
“Hahaha, kirain buku beneran! ternyata potokopian dan harganya 25 ribu”
Kami akhirnya berterima kasih saja. Tidak jadi beli. Selain bawa duit pas-pasan, setelah kami membaca sekilas, ada keyakinan bahwa info di dalam buku itu bisa kami cari di Tuan Gugel. Jika tidak didapati, tidak apa-apa juga. Toh, isinya kebanyakan hanya susunan silsilah (Hmm, heran, mengapa sejarah kerajaan sering kali disempitkan hanya pada susunan silsilah, seakan-akan perjalanan peradaban manusia hanyalah urusan beranak-pinak). Dan, ada satu komentar Tifa yang menarik. “Kalau diperhatikan, rata-rata kerajaan Islam pasti pangkal paling atas adalah Nabi Muhammad. Kalau bukan nabi, minimal sahabat-sahabat nabi, atau syekh siapa gituu”. Ya ya ya. Wajar bu. Bukan mau menyinggung SARA, tapi kita memang agak sulit melepaskan sisi kefanatikan identitas.
Ah, peduli amatlah dengan masa lalu.
Lantas, kami mengisi “buku tamu”. Di dalamnya, ada kolom “aspirasi”. Saya baca beberapa aspirasi pengunjung lain. Isinya, hampir sama semua; “tolong di rawat”, “tolong dijaga keraton ini”, “tolong pemerintah lebih memerhatikan aset sejarah daerah”, dan macam-macam lagi. Melihat kondisi keraton, saya yakin, aspirasi tersebut hanya formalitas saja. Tapi, ada satu aspirasi yang hingga saat ini bisa membuat saya tertawa bila mengingatnya. “So sweet”, begitu bunyinya. Hmm, ya ya ya. Entah, apakah itu bentuk kepolosan penulisnya atau bentuk kritikan atau mungkin, keraton ini memang so sweet.
Saya sendiri akhirnya tidak menulis apa-apa. Sebab, peduli amatlah dengan masa lalu.
Setelah menulis buku tamu, kami ternyata dimintai uang sumbangan. Kami berilah sekian rupiah. Kira kami, uang itu adalah uang perawatan Keraton, ternyata bukan. “Buat acara pengajian di Keraton”, begitu ungkap si penjaga dengan nada polos.
Kami dibohongi! Niat kami kan untuk merawat keraton (meski pun sesungguhnya “peduli amatlah dengan sejarah”), kenapa beralih ke pengajian? Okelah, menyumbang pengajian juga adalah hal yang baik, tapi bagaimana kalau pengajian mereka ternyata pengajian yang sesat. Sekarang banyak aliran sesat. Kami merasa akan sangat berdosa bila itu adalah kenyataan!! (lebay.com).
Kenyataannya, kami tidak berpendapat apa-apa.
Lalu, selesai urusan dengan keraton, kami pun keluar, siap-siap melanjutkan perjalanan. Sambil memasang sepatu, seseorang menghampiri saya. Dia pengemis. Dan jumlah mereka bukan hanya satu. Yang datang kepada saya adalah seorang perempuan tua. Dia menyapa saya seakan saya adalah kenalan lama. Saya tawari dia rokok, dia mau. Lagi-lagi, kami tidak ada pendapat apa-apa soal ini, meski sesungguhnya timbul pikiran miris. “Keraton dan Pengemis". Yang satu adalah sisa kejayaan masa lalu, yang satu adalah realita masa kini. Keduanya seperti tidak pernah terjalin dalam satu ikatan yang sama. Dan memang begitulah kehidupan. (halaaah)
Saya dan Tifa akhirnya benar-benar meninggalkan keraton ini.
Kami kemudian menuju ke tugu Khatulistiwa yang ada di tepian kota Pontianak, terletak satu-dua kilo meter setelah gapura “selamat Jalan, semoga sampai dengan selamat di tujuan”. Saya pribadi, tidak pernah betul-betul singgah ke tugu Khatulistiwa. Melihatnya sering, karena ia berada di jalur Pontianak-Singkawang, rute yang pasti akrab dengan saya.
“Gini aja?” kalau tidak salah, seperti itulah komentar Tifa ketika kami tiba di tugu. Saya angguk-angguk.
“Iya, gini aja”
“Di foto-foto, keliatan wah. Tinggi”
“Salah satu kegunaan foto adalah untuk mengaburi kenyataan. Gak mau foto sekalian?” Tifa membawa kamera poket juga. Sekadar dibawa saja karena ia ternyata tidak banyak memotret.
“Poto Tugu? Gak usahlah. Download aja nanti di Gugel. Lebih bagus”
“Hahaha”
Memangnya seperti apa sih tugu Khatulistiwa yang sudah ada sejak zaman Belanda itu? lebih baik, lihat sendiri saja. Kalau saya kebanyakan bacot, dan bacotan saya sering bernada skeptis, saya takut tidak ada lagi teman yang mau datang ke Pontianak. Yah, meski bagaimana pun, kota Pontianak adalah kota kelahiran saya. Tidak sepantasnya saya mengkritik (baca: berskeptis) dengan nada minus terlalu berlebihan. Masih ada hal-hal menarik yang bisa dilihat di Pontianak. Saya saja yang terlalu naif memandang.
Akhirnya, kami memilih minum es lidah buaya di warung samping tugu. Es lidah buaya ini bisa jadi promosi pariwisata!. Rasa segarnya berhasil membuat saya tidak lagi skeptis.
Setelah es habis, kami kembali ke kota. Tepatnya, ke Mall Ayani. Tidak ada yang berbeda dari Mall di sini dengan Mall Jakarta atau Bandung. Jadi, sama sekali tidak ada kesan. Hanya, Tifa sendiri kelihatan agak linglung. Dia terlalu lama di Empangao yang menjejalinya dengan keindahan hijau daun, kesunyian riak sungai, dehem Buaya, dan anak-anak yang polos. Ya kawan, selamat datang kembali ke dunia nyata, dunia yang dipenuhi macam-macam indikasi modernitas, dari dering handphone, klakson motor, riuh promosi produk impor, dan tawa manusia moderen sendiri. Semoga menikmati. He.
Akhirnya, kita ke bioskop saja. Beruntung kami punya minat yang sama. Dia ajak nonton Soegija. Sayang, saya sudah menonton. Akhirnya, film “asimilasi” yang jadi pilihan. Judulnya, Snow Princess and the Huntsman. Betulkan istillah “asimilasi”? dua cerita dijadikan satu. Contohnya, si Putri Salju (yang diperankan Gadis Twilight itu, Kristen Steward) ketika pingsan, tidak menjadi sadar karena ciuman pangeran, namun karena kecupan si Pemburu (lupa juga nama pemerannya). Hmm. Apa ini model dekonstuksi terbaru?
Habis nonton, kami cari makan malam. Ketika keluar Mall, kami sadari ada yang berubah dari udara Pontianak. Pekat sekali. Pasti karena asap dari pembakaran hutan. Di siang hari tidak begitu berasa. Kasihan juga si Tifa. Di Empangao pasti udaranya jernih. Di kota, ia sudah harus beradaptasi dengan polusi. Akibat perubahan mendadak itu, dia batuk-batuk. Ckck. Semoga menikmati.
Singkatnya, kami pun makan malam. Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Sebaiknya pulang. Tapi, saya sudah terlanjur bikin janji dengan beberapa teman di jalan Gajah Mada, tempat segala macam warung kopi, dari yang berlabel hotspot hingga tradisional, berderet. Kami pun mengopi-ngopi dulu. Ngobrol ini itu. Saat jam sudah hampir di angka sebelas, kami baru benar-benar pulang.
Di perjalanan, saya tanya Tifa “bagaimana Pontianak?”
“Bagus” ujarnya. Saya menangkap kesan di balik itu, namun tidak saya bicarakan. Sambil terus menggas motor, konsentrasi saya pun terpecah antara mengemudi dan merenungkan kota kelahiran saya ini. Perlahan-lahan, rasa miris pun menyergap hati. Pontianak, oh Pontianak.
Singkawang, 24 Juli 2012.
JEJAK PASIR (3); DI DANGO DAYAK KAYAAN IDA' BERAAN
Perjalanan ke kota Putussibau, menghabiskan waktu 16 jam. Kami, saya dan mas Ismu maksudnya, berangkat dari pukul setengah lima sore, sampai pukul delapan pagi. Tiga kali berhenti untuk makan dan ngopi dan ngebul. Satu Antimo cukup menahan isi perut untuk tidak keluar. Rutenya tidak “berpola”. Kanan, kiri, kiri tajam, turunan, naik, kanan... tidak seperti rute, misalnya dari Sukabumi ke Pelabuhan Ratu, yang masih bisa dirumuskan lajurnya. Selain itu, kemulusan jalan juga menghebohkan cacing-cacing perut. Sepertiga perjalanan beraspal bisul dan koreng. Lubang sana-sini. Jendulan sana-sini.
Satu-satunya yang bisa dilakukan hanyalah tidur dan mendengarkan musik. Lagu yang diputar di awal-awal, karena memakai flasdisk saya, sebagian besar adalah Slank.Sekali-kali, kami pun mengobrolkan band ini. Sayangnya, gadis yang duduk di sebelah adalah generasi Afgan. Jadi, banyak tak nyambung. Padahal, cukup manis. Pembicaraan mengenai Slank pun hanya melibatkan tiga peserta. Plus supir. Begitu semangatnya. Kami seolah-olah pakar, yang menilai Slank dalamsudut pandang objektif. Padahal, semua subjektif!!. Tak apa, kesamaan kegemaran menjadikan pembahasan jadi terasa lebih heboh. Si gadis, tentu memilih tidur. Telinganya, selain berbau Afgan, juga telinga Cerry –graham- Bellll..hehe.
Di Sintang, kota antara Pontianak dan Putussibau, kami berhenti. Supir berganti. Supir yang ini begitu mudah mengantuk tampaknya. Sebab itu, ia memutar lagu disko koplo. Saya menertawakan mas Ismu dalam hati, sebab sebelumnya ia pernah mengungkapkan, disko koplo adalah siksaan terhebat dalam pengalaman perjalanannya. Sekarang terulang lagi. Haha. Tapi, yang penting selamat. Si supir toh berhasil terus melek.
Jam delapan pagi tepat, sampai. Pemberhentian terakhir kami di kantor WWF cabang Putussibau. Di sana, kami beristirahat satu harian.
Besok hari pun datang. Pagi-pagi, kami siapkan motor. Isi bensin, full tank. Isinya di eceran, sebab pom bensin hanya buka dua kali dalam satu minggu. Jadi, you know lah, harga eceran, apalagi di tempat yang minim distribusi. Lalu, bersama seorang sahabat mas Ismu, pak Basa, kami pun berangkat. Satu jam perjalanan itu mengingatkan saya pada jingle Ninja Hattori. Mendaki gunung, lewati lembah. Sungai mengalir indah ke Samudra. Maklum, jalurnya adalah jalur setapak, bukan jalan raya. Juga perlu, dua kali menaikkan motor ke sampan. (Di suatu penyebrangan, terjadi insiden. Saya menjatuhkan kamera ke sungai. Hiks. Untung tidak apa-apa)
Lalu, sampailah, sekitar jam delapan pagi, di gereja Santu Antonius Dari Padua, Desa Tanjung Karang, kecamatan Putussibau Utara. Di sana sedang akan diadakan misa. Bukan misa biasa, sebab kali ini disertakan juga pembukaan pesta Dango (baca: Dange) masyarakat Dayak Kayaan yang tinggal di sana. Karena pesta itulah, kami jauh-jauh kemari.
PEMAKNAAN DANGO
Dango (biasa diistilahkan juga dengan Gawai) adalah suatu pesta panen masyarakatDayak. Kurun waktunya bermacam-macam. Ada yang terhitung hari, ada yang lebih dari seminggu. Dango Dayak Kayaan desa Ida’ Beraan yang kami kunjungi ini, akan berlangsung seminggu. Maka, dalam seminggu itu, kami pun membiasakan telinga dengan alunan dendang dariMudi dan Kelentang, alat musik pukul khas Dayak Kayaan, yang hampir setiap hari dimainkan di Rumah Betang, rumah adatDayak. Sebenarnya, acara serunya ada di dua hari terakhir. Selebihnya hanya persiapan. Namun, dalam persiapan, bisa disaksikan bagaimana tata dekorasi dan pengisi apresiasi dimatangkan. Dan ini termasuk hal yang menyenangkan. Bisa dilihat, hanya orang-orang yang memang ahli yang bisa membuat Penghout (surai-surai dinding yang diiris dari kayu Payoung) dan membentuk Tublak (bunga dari kayu berbentuk segi empat dan digantung). Para calon penari Peju Lasaah dan Hudo (tari khas dayak Kayaan) yang umumnya masih berstatus pelajar, pun terlihat rajin berlatih. Hoanijaan (seniman Kayaan) Ko Ana (60), pengajar mereka, menuturkan bahwa jika tari hanya dipahami sebagai gerakan, akan sulit sekali belajar. Tari memiliki makna yang lebih dalam dari pada sekadar berlenggak lenggok.
Oh, sekilas mengenai Ko Ana. Dia sosok yang mengagumkan. Saya beruntung bisa banyak berbincang-bincang dengannya. Dia mendapat gelar Hoanijaan karena kemampuan seninya adalah yang terbaik di masyarakat dayak Kayaan. Main Sampek (gitar Dayak) bisa. Main Mudi (seperti Gamelan) bisa. Dayung (menembang dengan bahasa Dayak Kayaan), dia jagonya. Menari, jangan dibicarakan lagi, dia pakarnya. Beliau pun merupakan sosok yang penting dalam Dango. Banyak bagian acara yang melibatkan dirinya. Dari beliau jugalah kami banyak mendapat informasi tentang Dango dan adat masyarakat Dayak Kayaan.
Waktu pun terus berlalu. Tiga hari menjelang puncak Dango, saya dan mas Ismu memutuskan untuk menginap di rumah salah seorang warga. Yang paling menyenangkan dari hal ini adalah, setiap mandi, harus beranjak ke sungai Mandalam yang memang mengalir sepanjang desa Ida’ Beraan. Tidak luar biasa kan?. Ya, maaf, saya agak memiliki masalah dengan kebahagiaan masa kecil. Hanya ingin menekankan, kealamian dan kenaturalan begitu terasa dari kecipak-kecipuk air sungai Mandalam.
Sehari sebelum acara puncak, acara-acara mulai “serius”. Rumah Betang dibersihkan. Warga-warga semakin sibuk berlalu lalang, sibuk mempersiapkan. Beberapa ritual adat pun mulai dilaksanakan. Salah satunya, mendirikan rumah Dango. Rumah Dango ini, hanya khusus diadakan untuk acara Dango. Usai Dango, ia akan dirubuhkan. Bahan-bahan khusus untuk rumah tersebut pun segera disediakan; kayuhubo, hibo, buluh (bambu) kuning, danakartavaa’. Pendirian rumah diawali dengan sebuah upacara. Seorang anak laki-laki, yang masih lengkap orang tua dan kakek-neneknya (ini rukun wajib pendirian rumah Dango), menjadi orang yang meletakkan tiang pertama. Ia diantarkan oleh sebuah tarian. Lalu, berbagai macam doa adat dibacakan tetua. RumahDango pun mulai bisa di bangun. Menjelang sore, rumah Dango rampung.
Selanjutnya, Hoanijaan Ko Ana, melaksanakan proses persembahanatauMater Halok. Persembahan berupa daging babi masak, tuak yang ditampung ke dalamTawe (bambukecil), rokok, sirih, dandinoanyeh (kulit ketan yang digoreng dengan minyak babi). Seluruhnya dimasukkan kedalam tempat bambu bernama belakak untuk kemudian diletakkan Ko Ana di hutan, di sisikanan, kiri, dan depan rumah adat.
Esok harinya, acarapuncak pun dimulai. Mayoritas masyarakat dusun hadir. Tidak sedikit pula tamu undangan. Salah seorangnya adalah pak Agus Mulyana, wakil bupati Kapuas Hulu. Kedatangannya beserta rombongan pemerintahan, berisi beberapa kepala dinas dan staf pemda Kapuas Hulu. Tarian Hudo pun ditampilkan untuk menyambut mereka. Ketika mereka sudah duduk dengan rapi di rumah Betang, pembukaan acara puncak segera dimulai.
Tarian Pejuu Lasah, yang dipimpin seorang perempuan yang memegang Mandau, menjadi awalan. Mandau di tari Pejuu Lasah, lantas digunakan untuk pemotongan persembahan, Babi. Ritual ini diistilahkan NivakUting. Selanjutnya, dilanjutkan lagi ke acara “pemberkatan” atau Melaa’. Para keluarga silih berganti membawa anaknya ke dalam rumah Dango untuk didoakan. Doa-doa lain juga dipanjatkan, seperti Negui ka ketanaa’ (doa mohon kelancaran ladang), Mayaa’ Tivii (doa mohon perlindungan), Nyinaah (doa untuk kesatuan seluruh masyarakat), atauTepujoo’ Ujan (doa agar cuaca baik).
Tengah hari, acara diselingi dengan santapan persembahan. JugaTuak (minuman khas Dayak) yang diantar berkeliling. Selesainya, doa-doa kembali dilaksanakan. Hingga waktu pun menuntutUlii’ Wa (penutupan). Coreng moreng arang, dicoretkan pada setiap orang –sebuah tanda bahwa orang tersebut mengiukuti Dango. Semua tertawa. Semua bersyukur. Mudi, Kelentang dan Sapek, masih berbunyi.Tuak pun masih terus diedarkan.
INKULTURISASI DAN PELESTARIAN BUDAYA
Pesta Dango, awalnya hanya merupakan pesta panen bagi masyarakat Dayak Kayaan. Secara mitologis, diterangkan oleh Huanajoo Ko Ana, pesta Dango adalah bentuk penghormatan kepada Hunyang Bulan (semacamDewi Sri dalam mitologiJawa) yang merelakan dirinya menjadi padi. Dalam perkembangannya, Dango menjadi bukan sekadar berkaitan dengan pesoalan panen. Ko Ana menjelaskan “Dango juga merupakan doa, rasa terimakasih, kecintaan terhadap alam, dan simbol persatuan”. Di hari kemudian, beberapa cerita ini, termasuk bagaimana sejarah dayak Kayaan berlangsung, saya temukan dalam buku Apo Kayaan (lupa pengarangnya) dan Di Pedalaman Kalimantan (Dr. Anton W. Nieuwenhuis, 1984).
Ungkapan Ko Ana (sungguh, ia wanita yang baik hati dan seniman yang mengagumkan) juga menjelaskan beberapa mengenai seni dayak Kayaan. Misalnya, mengapa tarian Pejuu Lasah dipimpin penari yangmemegang Mandau; pengeyahan marabahaya dan bencana. Ada juga tarian Anokiaa (dilakukan dengan memegang bersama-sama seutas kain) yang menunjukkan simbol keharmonisan dan persatuan. Begitu pun dengan pakaian yang dikenakan; para penari PejuuLasah menggunakanTengkulasyang terdiri dari kepala dan ekor burung Enggang asli (Tengkulas ini tidak lagi diproduksi, karena eksistensi jumlah burung Enggang yang mulai menipis). Secara mitos, aksesoris tersebut bermakna rasa terima kasih masyarakat Dayak Kayaan terhadap bantuan burung Enggang saat mereka tiba di hulu Sungai Kapuas dari Apo Kayan (sekarang masuk wilayah Kalimantan Timur). Ini menjadi sebuah bentuk kecintaan dan penghormatan kepada alam.
Semua pemaknaan tradisi itu dapat dikatakan sebagai “sisa-sisa” bentuk orisinalitas kebudayaan Dayak Kayaan. Sebab, seperti halnya suku atau masyarakat lain, Dayak Kayaan pun tidak terhindar dari perkembangan peradaban. Jangan bayangkan Dayak Kayaan sebagai sebuah suku yang tidak mengenal televisi atau handphone (meski sinyal agak susah). Perkembangan peradaban ini mereka sadari. Tinggal memilih, meyikapinya dengan bijak atau terbawa arus saja.
Di tataran religuitas, asimilasi ini, atau kita istilahkan saja inkulturisasi, sudah terlihat. Saat di acara misa pembukaan Dango, lagu-lagu rohani dinyanyikan dalam bahasa Dayak Kayaan. Ditampilkan pula tarian-tarian dayak Kayaan di dalam gereja. Ada kombinasi antara kepercayaan Dayak Kayaan lama dengan konsep gereja.
Lantas, kami bercakap-cakap dengan pastor Suhardi dan salah seorang tetua (lupa namanya). Dijelaskanlah; secara historis, keberadaan agama Kristen di dayak Kayaan, dimulakan oleh pastor Ding. Beliaulah yang mengedepankan konsep inkulturisasi. Kepercayaan masyarakat Dayak Kayaan terdahulu, yang menganggungkanTenangan (pembagi rejeki), Tipang (pencipta), danTinge (pemelihara), memiliki garis yang sama dengan konsep gereja; trinitas yang bermuara pada satu kekuasaan. “Ini jugalah yang memudahkan Kristen diterima di Kayaan” ujar pastor Suhardi.
Maka, kata “Tipang” yang sebelumnya merupakan sebutan untuk salah satu dewa, sekarang berubah menjadi “Tuhan”.
Hal ini saya temui dalam satu lagu rohani gereja yang diterjemahkan dalam bahasa Kayaan. Hmm, iramanya easy listening. Mudah diingat. Sayang, saya hanya bisa menyertakan liriknya.
Ni’nah halo amee
Kame Klunaan dusa
Kelaan kame umah ame
Hurung je uss ame
Na vah in ke nap ame
O Tipang apii’ ni naa’
Apii’ Tipang apii ni naa’
Ini lah dalam (halam) kami
Kami orang berdosa
Agar kami tidak susah
Dapat rumah kami
Tuhan, ambillah ini
Ambillah Tuhan, ambillah persembahan kami
(Mada Bakti Kayaan, Diterjemahkan ke bahasa Kayaan oleh Lusia Ping dari MB.Nogzy)
Di tataran apresiasi seni, asimilasi budaya juga bisa ditemui. Jadi, di dalam Dango ternyata tidak hanya ditampilkan tarian atau nyanyian adat. Ketika bercakap-cakap dengan ketua adat Dayak Kayaan mengenai persiapan pesta puncak, dia membeberkan draft acara. Di satu bagian, tepatnya malam sebelum hari puncak (semodel malam Takbiran), ada dipaparkannya “tengah malam, acaranya dangdutan”. Tentu ini membuat kening sempat berkerut. Ia pun menambahkan “Buat menarik yang anak-anak muda. Kalau hanya tarian adat, mereka tidak tertarik. Memang, soal ini sesama panitia ada perdebatan. Tapi, kita tidak bisa menolak perkembangan budaya”. Kami pun angguk-angguk. Itu mungkin salah satu keputusan yang terbijak menghadapi sepak terjang era kontemporer ini. Itu juga menunjukkan, mengapa generasi muda tidak banyak mengerti tentang seni tradisional Kayaan saat kami tanyai. Sayang sekali.
Demi menanggulangi miss genariton, tentu yang perlu dilakukan adalah penyadaran berkelanjutan tentang pentingnya menjaga kelestarian budaya. Yang paling berwenang untuk itu adalah pemerintah (saya mencoba untuk tidak pesimis terhadap pemerintahan.hehe). Ketika Wakil Bupati Agus Mulyana kami wawancarai, ia pun menanggapi dengan serius perihal kelestarian budaya ini.Ia mengimbau kerja sama seluruh masyarakat. “Pelestarian budaya bukan hanya kerja sebagian orang, namun sudah semestinya mencangkup seluruh elemen masyarakat.Tindakan ini pasti ada konsekuensi. Tapi selama ada niat baik, pasti baik.” Wakil Bupati selanjutnya mengungkapkan program pemerintah demi pelestarian budaya. Beberapa di antaranya adalah penganggaran APBD untuk budaya, pembuatan kalender budaya, pelaksanaan festival budaya, pengadaan kurikulum budaya lokal dalam sekolah-sekolah dan program promosi kegiatan adat. “Masyarakat itu rindu dengan ritual budaya” tambahnya. Semoga bukan planning di atas lidah saja pak. Amin.
MAKAN GAK MAKAN (BABI) ASAL KUMPUL
Salah satu hewan kegemaran masyarakat Dayak adalah Babi. Babi pula yang menjadi hewan persembahan dalam Nevak Uting (prosesi persembahan). Babi bagi masyarakat Dayak setara denganKambing atau Sapi bagi masyarakat muslim di hari Raya Kurban. Si Babi ini pula, usai darah dari nadi lehernya habis memuncrat, yang dibawa masuk ke dapur, lantas dimasak.
Siang hari, ketika break acara puncak, hidangan makan siang pun disediakan. Salah satu lauknya, ya babi tadi. Sebut saja, sup babi. Semua orang pun ambil posisi. Siap-siap menyantap porsi yang tersedia.
Saya, tidak makan babi. Tidak perlu khawatir, sebab disediakan menu khusus untuk orang-orang model saya ini. Di acara Dango, juga diundang banyak desa tetangga, salah satunya adalah desa Sambus yang mayoritas penduduknya muslim. Maka menu saya pun sama seperti penduduk Sambus.
Menu saya, saya taruh di hadapan saya. Posisi saya, tetap di rumah Betang, tetap di antara seliweran sup Babi. Saya pun duduk bersila, lalu, hup, makan siang pun dimulai.
Salah seorang kenalan saya di Ida’ Beraan, diakon (asisten Pendeta) Jefri, yang duduk di samping saya tidak makan Babi juga ternyata. Iseng, dua sahabat kami dari Dayak Kayaan yang duduk di hadapan kami mengejek “Huu, kalau tidak makan Babi di Dango, tidak sah Dangonya”. Saya tertawa. Diakon Jefri juga tertawa. Diakon Jefri lantas berkata “Kalau Rojay makan Babi, saya makan juga”. Hahahaha. Saya ingin Diakon Jefri membuktikan ucapannya, lalu saya ambil satu mangkok sup Babi. Dan,..saya taruh lagi supnya. Tidak mampu ternyata. Hahaha.
Selesai makan, acara kembali dilanjutkan. Satu jam sebelum acara selesai, mulailah minuman khas Dayak, yang dihasilkan melalui fregmentasi dari ketan atau yang lebih dikenal dengan sebutan Tuak, disebarluaskan. Kali ini, saya tergoda.
Sebelum senja selesai, acara usai. Semua orang menari-nari. Saya taruh kamera. Mas Ismu taruh kamera. Dan kami ikut menari. Diakon Jefri juga. Berputar-putar. Wajah-wajah kami lantas dicorengi oleh arang. Tidak boleh marah. Tadi sudah diterangkan, itu merupakan tanda bahwa kami telah menghadiri Dango (Hal yang sama juga mereka lakukan terhadap wakil bupati Kapuas Hulu. Hmm, di Dango, politik dan jabatan nomor sekian). Tapi, kami boleh membalas. Maka, terjadilah sedikit kehebohan yang mengasyikkan di sepanjang rumah Betang. Dari speaker, terdengar alunan dangdut. Bukannya benci dangdut, namun “Mengapa dangdut lagi?”
Sebelum gelap, saya dan mas Ismu undur diri. Kami berkemas lalu pamitan kembali ke kota Putussibau. Kami pun bersalam-salaman. Yang namanya perpisahan, tentu tidak menyenangkan. Apalagi ketika kita mulai merasa dekat dengan yang ditinggalkan. Jadi, rasanya terlalu cepat Dango ini. Dan, ternyata ada kesan yang lebih mendalam yang disisakan Dango dibanding sekadar perpisahan. Saat itu saya tidak menyadarinya.Karena naik motor pun, saya harus bersusah payah. Tuak yang masuk terlalu banyak. Sepanjang perjalanan, saya bahkan harus memegangi terus pundak mas Ismu yang membonceng. Kalau lebih satu gelas lagi, habislah..
Sampai di WWF Putussibau, jam tujuh malam. Langsung tepar. Jam delapan malam bangun, lalu beranjak ke warung makan. Beli nasi dan ikan bakar. Saya hanya mampu makan seperempat. Proses fregmentasi ternyata masih terus berlangsung di perut, mengacaukan nafsu makan dan proses pencernaan. Sisa makanan, akhirnya saya bungkus saja.
Di kantor, saya pun berlama-lama di kamar mandi. Keluarkan semua. Harapannya, tentu agar proses fregmentasi berhenti. Keluar dari kamar mandi, tidur lagi.
Jam sebelas malam, saya bangun dan mencoba untuk berdiri. Ternyata, tidak limbung. Wah. Rasa lapar pun muncul. Artinya, fregmentasi sudah berhenti. Saya ambil makanan yang tadi saya bungkus, lantas beranjak ke ruang WWF depan yang ada televisinya. Sendirian, saya lalu menyantap makan malam sambil menonton. Channel televisinya terbatas. Yang paling bagus, channel yang selalu berisi berita. Mau tidak mau, saya pun menyaksikan. Dari pada makan dalam keheningan.
Diberitakanlah; keributan di Solo. Satu tewas. Tawuran antar-mahasiswa karena pertandingan sepakbola. Tindakan anarkis geng motor semakin marak. Pembubaran diskusi buku di Salihara. Dan macam-macam lagi. Dan macam-macam lagi.
Entah mengapa, saya tertawa. Tertawa terbahak-bahak. Hingga terpaksa saya tutupi mulut saya agar nasi dan lauk pauk yang sudah di perut tidak melompat keluar. Di dalam tawa itu, saya mengucap “katanya negara Bineka Tunggal Ika”. Lantas saya tersedak. Beberapa nasi masuk ke dalam saluran hidung. Beruntung, bukan tulang ikan.
Lantas, saya ingat kepada Dango, kepada masyarakat dayak Kayaan. Padahal, baru beberapa jam saja kami berpisah, tapi rasanya sudah lama. Jomplangsekali apa yang dirasakan saya sore tadi ketika masih di rumah Betang dengan kali ini di depan televisi. Inilah yang seharusnya saya sadari dari tadi; bersama mereka, ada keharmonisan, ketentraman. Saya yang tidak makan babi dan mereka yang makan babi bisa duduk bersama-sama dalam satu lantai, berdempet-dempet, tanpa merasa risih, bahkan tertawa-tawa. Motto Dango “Pehengkung peji pepaang petangaraan, pehadi jung urip sayu’ hani ngerimaan (berkumpul bersama dalam satu ikatan, giat berkerja agar hidup jadi lebih baik)” yang ditulis di atas kain hijau dengan estetika aksara apa adanya, bukan diukir indah-indah atau dibikin patung (Bhineka Tunggal Ika maksudnya), bagi mereka bukan sekadar kata-kata yang selewat pandang. Makna motto mereka coba pahami, maknai, dan lakukan dengan sungguh-sungguh.
Di televisi, keributan yang terjadi kadang hanya karena masalah gengsi; gengsi kalau dianggap salah, gengsi kalau dibilang kalah. Dan tidak sedikit dari kita mulai mencoba menjadi tuan-yang-maha-benar.
Usai menonton, saya membuat kopi, lalu beranjak ke teras belakang. Disaksikan remang rembulan, angin dari hutan Heart of Borneo, dan semilir lembut embun (ciee bahasanya) saya merenungkan kata Mamak, salah seorang dayak Kayaan yang bersuami muslim, yang dalam satu minggu Dango, rumahnya sering disantroni saya dan mas Ismu untuk makan malam. “Mayoritas di sini kristen. Yang muslim cuma sepuluh KK (Kepala keluarga). Tapi, tidak pernah kelahi. Untuk Dango, kita sama-sama kerja. Tidak apa-apa beda iman. Semuanya kan niatnya sama. Menyembah Tuhan. Mau masuk surga.” Saya lantas ingat komentar Komaruddin Hidayat dalam The Wisdom of Life “Jika memang agama diwahyukan untuk manusia dan bukan manusia untuk agama, maka salah satu ukuran baik-buruknya sikap hidup beragama adalah dengan menggunakan standar dan kategori kemanusiaan, bukannya ideologi atau sentimen kelompok”
Untuk beberapa menit, saya membayangkan diri saya untuk menetap saja di sana, tidak perlu kembali lagi ke kota.
Terima kasih.
Singkawang, 18 Juli 2012.
Pesta Dango Dayak Kayaan ini dilaksanakan di dusun Ida’ Beraan, desa Tanjung Karang, kecamatan Putussibau Utara, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, tanggal 30 April 2012-5 Mei 2012.
Satu-satunya yang bisa dilakukan hanyalah tidur dan mendengarkan musik. Lagu yang diputar di awal-awal, karena memakai flasdisk saya, sebagian besar adalah Slank.Sekali-kali, kami pun mengobrolkan band ini. Sayangnya, gadis yang duduk di sebelah adalah generasi Afgan. Jadi, banyak tak nyambung. Padahal, cukup manis. Pembicaraan mengenai Slank pun hanya melibatkan tiga peserta. Plus supir. Begitu semangatnya. Kami seolah-olah pakar, yang menilai Slank dalamsudut pandang objektif. Padahal, semua subjektif!!. Tak apa, kesamaan kegemaran menjadikan pembahasan jadi terasa lebih heboh. Si gadis, tentu memilih tidur. Telinganya, selain berbau Afgan, juga telinga Cerry –graham- Bellll..hehe.
Di Sintang, kota antara Pontianak dan Putussibau, kami berhenti. Supir berganti. Supir yang ini begitu mudah mengantuk tampaknya. Sebab itu, ia memutar lagu disko koplo. Saya menertawakan mas Ismu dalam hati, sebab sebelumnya ia pernah mengungkapkan, disko koplo adalah siksaan terhebat dalam pengalaman perjalanannya. Sekarang terulang lagi. Haha. Tapi, yang penting selamat. Si supir toh berhasil terus melek.
Jam delapan pagi tepat, sampai. Pemberhentian terakhir kami di kantor WWF cabang Putussibau. Di sana, kami beristirahat satu harian.
Besok hari pun datang. Pagi-pagi, kami siapkan motor. Isi bensin, full tank. Isinya di eceran, sebab pom bensin hanya buka dua kali dalam satu minggu. Jadi, you know lah, harga eceran, apalagi di tempat yang minim distribusi. Lalu, bersama seorang sahabat mas Ismu, pak Basa, kami pun berangkat. Satu jam perjalanan itu mengingatkan saya pada jingle Ninja Hattori. Mendaki gunung, lewati lembah. Sungai mengalir indah ke Samudra. Maklum, jalurnya adalah jalur setapak, bukan jalan raya. Juga perlu, dua kali menaikkan motor ke sampan. (Di suatu penyebrangan, terjadi insiden. Saya menjatuhkan kamera ke sungai. Hiks. Untung tidak apa-apa)
Lalu, sampailah, sekitar jam delapan pagi, di gereja Santu Antonius Dari Padua, Desa Tanjung Karang, kecamatan Putussibau Utara. Di sana sedang akan diadakan misa. Bukan misa biasa, sebab kali ini disertakan juga pembukaan pesta Dango (baca: Dange) masyarakat Dayak Kayaan yang tinggal di sana. Karena pesta itulah, kami jauh-jauh kemari.
PEMAKNAAN DANGO
Dango (biasa diistilahkan juga dengan Gawai) adalah suatu pesta panen masyarakatDayak. Kurun waktunya bermacam-macam. Ada yang terhitung hari, ada yang lebih dari seminggu. Dango Dayak Kayaan desa Ida’ Beraan yang kami kunjungi ini, akan berlangsung seminggu. Maka, dalam seminggu itu, kami pun membiasakan telinga dengan alunan dendang dariMudi dan Kelentang, alat musik pukul khas Dayak Kayaan, yang hampir setiap hari dimainkan di Rumah Betang, rumah adatDayak. Sebenarnya, acara serunya ada di dua hari terakhir. Selebihnya hanya persiapan. Namun, dalam persiapan, bisa disaksikan bagaimana tata dekorasi dan pengisi apresiasi dimatangkan. Dan ini termasuk hal yang menyenangkan. Bisa dilihat, hanya orang-orang yang memang ahli yang bisa membuat Penghout (surai-surai dinding yang diiris dari kayu Payoung) dan membentuk Tublak (bunga dari kayu berbentuk segi empat dan digantung). Para calon penari Peju Lasaah dan Hudo (tari khas dayak Kayaan) yang umumnya masih berstatus pelajar, pun terlihat rajin berlatih. Hoanijaan (seniman Kayaan) Ko Ana (60), pengajar mereka, menuturkan bahwa jika tari hanya dipahami sebagai gerakan, akan sulit sekali belajar. Tari memiliki makna yang lebih dalam dari pada sekadar berlenggak lenggok.
Oh, sekilas mengenai Ko Ana. Dia sosok yang mengagumkan. Saya beruntung bisa banyak berbincang-bincang dengannya. Dia mendapat gelar Hoanijaan karena kemampuan seninya adalah yang terbaik di masyarakat dayak Kayaan. Main Sampek (gitar Dayak) bisa. Main Mudi (seperti Gamelan) bisa. Dayung (menembang dengan bahasa Dayak Kayaan), dia jagonya. Menari, jangan dibicarakan lagi, dia pakarnya. Beliau pun merupakan sosok yang penting dalam Dango. Banyak bagian acara yang melibatkan dirinya. Dari beliau jugalah kami banyak mendapat informasi tentang Dango dan adat masyarakat Dayak Kayaan.
Waktu pun terus berlalu. Tiga hari menjelang puncak Dango, saya dan mas Ismu memutuskan untuk menginap di rumah salah seorang warga. Yang paling menyenangkan dari hal ini adalah, setiap mandi, harus beranjak ke sungai Mandalam yang memang mengalir sepanjang desa Ida’ Beraan. Tidak luar biasa kan?. Ya, maaf, saya agak memiliki masalah dengan kebahagiaan masa kecil. Hanya ingin menekankan, kealamian dan kenaturalan begitu terasa dari kecipak-kecipuk air sungai Mandalam.
Sehari sebelum acara puncak, acara-acara mulai “serius”. Rumah Betang dibersihkan. Warga-warga semakin sibuk berlalu lalang, sibuk mempersiapkan. Beberapa ritual adat pun mulai dilaksanakan. Salah satunya, mendirikan rumah Dango. Rumah Dango ini, hanya khusus diadakan untuk acara Dango. Usai Dango, ia akan dirubuhkan. Bahan-bahan khusus untuk rumah tersebut pun segera disediakan; kayuhubo, hibo, buluh (bambu) kuning, danakartavaa’. Pendirian rumah diawali dengan sebuah upacara. Seorang anak laki-laki, yang masih lengkap orang tua dan kakek-neneknya (ini rukun wajib pendirian rumah Dango), menjadi orang yang meletakkan tiang pertama. Ia diantarkan oleh sebuah tarian. Lalu, berbagai macam doa adat dibacakan tetua. RumahDango pun mulai bisa di bangun. Menjelang sore, rumah Dango rampung.
Selanjutnya, Hoanijaan Ko Ana, melaksanakan proses persembahanatauMater Halok. Persembahan berupa daging babi masak, tuak yang ditampung ke dalamTawe (bambukecil), rokok, sirih, dandinoanyeh (kulit ketan yang digoreng dengan minyak babi). Seluruhnya dimasukkan kedalam tempat bambu bernama belakak untuk kemudian diletakkan Ko Ana di hutan, di sisikanan, kiri, dan depan rumah adat.
Esok harinya, acarapuncak pun dimulai. Mayoritas masyarakat dusun hadir. Tidak sedikit pula tamu undangan. Salah seorangnya adalah pak Agus Mulyana, wakil bupati Kapuas Hulu. Kedatangannya beserta rombongan pemerintahan, berisi beberapa kepala dinas dan staf pemda Kapuas Hulu. Tarian Hudo pun ditampilkan untuk menyambut mereka. Ketika mereka sudah duduk dengan rapi di rumah Betang, pembukaan acara puncak segera dimulai.
Tarian Pejuu Lasah, yang dipimpin seorang perempuan yang memegang Mandau, menjadi awalan. Mandau di tari Pejuu Lasah, lantas digunakan untuk pemotongan persembahan, Babi. Ritual ini diistilahkan NivakUting. Selanjutnya, dilanjutkan lagi ke acara “pemberkatan” atau Melaa’. Para keluarga silih berganti membawa anaknya ke dalam rumah Dango untuk didoakan. Doa-doa lain juga dipanjatkan, seperti Negui ka ketanaa’ (doa mohon kelancaran ladang), Mayaa’ Tivii (doa mohon perlindungan), Nyinaah (doa untuk kesatuan seluruh masyarakat), atauTepujoo’ Ujan (doa agar cuaca baik).
Tengah hari, acara diselingi dengan santapan persembahan. JugaTuak (minuman khas Dayak) yang diantar berkeliling. Selesainya, doa-doa kembali dilaksanakan. Hingga waktu pun menuntutUlii’ Wa (penutupan). Coreng moreng arang, dicoretkan pada setiap orang –sebuah tanda bahwa orang tersebut mengiukuti Dango. Semua tertawa. Semua bersyukur. Mudi, Kelentang dan Sapek, masih berbunyi.Tuak pun masih terus diedarkan.
INKULTURISASI DAN PELESTARIAN BUDAYA
Pesta Dango, awalnya hanya merupakan pesta panen bagi masyarakat Dayak Kayaan. Secara mitologis, diterangkan oleh Huanajoo Ko Ana, pesta Dango adalah bentuk penghormatan kepada Hunyang Bulan (semacamDewi Sri dalam mitologiJawa) yang merelakan dirinya menjadi padi. Dalam perkembangannya, Dango menjadi bukan sekadar berkaitan dengan pesoalan panen. Ko Ana menjelaskan “Dango juga merupakan doa, rasa terimakasih, kecintaan terhadap alam, dan simbol persatuan”. Di hari kemudian, beberapa cerita ini, termasuk bagaimana sejarah dayak Kayaan berlangsung, saya temukan dalam buku Apo Kayaan (lupa pengarangnya) dan Di Pedalaman Kalimantan (Dr. Anton W. Nieuwenhuis, 1984).
Ungkapan Ko Ana (sungguh, ia wanita yang baik hati dan seniman yang mengagumkan) juga menjelaskan beberapa mengenai seni dayak Kayaan. Misalnya, mengapa tarian Pejuu Lasah dipimpin penari yangmemegang Mandau; pengeyahan marabahaya dan bencana. Ada juga tarian Anokiaa (dilakukan dengan memegang bersama-sama seutas kain) yang menunjukkan simbol keharmonisan dan persatuan. Begitu pun dengan pakaian yang dikenakan; para penari PejuuLasah menggunakanTengkulasyang terdiri dari kepala dan ekor burung Enggang asli (Tengkulas ini tidak lagi diproduksi, karena eksistensi jumlah burung Enggang yang mulai menipis). Secara mitos, aksesoris tersebut bermakna rasa terima kasih masyarakat Dayak Kayaan terhadap bantuan burung Enggang saat mereka tiba di hulu Sungai Kapuas dari Apo Kayan (sekarang masuk wilayah Kalimantan Timur). Ini menjadi sebuah bentuk kecintaan dan penghormatan kepada alam.
Semua pemaknaan tradisi itu dapat dikatakan sebagai “sisa-sisa” bentuk orisinalitas kebudayaan Dayak Kayaan. Sebab, seperti halnya suku atau masyarakat lain, Dayak Kayaan pun tidak terhindar dari perkembangan peradaban. Jangan bayangkan Dayak Kayaan sebagai sebuah suku yang tidak mengenal televisi atau handphone (meski sinyal agak susah). Perkembangan peradaban ini mereka sadari. Tinggal memilih, meyikapinya dengan bijak atau terbawa arus saja.
Di tataran religuitas, asimilasi ini, atau kita istilahkan saja inkulturisasi, sudah terlihat. Saat di acara misa pembukaan Dango, lagu-lagu rohani dinyanyikan dalam bahasa Dayak Kayaan. Ditampilkan pula tarian-tarian dayak Kayaan di dalam gereja. Ada kombinasi antara kepercayaan Dayak Kayaan lama dengan konsep gereja.
Lantas, kami bercakap-cakap dengan pastor Suhardi dan salah seorang tetua (lupa namanya). Dijelaskanlah; secara historis, keberadaan agama Kristen di dayak Kayaan, dimulakan oleh pastor Ding. Beliaulah yang mengedepankan konsep inkulturisasi. Kepercayaan masyarakat Dayak Kayaan terdahulu, yang menganggungkanTenangan (pembagi rejeki), Tipang (pencipta), danTinge (pemelihara), memiliki garis yang sama dengan konsep gereja; trinitas yang bermuara pada satu kekuasaan. “Ini jugalah yang memudahkan Kristen diterima di Kayaan” ujar pastor Suhardi.
Maka, kata “Tipang” yang sebelumnya merupakan sebutan untuk salah satu dewa, sekarang berubah menjadi “Tuhan”.
Hal ini saya temui dalam satu lagu rohani gereja yang diterjemahkan dalam bahasa Kayaan. Hmm, iramanya easy listening. Mudah diingat. Sayang, saya hanya bisa menyertakan liriknya.
Ni’nah halo amee
Kame Klunaan dusa
Kelaan kame umah ame
Hurung je uss ame
Na vah in ke nap ame
O Tipang apii’ ni naa’
Apii’ Tipang apii ni naa’
Ini lah dalam (halam) kami
Kami orang berdosa
Agar kami tidak susah
Dapat rumah kami
Tuhan, ambillah ini
Ambillah Tuhan, ambillah persembahan kami
(Mada Bakti Kayaan, Diterjemahkan ke bahasa Kayaan oleh Lusia Ping dari MB.Nogzy)
Di tataran apresiasi seni, asimilasi budaya juga bisa ditemui. Jadi, di dalam Dango ternyata tidak hanya ditampilkan tarian atau nyanyian adat. Ketika bercakap-cakap dengan ketua adat Dayak Kayaan mengenai persiapan pesta puncak, dia membeberkan draft acara. Di satu bagian, tepatnya malam sebelum hari puncak (semodel malam Takbiran), ada dipaparkannya “tengah malam, acaranya dangdutan”. Tentu ini membuat kening sempat berkerut. Ia pun menambahkan “Buat menarik yang anak-anak muda. Kalau hanya tarian adat, mereka tidak tertarik. Memang, soal ini sesama panitia ada perdebatan. Tapi, kita tidak bisa menolak perkembangan budaya”. Kami pun angguk-angguk. Itu mungkin salah satu keputusan yang terbijak menghadapi sepak terjang era kontemporer ini. Itu juga menunjukkan, mengapa generasi muda tidak banyak mengerti tentang seni tradisional Kayaan saat kami tanyai. Sayang sekali.
Demi menanggulangi miss genariton, tentu yang perlu dilakukan adalah penyadaran berkelanjutan tentang pentingnya menjaga kelestarian budaya. Yang paling berwenang untuk itu adalah pemerintah (saya mencoba untuk tidak pesimis terhadap pemerintahan.hehe). Ketika Wakil Bupati Agus Mulyana kami wawancarai, ia pun menanggapi dengan serius perihal kelestarian budaya ini.Ia mengimbau kerja sama seluruh masyarakat. “Pelestarian budaya bukan hanya kerja sebagian orang, namun sudah semestinya mencangkup seluruh elemen masyarakat.Tindakan ini pasti ada konsekuensi. Tapi selama ada niat baik, pasti baik.” Wakil Bupati selanjutnya mengungkapkan program pemerintah demi pelestarian budaya. Beberapa di antaranya adalah penganggaran APBD untuk budaya, pembuatan kalender budaya, pelaksanaan festival budaya, pengadaan kurikulum budaya lokal dalam sekolah-sekolah dan program promosi kegiatan adat. “Masyarakat itu rindu dengan ritual budaya” tambahnya. Semoga bukan planning di atas lidah saja pak. Amin.
MAKAN GAK MAKAN (BABI) ASAL KUMPUL
Salah satu hewan kegemaran masyarakat Dayak adalah Babi. Babi pula yang menjadi hewan persembahan dalam Nevak Uting (prosesi persembahan). Babi bagi masyarakat Dayak setara denganKambing atau Sapi bagi masyarakat muslim di hari Raya Kurban. Si Babi ini pula, usai darah dari nadi lehernya habis memuncrat, yang dibawa masuk ke dapur, lantas dimasak.
Siang hari, ketika break acara puncak, hidangan makan siang pun disediakan. Salah satu lauknya, ya babi tadi. Sebut saja, sup babi. Semua orang pun ambil posisi. Siap-siap menyantap porsi yang tersedia.
Saya, tidak makan babi. Tidak perlu khawatir, sebab disediakan menu khusus untuk orang-orang model saya ini. Di acara Dango, juga diundang banyak desa tetangga, salah satunya adalah desa Sambus yang mayoritas penduduknya muslim. Maka menu saya pun sama seperti penduduk Sambus.
Menu saya, saya taruh di hadapan saya. Posisi saya, tetap di rumah Betang, tetap di antara seliweran sup Babi. Saya pun duduk bersila, lalu, hup, makan siang pun dimulai.
Salah seorang kenalan saya di Ida’ Beraan, diakon (asisten Pendeta) Jefri, yang duduk di samping saya tidak makan Babi juga ternyata. Iseng, dua sahabat kami dari Dayak Kayaan yang duduk di hadapan kami mengejek “Huu, kalau tidak makan Babi di Dango, tidak sah Dangonya”. Saya tertawa. Diakon Jefri juga tertawa. Diakon Jefri lantas berkata “Kalau Rojay makan Babi, saya makan juga”. Hahahaha. Saya ingin Diakon Jefri membuktikan ucapannya, lalu saya ambil satu mangkok sup Babi. Dan,..saya taruh lagi supnya. Tidak mampu ternyata. Hahaha.
Selesai makan, acara kembali dilanjutkan. Satu jam sebelum acara selesai, mulailah minuman khas Dayak, yang dihasilkan melalui fregmentasi dari ketan atau yang lebih dikenal dengan sebutan Tuak, disebarluaskan. Kali ini, saya tergoda.
Sebelum senja selesai, acara usai. Semua orang menari-nari. Saya taruh kamera. Mas Ismu taruh kamera. Dan kami ikut menari. Diakon Jefri juga. Berputar-putar. Wajah-wajah kami lantas dicorengi oleh arang. Tidak boleh marah. Tadi sudah diterangkan, itu merupakan tanda bahwa kami telah menghadiri Dango (Hal yang sama juga mereka lakukan terhadap wakil bupati Kapuas Hulu. Hmm, di Dango, politik dan jabatan nomor sekian). Tapi, kami boleh membalas. Maka, terjadilah sedikit kehebohan yang mengasyikkan di sepanjang rumah Betang. Dari speaker, terdengar alunan dangdut. Bukannya benci dangdut, namun “Mengapa dangdut lagi?”
Sebelum gelap, saya dan mas Ismu undur diri. Kami berkemas lalu pamitan kembali ke kota Putussibau. Kami pun bersalam-salaman. Yang namanya perpisahan, tentu tidak menyenangkan. Apalagi ketika kita mulai merasa dekat dengan yang ditinggalkan. Jadi, rasanya terlalu cepat Dango ini. Dan, ternyata ada kesan yang lebih mendalam yang disisakan Dango dibanding sekadar perpisahan. Saat itu saya tidak menyadarinya.Karena naik motor pun, saya harus bersusah payah. Tuak yang masuk terlalu banyak. Sepanjang perjalanan, saya bahkan harus memegangi terus pundak mas Ismu yang membonceng. Kalau lebih satu gelas lagi, habislah..
Sampai di WWF Putussibau, jam tujuh malam. Langsung tepar. Jam delapan malam bangun, lalu beranjak ke warung makan. Beli nasi dan ikan bakar. Saya hanya mampu makan seperempat. Proses fregmentasi ternyata masih terus berlangsung di perut, mengacaukan nafsu makan dan proses pencernaan. Sisa makanan, akhirnya saya bungkus saja.
Di kantor, saya pun berlama-lama di kamar mandi. Keluarkan semua. Harapannya, tentu agar proses fregmentasi berhenti. Keluar dari kamar mandi, tidur lagi.
Jam sebelas malam, saya bangun dan mencoba untuk berdiri. Ternyata, tidak limbung. Wah. Rasa lapar pun muncul. Artinya, fregmentasi sudah berhenti. Saya ambil makanan yang tadi saya bungkus, lantas beranjak ke ruang WWF depan yang ada televisinya. Sendirian, saya lalu menyantap makan malam sambil menonton. Channel televisinya terbatas. Yang paling bagus, channel yang selalu berisi berita. Mau tidak mau, saya pun menyaksikan. Dari pada makan dalam keheningan.
Diberitakanlah; keributan di Solo. Satu tewas. Tawuran antar-mahasiswa karena pertandingan sepakbola. Tindakan anarkis geng motor semakin marak. Pembubaran diskusi buku di Salihara. Dan macam-macam lagi. Dan macam-macam lagi.
Entah mengapa, saya tertawa. Tertawa terbahak-bahak. Hingga terpaksa saya tutupi mulut saya agar nasi dan lauk pauk yang sudah di perut tidak melompat keluar. Di dalam tawa itu, saya mengucap “katanya negara Bineka Tunggal Ika”. Lantas saya tersedak. Beberapa nasi masuk ke dalam saluran hidung. Beruntung, bukan tulang ikan.
Lantas, saya ingat kepada Dango, kepada masyarakat dayak Kayaan. Padahal, baru beberapa jam saja kami berpisah, tapi rasanya sudah lama. Jomplangsekali apa yang dirasakan saya sore tadi ketika masih di rumah Betang dengan kali ini di depan televisi. Inilah yang seharusnya saya sadari dari tadi; bersama mereka, ada keharmonisan, ketentraman. Saya yang tidak makan babi dan mereka yang makan babi bisa duduk bersama-sama dalam satu lantai, berdempet-dempet, tanpa merasa risih, bahkan tertawa-tawa. Motto Dango “Pehengkung peji pepaang petangaraan, pehadi jung urip sayu’ hani ngerimaan (berkumpul bersama dalam satu ikatan, giat berkerja agar hidup jadi lebih baik)” yang ditulis di atas kain hijau dengan estetika aksara apa adanya, bukan diukir indah-indah atau dibikin patung (Bhineka Tunggal Ika maksudnya), bagi mereka bukan sekadar kata-kata yang selewat pandang. Makna motto mereka coba pahami, maknai, dan lakukan dengan sungguh-sungguh.
Di televisi, keributan yang terjadi kadang hanya karena masalah gengsi; gengsi kalau dianggap salah, gengsi kalau dibilang kalah. Dan tidak sedikit dari kita mulai mencoba menjadi tuan-yang-maha-benar.
Usai menonton, saya membuat kopi, lalu beranjak ke teras belakang. Disaksikan remang rembulan, angin dari hutan Heart of Borneo, dan semilir lembut embun (ciee bahasanya) saya merenungkan kata Mamak, salah seorang dayak Kayaan yang bersuami muslim, yang dalam satu minggu Dango, rumahnya sering disantroni saya dan mas Ismu untuk makan malam. “Mayoritas di sini kristen. Yang muslim cuma sepuluh KK (Kepala keluarga). Tapi, tidak pernah kelahi. Untuk Dango, kita sama-sama kerja. Tidak apa-apa beda iman. Semuanya kan niatnya sama. Menyembah Tuhan. Mau masuk surga.” Saya lantas ingat komentar Komaruddin Hidayat dalam The Wisdom of Life “Jika memang agama diwahyukan untuk manusia dan bukan manusia untuk agama, maka salah satu ukuran baik-buruknya sikap hidup beragama adalah dengan menggunakan standar dan kategori kemanusiaan, bukannya ideologi atau sentimen kelompok”
Untuk beberapa menit, saya membayangkan diri saya untuk menetap saja di sana, tidak perlu kembali lagi ke kota.
Terima kasih.
Singkawang, 18 Juli 2012.
Pesta Dango Dayak Kayaan ini dilaksanakan di dusun Ida’ Beraan, desa Tanjung Karang, kecamatan Putussibau Utara, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, tanggal 30 April 2012-5 Mei 2012.
Kamis, 02 Agustus 2012
JEJAK LANGKAH PASIR (2); DARI PANGGUNG KE TANAH
Pertama kali saya bermain teater di kelas 2 pesantren (anggap saja 2 SMP). Waktu itu, kami mementaskan kisah nabi Ibrahim. Pementasan itu merupakan salah satu rangkaian acara dari Idul Adha. Peran saya adalah peran yang “numpang lewat” atau katakan saja “sangat tidak penting”. Kalau pun saya tidak turut, sama sekali tidak akan mengganggu pementasan secara keseluruhan. Si pengangkat keranda jenazah, itulah saya.
Tetapi peranan itu ternyata ada bekasnya. Pertama, saya jadi punya pengalaman bermain teater. Pengalaman itu bukan sekadar berakting (kalau boleh kegiatan saya waktu itu disebut akting) tok. Ada tersisip kebanggaan di situ; bangga dapat dilihat semua orang. Apalagi yang menonton adalah keseluruhan santri, angkatan pertama dan dua, yang jumlahnya kurang lebih 3 ribu orang. Ditambah juga para ustadz dan ustadzah yang jumlahnya ratusan. Belum lagi staf pengurus pesantren. Belum lagi karyawan loundry, karyawan bangunan, karyawan kantin. Meski kemungkinan besar mereka tidak memperdulikan saya, itu urusan nomor sekian. Selain itu, saya juga bangga karena bisa “bolos” dari hukum wajib berada di asrama di malam hari. Kami berlatih di gedung pertunjukkan, selama satu minggu, setiap ba’dan isya hingga jam setengah sepuluh. Bagi saya yang waktu itu adalah santri taat hukum, itu merupakan prestasi tersendiri.
Bekas yang kedua, sayangnya adalah bekas yang tidak menyenangkan. Karena pementasan itu adalah tentang nabi Ibrahim, dan kaum nabi Ibrahim adalah orang Arab (katakan saja begitu. Waktu itu, kami tidak mau repot-repot menggali sejarah), dan orang Arab adalah orang yang memakai baju gamis (baju kurung yang panjang itu loh) maka saya pun harus meminjam baju gamis. Mengapa meminjam? Saya tidak punya. Mengapa tidak punya? Karena tidak diwajibkan. Mengapa tidak diwajibkan? Karena itu baju orang Arab. Dan pesantren, haruskah selalu identik dengan Arab? Untuk urusan lughoh (bahasa) mungkin iya. Tapi baju, setidaknya dalam penalaran saya di hari ini, adalah urusan “tetek bengek”.
Intinya, saya harus pinjam baju gamis. Seorang teman dekat, sangat dekat, karena kami satu kelas dan satu kamar dalam beberapa semester, meminjamkan saya. Sebut saja namanya Abdul. Saya pun tertolong. Saya jadi tidak perlu berkeliling asrama mencari pinjaman gamis yang jarang dipunyai itu.
Selain itu, ada juga aksesoris lain yang terbilang wajib, yaitu bulu. Yah, namanya orang Arab, pasti banyak bulu.
Minimal, ada janggutnya. Untuk urusan ini, saya dan beberapa teman berinisiatif menggunakan tinta. Jadilah dagu dan jambang muda kami mendadak hitam.
Sayangnya, saat janggut itu belum kering, saya sudah menunduk (karena apa, entah). Tinta pun melekat di gamis. Saya sadari itu setelah pementasan berakhir. Saya pun me-loundry-nya. Ternyata tidak hilang. Ya sudahlah. Mau bagaimana lagi. Toh gamis ini baju teman baik. Tidak jarang kami bertukar barang dan kalau terdapat masalah dengan barang tersebut, tidak pernah jadi persoalan besar. Pikir saya, ia akan mengomel sedikit lalu kami baikan seperti sedia kala lagi. Tidak mungkin ia menuntut gamis baru.
Ternyata, bayangan saya sama jauh dari kenyataan. Saat Abdul menerimanya kembali dan melihat bercak hitam di dekat kerah depan, ia mengomel. Bukan sedikit, tapi banyak. Setelah tiga hari (jika orang bermusuhan, maksimal hanya tiga hari. Bukankah begitu wahai pak ustadz?), ia tidak juga menegur saya. Saya tentu menjadi sangat tidak nyaman hati. Saya berinisiatif menegur duluan, mengatakan bahwa saya akan mengganti gamisnya. Tetapi dia tetap berlaku cuek aja. Akhirnya, hubungan persahabatan kami terputus. Benar-benar terputus. Saya tahu, gamis mahal harganya. Tapi saya tidak tahu, yang mahal kadang membuat masalah yang sesungguhnya sepele menjadi besar, bahkan mengorbankan hubungan persahabatan. Ya, diwaktu itu, saya belajar menjadi orang yang berprinsip “punya teman seribu masih sedikit, punya musuh satu sudah banyak”. Entah prinsip itu masih berlaku atau tidak. Karenanya, saya kecewa dan masih mengingatnya terus.
Akhirnya, saya jadi trauma dengan baju gamis. Sangat trauma. Seingat saya, saya tidak pernah lagi menggunakan baju gamis selama di pesantren setelah permusuhan kami itu. Dampaknya terhadap karir (karir? ckck) saya di teater ternyata besar. Pementasan teater pesantren selalu berbau-bau Arab. Gamis menjadi fashion wajib. Saya memilih keluar saja dari pada harus berurusan dengan gamis. Toh saya bukan pemeran utama, hanya anak bawang. Tidak akan ada dampak apa-apa. Si pengangkat keranda pun menjadi satu-satunya memori saya di teater pesantren.
Selanjutnya, setelah lulus pesantren, saya “terjebak” di Sastra Indonesia. Saya pun terjebak juga di salah satu kegiatan mahasiswa. Teater Djati namanya. Saya ikut teater itu, sebagian alasan saya karena sepuluh persen teman-teman angkatan saya ikut itu. Sebagian lagi alasan, karena itulah kegiatan yang tidak mengeluarkan uang pendaftaran. Tentu alasan itu tidak cukup kuat untuk menahan saya di sana. Saya pun berniat mencari kegiatan yang lain. Sayang, saat niat itu hendak diwujudkan, teater Djati akan melakukan pementasan besar dan saya sudah didaftarkan sebagai tim properti (bahasa kerennya, tukang angkut barang). Terpaksa saya harus masih bertahan beberapa waktu.
Frasa “beberapa waktu” itu ternyata tidak memiliki makna. Tidak tahu karena kerasukan apa, saya pelan-pelan merasa senang di teater Djati. Bahkan meski dalam dua tahun saya hanya menjadi tukang angkut barang, meski satu per satu teman-teman saya lebih memilih fokus di kegiatan lain, meski ketika saya dimintai iuran mingguan, saya tetap di teater Djati. Kata “tetap” di sini bersifat fluktuatif, sebab saya bukan orang yang rajin hadir latihan juga ambil bagian. Sesuai mood saja. Kata “tetap” hanya menunjukkan bahwa saya dan Djati mulai bersahabat dekat.
Pementasan pertama, setelah mungkin dua tahun lebih sejak pertama kali turut latihan, lalu tiba. Itu pementasan absurd. Saya hanya di suruh berbicara dalam bahasa Singkawang. Tentu mudah, karena kesalahan apa pun yang saya buat dalam pengucapan, tidak akan ada yang mengerti. Unpad ada di tanah Sunda. Dalam pementasan itu, ada juga teman saya yang (dalam pengakuannya) berasal dari Bangka. Inisialnya, Fega Maria. Saya masih ingat bagaimana dia membuka percakapan dengan berteriak sambil kakinya bergerak-gerak seperti mengibas pasir pantai. Itu, membuat saya yang seharusnya berdiam diri menjadi patung karena belum saatnya berdialog, menjadi bersusah payah menahan cekikikan. Dari pementasan itu saya belajar, konsentrasi memang merupakan hal yang tidak mudah.
Dari pementasan selanjutnya saya belajar tentang A. Pementasan selanjutnya juga. Yang itu juga. Akhirnya, banyak sekali yang saya dapatkan dari teater. Pembelajaran yang ternyata berpengaruh di kehidupan “nyata”. Tentu bukan dari teater saja pembelajaran tersebut dapat ditemukan. Setiap orang punya caranya masing-masing. Hanya, inilah cara saya.
Di lain sisi, kehidupan saya ternyata mulai goyah. Cukup serius karena menyangkut aqidah. Apa yang saya pelajari dari pesantren ternyata digebuk habis-habisan. Persoalan itu mengenai keberadaan Tuhan dan tujuan kehidupan. Apa penyebabnya? Hm, saya kira itu pertanyaan mudah. Kata kunci: nihilisme, skeptisme, blablablaisme.
Yang jelas, karena itu, saya pun mengalami suatu Jumat yang gelisah. Sangat gelisah. Saya akhirnya memutuskan untuk menulis di sebuah kertas. Kira-kira begini bunyinya; Tuhan, kalau kau memang ada, jawab sekarang juga, untuk apa hidup ini. Terdengar kurang ajar memang. Itu bukan pertanyaan, tapi perintah. Saya seperti ingin menyamai nabi Musa yang meminta Tuhan menujukkan wujudnya, lalu Tuhan pun merubuhkan sebuah gunung, atau seperti bani Israil yang juga ingin melihat Tuhan, lalu disambar halilintar. Jumat itu memang Jumat gelisah.
Beruntung tidak ada gunung yang rubuh, tidak ada halilintar yang menyambar. Beberapa menit setelah saya menulis perintah berbungkus tanya, tiba-tiba volume radio terdengar lebih nyaring –yang jika sebenarnya dilihat dari teori psikologi, wajar terjadi. Suara yang pelan bisa menjadi suara yang jernih jika kita memfokuskan telinga-. Saya, yang secara alam bawah sadar tentu menyimpan konsep irasionalitas, pun agak kaget. Dari Radio tersebut, terdengar sebuah lagu yang belum pernah saya dengarkan sebelum dan setelahnya. Bunyinya: tanyalah ayah, tanyalah ibu. Siapa penyanyinya, saya tidak tahu. Yang jelas, bukan Slank, bukan Iwan Fals. Dan saya tidak pernah ingin mencari tahu. Sebuah keuntungan tentunya, karena ketidaktahuan yang tidak melahirkan rasa penasaran kadang justru menghasilkan ketentraman.
Saya hanya peduli dengan liriknya. "Tanyalah ayah, tanyalah ibu.."
Saya SMS ibu saya, bapak saya. Keduanya membalas dengan nada yang hampir sama. Hidup ini untuk menjalankan peranan masing-masing. Terutama ibu saya, saya bahkan tidak percaya ia akan menjawab seperti itu. Saya kira ia akan berkultum. Ternyata, itulah jawabannya. Kita sering kali merasa mengenal seseorang.
Saya pun percaya, Tuhan memang ada, bukan diada-adakan. Saya pun percaya, hidup itu peranan. Jika yang terjadi pada saya adalah sebuah kekonyolan, saya pun akan tetap percaya. Apakah hal itu masuk di logika atau tidak? Saya tidak peduli. Kita sering kali lupa bahwa manusia juga memiliki intuisi selain otak. Yang seharusnya adalah keseimbangan; yin dan yang kata orang Cina, Lingga dan yoni, kata orang Hindu. Pengagungan salah satunya hanya akan menyebabkan krisis eksistensi (halaaah. Cukup).
Selain peristiwa di atas, dalam bulan selanjutnya, berturut-turut dalam beberapa minggu, saya juga mendapat mimpi. Mimpi bertemu dengan Albet Camus, Franz Kafka, Nietzsche, dan Muhammad Iqbal.
Albert Camus datang kepada saya di suatu tidur pagi (karena saya tidur setelah pukul lima). Bagaimana awal mula dia datang, jelas saya tidak tahu. Kita selalu lupa bagaimana sebuah mimpi bermula. Ia menggunakan jas hitam yang kerahnya dinaikan. Sekilas mirip vampir yang digambarkan banyak film. Percakapan kami sebenarnya singkat. Namun karena itu di mimpi, jadi terasa lama. Saya masih ingat dialog kami.
Camus : Kamu sisifus?
Saya : Bukan, saya rojay.
Camus : Tidak, kamu adalah sisifus.
Saya : iya, saya sisifus.
Camus : Kamu bahagia?
Saya : Mudah-mudahan.
Camus : Ya, berbahagialah. Saat mendorong batu, jangan terlalu dibuat beban. Sesekali singgahlah di warung kopi, merokok dan bersitirahat dengan santai. Pandangi bintang-bintang. Dari gunung, mereka seakan dekat sekali.
Saya : Ya saya tahu. Saya pernah naik ke gunung Geulis.
Camus : Itu bukan gunung. Itu bukit.
Saya : ya. bukit. hanya kami menyebutnya gunung Geulis.
Camus : Seharusnya tidak boleh terjadi. sebutan bukit Geulis tentu lebih tepat.
Saya : Ya.
Saya dan dia diam beberapa saat. Saya berinisiatif bertanya.
Saya : Anda bahagia?
Camus : Ya. Saya berbahagia saat saya memutuskan untuk tidak lagi membahas soal bunuh diri.
Saya : ya.
Lalu dia tiba-tiba hilang karena saya tiba-tiba terbangun. Kandung kemih saya menuntut untuk ke kamar mandi. Saya pun menurutinya dengan rasa kesal sebab tidak mungkin kita mengharapkan mimpi berlanjut dalam tidur “sambungan”.
Minggu depannya, saya bermimpi bertemu Kafka. Ia terlihat lebih sehat dari pada perkataan banyak orang selama ini bahwa hidupnya hanya diselimuti derita penyakit. Juga tampan. Sangat layak untuk menjadi personil boy band. Saya lupa percakapan kami seutuhnya. Hanya ada satu kalimat yang bisa saya ingat. “Jangan seperti orang desa itu, yang cuma menunggu di gerbang dari muda hingga tua. Berkeliaranlah”. Itu saja. Dia pergi sebelum saya sempat menawarkannya jus mangga. Entah bagaimana saya bisa menikmati jus Mangga. Mimpi sering kali bersifat seenaknya.
Selanjutnya, saya bertemu Nietzsche. Dengannya, saya tidak bercakap-cakap, sebab ia hanya berkeliaran, mendadak muncul dan mendadak hilang. Lewat begitu saja di depan saya. Saat ia muncul, saya mencoba berteriak memanggil. Pertama dalam bahasa Indonesia, tapi gagal. Kedua dalam bahasa Jerman, dan berhasil. Ia menoleh sejenak lalu bergumam, hampir tidak terdengar. Kira-kira begini terjemahannya “bego itu Hitler. Dia pikir, dia itu Zarathustra?”. Kemudian dia hilang dan tidak muncul kembali. Padahal saya ingin bertanya “apa beda God is Dead dan Dead is God”. Tentu akhirnya batal. Oh, saya ingat. Kumisnya di mimpi saya tidak hanya menutupi mulut, tapi juga menutupi leher, dada, dan perut.
Lalu, di minggu depan, di hari selasa, saya bertemu dengan seseorang yang di pundaknya menempel sesuatu yang samar-samar semacam sayap. Awalnya saya kira dia malaikat. Namun kumisnya menyurutkan dugaan saya. Lalu saya kira dia pangeran Diponegoro, tapi salah juga. Saya pun tidak dapat mengenali dia itu siapa. Kami bercakap-cakap panjang lebar seperti mimpi saya dengan Camus. Sayangnya, percakapan kali ini tidak bisa saya ingat sama sekali sewaktu saya bangun. Sama sekali tidak bisa. Tetapi, saya tidak berusaha mengingatnya. Saya lebih memilih keluar kamar dan mendapati setelah sekian lama, saya akhirnya berjumpa dengan pagi dan udara dinginnya. Tidak ada kantuk lagi. Tidak ada niat untuk menyelinap ke balik selimut lagi. Yang saya lakukan selanjutnya, membuat kopi, memasak mie, menyulut rokok, dan memainkan lagu. Memori sederhana itu saya ingat sebagai salah satu hal menyenangkan dalam hidup saya.
Di hari kemudian, saya tahu bahwa seseorang bersayap samar dan berkumis itu adalah Muhammad Iqbal.
Keempat mimpi itu, hingga hari ini kadang selalu saya kenang. Cukup seorang diri saja. Tidak pernah saya bercerita kepada siapapun. Ada ketakutan kalau saya dicap pembohong, pengkhayal, pendusta, dan macam-macam lagi, meski dalam kenyataannya saya memang mengarang.
Beberapa perisitiwa dalam kehidupan saya (jawaban bapak-ibu saya dan mimpi-mimpi saya), ternyata berhasil menjalin satu tema yang utuh, yang lalu bercokol damai dalam pola pikir; hidup adalah pemeranan. Tadinya, ingin saya istilahkan “dunia ini adalah panggung sandiwara”, tapi sudah lebih dahulu diserobot God Bless.
Pola pikir ini pun berpengaruh pula dalam keikutsertaan saya di teater. Saya tidak lagi memandang hubungan saya dengan teater Djati seperti hubungan saya dengan seorang sahabat, tetapi saya dan jemari tangan saya (jemari tangan adalah bagian tubuh yang digunakan, di antaranya adalah untuk mengetik, menjepit rokok, dan mengupil). Pola pikir ini juga berpengaruh saat saya mesti berskripsi-ria. Tanpa ragu-ragu saya memutuskan untuk membahas teater. Teater secara mendalam telah merasuki alam bawah sadar saya.
Lantas waktu pun terus berjalan, tanpa melambat, tanpa mencepat.
Sampailah di suatu jam dua belas malam, di suatu Sabtu, saat saya mendapati kabar bahwa suami bibi saya, meninggal dunia. Kami satu keluarga, malam itu juga lekas pergi ke rumahnya. Di sana kami dapati kabar bahwa kepergian om saya karena serangan jantung yang mendadak. “Padahal jam sembilan tadi masih ngobrol-ngbrol”, “Jam setengah sepuluh dia masih membersihkan rumah”, itulah ungkapan yang beredar, yang menyatakan “masih tidak percaya”. Susah untuk mengomentarinya karena kejadian demikian bukan tidak jarang terjadi. Karena kematian memang sulit diduga.
Di siang hari, setelah ramai orang berkumpul, jenazah om, dibawa ke makamnya. Karena jarak makam tidak terlalu jauh, dia dibawa dengan berjalan kaki. Salah seorang yang menganggut keranda adalah anak lelakinya, sepupu saya, yang berusia dua puluh empat tahun, dan dalam beberapa bulan ke depan akan melangsungkan pernikahan. Saat melihat dia, konsep hidup adalah teater pun kembali mengemuka.
Latar belakang peristiwa tentu akan berpengaruh pada kejiwaan seseorang. Kejiwaan ini lantas berpengaruh pada raut wajah (bahasa kotornya: topeng). Dalam pemakaman tersebut, pada wajah sepupu saya, saya temui kembali (tanpa menghilangkan rasa duka) sebuah “topeng yang alami”. Begitu alaminya. Bahkan jika pun saya tidak memiliki hubungan apa-apa dengannya, saya akan bisa mengenali bahwa ia begitu sedih ditinggal seseorang yang sangat dekat dengannya. Dari matanya, tidak ada air mata. Wajahnya pun tidak memerah. Hanya dari raut wajahnya lah semua berbicara; raut seorang anak lelaki dewasa yang kehilangan ayah, yang berusaha keras tidak mengindahkan beratnya keranda, yang lupa dengan alas kaki padahal aspal siang begitu panas. Dan hanya itulah deskripsi yang bisa saya bahasakan.
Jika saya bandingkan dengan rautnya, yang saya lihat di foto, ketika ia telah melaksanakan lamaran pernikahan, tidak terbayangkan oleh saya ia akan beraut sedih seperti itu. Di dalam foto, senyumnya tersimpul kecil. Pipinya menempel di pipi calon pasangannya. Tanpa di edit photoshop pun kita akan mudah menangkap keceriaan di dalamnya.
Raut dan hidup. Keduanya memiliki sinkronisasi dengan “topeng dan teater”. Selalu berganti sesuai kejiwaan, sesuai peranan. Keduanya memiliki alur, latar belakang, plot persitiwa, dan macam-macam. Bedanya, kehidupan jauh lebih hebat. Seseorang bisa memiliki banyak peranan; ia menjadi bapak, juga anak, paman, kakak, adik, bawahan, bos, dan mungkin peranan yang ia sendiri tidak tahu sedang memerankan apa. Dalam satu waktu, ia bisa menjadi protagonis. Dalam waktu yang lain, ia menjadi antagonis. Waktu lain lagi, ia abu-abu. Alur yang terjadi pun bisa berbelit-belit dan kadang tidak masuk akal. Latar tempat bisa lebih kecil dari panggung pementasan, bisa jauh lebih luas. Tema, selalu berubah-ubah, bahkan kadang tanpa ada hikmah cerita.
Namun, keduanya sama-sama tidak bisa lepas dari ikatan waktu. Ada tirai pembukaan, ada tirai penutupan. Ikatan ini menjadi dorongan untuk pertanyaan yang dasar. Jika memang hidup adalah teater, lantas apa peranan kita?
Tentu akan sulit diterima jika ada seseorang yang membunuh lalu beralasan, tindakannya tersebut disebabkan ia merasa peranannya adalah pembunuh. Konyol sekali tentunya. Karena, dalam teater kehidupan, selain berperan, manusia pun bersutradara, walau hanya dalam lingkup yang sederhana, lingkup dirinya sendiri. Adanya rasio (otak) dan intuisi (perasaan) memungkinkan manusia melakukan itu (tentang ini, lebih jauh dapat ditanyakan pada pecandu eksistensialisme). Kemampuan bersutradara ini memungkinkan manusia untuk menempatkan peranannya, secara sadar, bukan sekadar ikut arus. Setidaknya, ia mampu menempatkan diri sendiri menjadi pemeran utama dalam kehidupan sendiri –Kalimat terakhir ini saya kemukakan karena tidak sedikit dari kita yang mudah merasa “terasing.”, merasa lebih menjadi figuran dalam kehidupan ini-.
Sebab, di teater panggung pun, meski posisi seseorang adalah sebagai aktor, ia sesungguhnya juga bersutradara. Apa yang ia rasakan, ia intonasikan, ia gesture-kan, ia seoranglah yang menentukan. Sutradara tunggal hanya memberi pengarahan.
Termasuk juga, kebebasan memilih, apakah ingin menjadi pengangkat keranda yang cekakak-cekikik, tidak “paham” dengan yang diangkatnya, atau pengangkat keranda yang “setulusnya”.
Sepulang dari pemakaman, seorang bibi menanggapi kematian mendadak om saya. Ia berkata “mau bagaimana lagi. Sudah habis kontraknya”. Kata “kontrak” itu, saya pikir punya kaitan dengan teater kehidupan. Juga kematian. Benarkah pernah ada kontrak sebelum nafas pertama?
Singkawang, Akhir Mei 2012
Tetapi peranan itu ternyata ada bekasnya. Pertama, saya jadi punya pengalaman bermain teater. Pengalaman itu bukan sekadar berakting (kalau boleh kegiatan saya waktu itu disebut akting) tok. Ada tersisip kebanggaan di situ; bangga dapat dilihat semua orang. Apalagi yang menonton adalah keseluruhan santri, angkatan pertama dan dua, yang jumlahnya kurang lebih 3 ribu orang. Ditambah juga para ustadz dan ustadzah yang jumlahnya ratusan. Belum lagi staf pengurus pesantren. Belum lagi karyawan loundry, karyawan bangunan, karyawan kantin. Meski kemungkinan besar mereka tidak memperdulikan saya, itu urusan nomor sekian. Selain itu, saya juga bangga karena bisa “bolos” dari hukum wajib berada di asrama di malam hari. Kami berlatih di gedung pertunjukkan, selama satu minggu, setiap ba’dan isya hingga jam setengah sepuluh. Bagi saya yang waktu itu adalah santri taat hukum, itu merupakan prestasi tersendiri.
Bekas yang kedua, sayangnya adalah bekas yang tidak menyenangkan. Karena pementasan itu adalah tentang nabi Ibrahim, dan kaum nabi Ibrahim adalah orang Arab (katakan saja begitu. Waktu itu, kami tidak mau repot-repot menggali sejarah), dan orang Arab adalah orang yang memakai baju gamis (baju kurung yang panjang itu loh) maka saya pun harus meminjam baju gamis. Mengapa meminjam? Saya tidak punya. Mengapa tidak punya? Karena tidak diwajibkan. Mengapa tidak diwajibkan? Karena itu baju orang Arab. Dan pesantren, haruskah selalu identik dengan Arab? Untuk urusan lughoh (bahasa) mungkin iya. Tapi baju, setidaknya dalam penalaran saya di hari ini, adalah urusan “tetek bengek”.
Intinya, saya harus pinjam baju gamis. Seorang teman dekat, sangat dekat, karena kami satu kelas dan satu kamar dalam beberapa semester, meminjamkan saya. Sebut saja namanya Abdul. Saya pun tertolong. Saya jadi tidak perlu berkeliling asrama mencari pinjaman gamis yang jarang dipunyai itu.
Selain itu, ada juga aksesoris lain yang terbilang wajib, yaitu bulu. Yah, namanya orang Arab, pasti banyak bulu.
Minimal, ada janggutnya. Untuk urusan ini, saya dan beberapa teman berinisiatif menggunakan tinta. Jadilah dagu dan jambang muda kami mendadak hitam.
Sayangnya, saat janggut itu belum kering, saya sudah menunduk (karena apa, entah). Tinta pun melekat di gamis. Saya sadari itu setelah pementasan berakhir. Saya pun me-loundry-nya. Ternyata tidak hilang. Ya sudahlah. Mau bagaimana lagi. Toh gamis ini baju teman baik. Tidak jarang kami bertukar barang dan kalau terdapat masalah dengan barang tersebut, tidak pernah jadi persoalan besar. Pikir saya, ia akan mengomel sedikit lalu kami baikan seperti sedia kala lagi. Tidak mungkin ia menuntut gamis baru.
Ternyata, bayangan saya sama jauh dari kenyataan. Saat Abdul menerimanya kembali dan melihat bercak hitam di dekat kerah depan, ia mengomel. Bukan sedikit, tapi banyak. Setelah tiga hari (jika orang bermusuhan, maksimal hanya tiga hari. Bukankah begitu wahai pak ustadz?), ia tidak juga menegur saya. Saya tentu menjadi sangat tidak nyaman hati. Saya berinisiatif menegur duluan, mengatakan bahwa saya akan mengganti gamisnya. Tetapi dia tetap berlaku cuek aja. Akhirnya, hubungan persahabatan kami terputus. Benar-benar terputus. Saya tahu, gamis mahal harganya. Tapi saya tidak tahu, yang mahal kadang membuat masalah yang sesungguhnya sepele menjadi besar, bahkan mengorbankan hubungan persahabatan. Ya, diwaktu itu, saya belajar menjadi orang yang berprinsip “punya teman seribu masih sedikit, punya musuh satu sudah banyak”. Entah prinsip itu masih berlaku atau tidak. Karenanya, saya kecewa dan masih mengingatnya terus.
Akhirnya, saya jadi trauma dengan baju gamis. Sangat trauma. Seingat saya, saya tidak pernah lagi menggunakan baju gamis selama di pesantren setelah permusuhan kami itu. Dampaknya terhadap karir (karir? ckck) saya di teater ternyata besar. Pementasan teater pesantren selalu berbau-bau Arab. Gamis menjadi fashion wajib. Saya memilih keluar saja dari pada harus berurusan dengan gamis. Toh saya bukan pemeran utama, hanya anak bawang. Tidak akan ada dampak apa-apa. Si pengangkat keranda pun menjadi satu-satunya memori saya di teater pesantren.
Selanjutnya, setelah lulus pesantren, saya “terjebak” di Sastra Indonesia. Saya pun terjebak juga di salah satu kegiatan mahasiswa. Teater Djati namanya. Saya ikut teater itu, sebagian alasan saya karena sepuluh persen teman-teman angkatan saya ikut itu. Sebagian lagi alasan, karena itulah kegiatan yang tidak mengeluarkan uang pendaftaran. Tentu alasan itu tidak cukup kuat untuk menahan saya di sana. Saya pun berniat mencari kegiatan yang lain. Sayang, saat niat itu hendak diwujudkan, teater Djati akan melakukan pementasan besar dan saya sudah didaftarkan sebagai tim properti (bahasa kerennya, tukang angkut barang). Terpaksa saya harus masih bertahan beberapa waktu.
Frasa “beberapa waktu” itu ternyata tidak memiliki makna. Tidak tahu karena kerasukan apa, saya pelan-pelan merasa senang di teater Djati. Bahkan meski dalam dua tahun saya hanya menjadi tukang angkut barang, meski satu per satu teman-teman saya lebih memilih fokus di kegiatan lain, meski ketika saya dimintai iuran mingguan, saya tetap di teater Djati. Kata “tetap” di sini bersifat fluktuatif, sebab saya bukan orang yang rajin hadir latihan juga ambil bagian. Sesuai mood saja. Kata “tetap” hanya menunjukkan bahwa saya dan Djati mulai bersahabat dekat.
Pementasan pertama, setelah mungkin dua tahun lebih sejak pertama kali turut latihan, lalu tiba. Itu pementasan absurd. Saya hanya di suruh berbicara dalam bahasa Singkawang. Tentu mudah, karena kesalahan apa pun yang saya buat dalam pengucapan, tidak akan ada yang mengerti. Unpad ada di tanah Sunda. Dalam pementasan itu, ada juga teman saya yang (dalam pengakuannya) berasal dari Bangka. Inisialnya, Fega Maria. Saya masih ingat bagaimana dia membuka percakapan dengan berteriak sambil kakinya bergerak-gerak seperti mengibas pasir pantai. Itu, membuat saya yang seharusnya berdiam diri menjadi patung karena belum saatnya berdialog, menjadi bersusah payah menahan cekikikan. Dari pementasan itu saya belajar, konsentrasi memang merupakan hal yang tidak mudah.
Dari pementasan selanjutnya saya belajar tentang A. Pementasan selanjutnya juga. Yang itu juga. Akhirnya, banyak sekali yang saya dapatkan dari teater. Pembelajaran yang ternyata berpengaruh di kehidupan “nyata”. Tentu bukan dari teater saja pembelajaran tersebut dapat ditemukan. Setiap orang punya caranya masing-masing. Hanya, inilah cara saya.
Di lain sisi, kehidupan saya ternyata mulai goyah. Cukup serius karena menyangkut aqidah. Apa yang saya pelajari dari pesantren ternyata digebuk habis-habisan. Persoalan itu mengenai keberadaan Tuhan dan tujuan kehidupan. Apa penyebabnya? Hm, saya kira itu pertanyaan mudah. Kata kunci: nihilisme, skeptisme, blablablaisme.
Yang jelas, karena itu, saya pun mengalami suatu Jumat yang gelisah. Sangat gelisah. Saya akhirnya memutuskan untuk menulis di sebuah kertas. Kira-kira begini bunyinya; Tuhan, kalau kau memang ada, jawab sekarang juga, untuk apa hidup ini. Terdengar kurang ajar memang. Itu bukan pertanyaan, tapi perintah. Saya seperti ingin menyamai nabi Musa yang meminta Tuhan menujukkan wujudnya, lalu Tuhan pun merubuhkan sebuah gunung, atau seperti bani Israil yang juga ingin melihat Tuhan, lalu disambar halilintar. Jumat itu memang Jumat gelisah.
Beruntung tidak ada gunung yang rubuh, tidak ada halilintar yang menyambar. Beberapa menit setelah saya menulis perintah berbungkus tanya, tiba-tiba volume radio terdengar lebih nyaring –yang jika sebenarnya dilihat dari teori psikologi, wajar terjadi. Suara yang pelan bisa menjadi suara yang jernih jika kita memfokuskan telinga-. Saya, yang secara alam bawah sadar tentu menyimpan konsep irasionalitas, pun agak kaget. Dari Radio tersebut, terdengar sebuah lagu yang belum pernah saya dengarkan sebelum dan setelahnya. Bunyinya: tanyalah ayah, tanyalah ibu. Siapa penyanyinya, saya tidak tahu. Yang jelas, bukan Slank, bukan Iwan Fals. Dan saya tidak pernah ingin mencari tahu. Sebuah keuntungan tentunya, karena ketidaktahuan yang tidak melahirkan rasa penasaran kadang justru menghasilkan ketentraman.
Saya hanya peduli dengan liriknya. "Tanyalah ayah, tanyalah ibu.."
Saya SMS ibu saya, bapak saya. Keduanya membalas dengan nada yang hampir sama. Hidup ini untuk menjalankan peranan masing-masing. Terutama ibu saya, saya bahkan tidak percaya ia akan menjawab seperti itu. Saya kira ia akan berkultum. Ternyata, itulah jawabannya. Kita sering kali merasa mengenal seseorang.
Saya pun percaya, Tuhan memang ada, bukan diada-adakan. Saya pun percaya, hidup itu peranan. Jika yang terjadi pada saya adalah sebuah kekonyolan, saya pun akan tetap percaya. Apakah hal itu masuk di logika atau tidak? Saya tidak peduli. Kita sering kali lupa bahwa manusia juga memiliki intuisi selain otak. Yang seharusnya adalah keseimbangan; yin dan yang kata orang Cina, Lingga dan yoni, kata orang Hindu. Pengagungan salah satunya hanya akan menyebabkan krisis eksistensi (halaaah. Cukup).
Selain peristiwa di atas, dalam bulan selanjutnya, berturut-turut dalam beberapa minggu, saya juga mendapat mimpi. Mimpi bertemu dengan Albet Camus, Franz Kafka, Nietzsche, dan Muhammad Iqbal.
Albert Camus datang kepada saya di suatu tidur pagi (karena saya tidur setelah pukul lima). Bagaimana awal mula dia datang, jelas saya tidak tahu. Kita selalu lupa bagaimana sebuah mimpi bermula. Ia menggunakan jas hitam yang kerahnya dinaikan. Sekilas mirip vampir yang digambarkan banyak film. Percakapan kami sebenarnya singkat. Namun karena itu di mimpi, jadi terasa lama. Saya masih ingat dialog kami.
Camus : Kamu sisifus?
Saya : Bukan, saya rojay.
Camus : Tidak, kamu adalah sisifus.
Saya : iya, saya sisifus.
Camus : Kamu bahagia?
Saya : Mudah-mudahan.
Camus : Ya, berbahagialah. Saat mendorong batu, jangan terlalu dibuat beban. Sesekali singgahlah di warung kopi, merokok dan bersitirahat dengan santai. Pandangi bintang-bintang. Dari gunung, mereka seakan dekat sekali.
Saya : Ya saya tahu. Saya pernah naik ke gunung Geulis.
Camus : Itu bukan gunung. Itu bukit.
Saya : ya. bukit. hanya kami menyebutnya gunung Geulis.
Camus : Seharusnya tidak boleh terjadi. sebutan bukit Geulis tentu lebih tepat.
Saya : Ya.
Saya dan dia diam beberapa saat. Saya berinisiatif bertanya.
Saya : Anda bahagia?
Camus : Ya. Saya berbahagia saat saya memutuskan untuk tidak lagi membahas soal bunuh diri.
Saya : ya.
Lalu dia tiba-tiba hilang karena saya tiba-tiba terbangun. Kandung kemih saya menuntut untuk ke kamar mandi. Saya pun menurutinya dengan rasa kesal sebab tidak mungkin kita mengharapkan mimpi berlanjut dalam tidur “sambungan”.
Minggu depannya, saya bermimpi bertemu Kafka. Ia terlihat lebih sehat dari pada perkataan banyak orang selama ini bahwa hidupnya hanya diselimuti derita penyakit. Juga tampan. Sangat layak untuk menjadi personil boy band. Saya lupa percakapan kami seutuhnya. Hanya ada satu kalimat yang bisa saya ingat. “Jangan seperti orang desa itu, yang cuma menunggu di gerbang dari muda hingga tua. Berkeliaranlah”. Itu saja. Dia pergi sebelum saya sempat menawarkannya jus mangga. Entah bagaimana saya bisa menikmati jus Mangga. Mimpi sering kali bersifat seenaknya.
Selanjutnya, saya bertemu Nietzsche. Dengannya, saya tidak bercakap-cakap, sebab ia hanya berkeliaran, mendadak muncul dan mendadak hilang. Lewat begitu saja di depan saya. Saat ia muncul, saya mencoba berteriak memanggil. Pertama dalam bahasa Indonesia, tapi gagal. Kedua dalam bahasa Jerman, dan berhasil. Ia menoleh sejenak lalu bergumam, hampir tidak terdengar. Kira-kira begini terjemahannya “bego itu Hitler. Dia pikir, dia itu Zarathustra?”. Kemudian dia hilang dan tidak muncul kembali. Padahal saya ingin bertanya “apa beda God is Dead dan Dead is God”. Tentu akhirnya batal. Oh, saya ingat. Kumisnya di mimpi saya tidak hanya menutupi mulut, tapi juga menutupi leher, dada, dan perut.
Lalu, di minggu depan, di hari selasa, saya bertemu dengan seseorang yang di pundaknya menempel sesuatu yang samar-samar semacam sayap. Awalnya saya kira dia malaikat. Namun kumisnya menyurutkan dugaan saya. Lalu saya kira dia pangeran Diponegoro, tapi salah juga. Saya pun tidak dapat mengenali dia itu siapa. Kami bercakap-cakap panjang lebar seperti mimpi saya dengan Camus. Sayangnya, percakapan kali ini tidak bisa saya ingat sama sekali sewaktu saya bangun. Sama sekali tidak bisa. Tetapi, saya tidak berusaha mengingatnya. Saya lebih memilih keluar kamar dan mendapati setelah sekian lama, saya akhirnya berjumpa dengan pagi dan udara dinginnya. Tidak ada kantuk lagi. Tidak ada niat untuk menyelinap ke balik selimut lagi. Yang saya lakukan selanjutnya, membuat kopi, memasak mie, menyulut rokok, dan memainkan lagu. Memori sederhana itu saya ingat sebagai salah satu hal menyenangkan dalam hidup saya.
Di hari kemudian, saya tahu bahwa seseorang bersayap samar dan berkumis itu adalah Muhammad Iqbal.
Keempat mimpi itu, hingga hari ini kadang selalu saya kenang. Cukup seorang diri saja. Tidak pernah saya bercerita kepada siapapun. Ada ketakutan kalau saya dicap pembohong, pengkhayal, pendusta, dan macam-macam lagi, meski dalam kenyataannya saya memang mengarang.
Beberapa perisitiwa dalam kehidupan saya (jawaban bapak-ibu saya dan mimpi-mimpi saya), ternyata berhasil menjalin satu tema yang utuh, yang lalu bercokol damai dalam pola pikir; hidup adalah pemeranan. Tadinya, ingin saya istilahkan “dunia ini adalah panggung sandiwara”, tapi sudah lebih dahulu diserobot God Bless.
Pola pikir ini pun berpengaruh pula dalam keikutsertaan saya di teater. Saya tidak lagi memandang hubungan saya dengan teater Djati seperti hubungan saya dengan seorang sahabat, tetapi saya dan jemari tangan saya (jemari tangan adalah bagian tubuh yang digunakan, di antaranya adalah untuk mengetik, menjepit rokok, dan mengupil). Pola pikir ini juga berpengaruh saat saya mesti berskripsi-ria. Tanpa ragu-ragu saya memutuskan untuk membahas teater. Teater secara mendalam telah merasuki alam bawah sadar saya.
Lantas waktu pun terus berjalan, tanpa melambat, tanpa mencepat.
Sampailah di suatu jam dua belas malam, di suatu Sabtu, saat saya mendapati kabar bahwa suami bibi saya, meninggal dunia. Kami satu keluarga, malam itu juga lekas pergi ke rumahnya. Di sana kami dapati kabar bahwa kepergian om saya karena serangan jantung yang mendadak. “Padahal jam sembilan tadi masih ngobrol-ngbrol”, “Jam setengah sepuluh dia masih membersihkan rumah”, itulah ungkapan yang beredar, yang menyatakan “masih tidak percaya”. Susah untuk mengomentarinya karena kejadian demikian bukan tidak jarang terjadi. Karena kematian memang sulit diduga.
Di siang hari, setelah ramai orang berkumpul, jenazah om, dibawa ke makamnya. Karena jarak makam tidak terlalu jauh, dia dibawa dengan berjalan kaki. Salah seorang yang menganggut keranda adalah anak lelakinya, sepupu saya, yang berusia dua puluh empat tahun, dan dalam beberapa bulan ke depan akan melangsungkan pernikahan. Saat melihat dia, konsep hidup adalah teater pun kembali mengemuka.
Latar belakang peristiwa tentu akan berpengaruh pada kejiwaan seseorang. Kejiwaan ini lantas berpengaruh pada raut wajah (bahasa kotornya: topeng). Dalam pemakaman tersebut, pada wajah sepupu saya, saya temui kembali (tanpa menghilangkan rasa duka) sebuah “topeng yang alami”. Begitu alaminya. Bahkan jika pun saya tidak memiliki hubungan apa-apa dengannya, saya akan bisa mengenali bahwa ia begitu sedih ditinggal seseorang yang sangat dekat dengannya. Dari matanya, tidak ada air mata. Wajahnya pun tidak memerah. Hanya dari raut wajahnya lah semua berbicara; raut seorang anak lelaki dewasa yang kehilangan ayah, yang berusaha keras tidak mengindahkan beratnya keranda, yang lupa dengan alas kaki padahal aspal siang begitu panas. Dan hanya itulah deskripsi yang bisa saya bahasakan.
Jika saya bandingkan dengan rautnya, yang saya lihat di foto, ketika ia telah melaksanakan lamaran pernikahan, tidak terbayangkan oleh saya ia akan beraut sedih seperti itu. Di dalam foto, senyumnya tersimpul kecil. Pipinya menempel di pipi calon pasangannya. Tanpa di edit photoshop pun kita akan mudah menangkap keceriaan di dalamnya.
Raut dan hidup. Keduanya memiliki sinkronisasi dengan “topeng dan teater”. Selalu berganti sesuai kejiwaan, sesuai peranan. Keduanya memiliki alur, latar belakang, plot persitiwa, dan macam-macam. Bedanya, kehidupan jauh lebih hebat. Seseorang bisa memiliki banyak peranan; ia menjadi bapak, juga anak, paman, kakak, adik, bawahan, bos, dan mungkin peranan yang ia sendiri tidak tahu sedang memerankan apa. Dalam satu waktu, ia bisa menjadi protagonis. Dalam waktu yang lain, ia menjadi antagonis. Waktu lain lagi, ia abu-abu. Alur yang terjadi pun bisa berbelit-belit dan kadang tidak masuk akal. Latar tempat bisa lebih kecil dari panggung pementasan, bisa jauh lebih luas. Tema, selalu berubah-ubah, bahkan kadang tanpa ada hikmah cerita.
Namun, keduanya sama-sama tidak bisa lepas dari ikatan waktu. Ada tirai pembukaan, ada tirai penutupan. Ikatan ini menjadi dorongan untuk pertanyaan yang dasar. Jika memang hidup adalah teater, lantas apa peranan kita?
Tentu akan sulit diterima jika ada seseorang yang membunuh lalu beralasan, tindakannya tersebut disebabkan ia merasa peranannya adalah pembunuh. Konyol sekali tentunya. Karena, dalam teater kehidupan, selain berperan, manusia pun bersutradara, walau hanya dalam lingkup yang sederhana, lingkup dirinya sendiri. Adanya rasio (otak) dan intuisi (perasaan) memungkinkan manusia melakukan itu (tentang ini, lebih jauh dapat ditanyakan pada pecandu eksistensialisme). Kemampuan bersutradara ini memungkinkan manusia untuk menempatkan peranannya, secara sadar, bukan sekadar ikut arus. Setidaknya, ia mampu menempatkan diri sendiri menjadi pemeran utama dalam kehidupan sendiri –Kalimat terakhir ini saya kemukakan karena tidak sedikit dari kita yang mudah merasa “terasing.”, merasa lebih menjadi figuran dalam kehidupan ini-.
Sebab, di teater panggung pun, meski posisi seseorang adalah sebagai aktor, ia sesungguhnya juga bersutradara. Apa yang ia rasakan, ia intonasikan, ia gesture-kan, ia seoranglah yang menentukan. Sutradara tunggal hanya memberi pengarahan.
Termasuk juga, kebebasan memilih, apakah ingin menjadi pengangkat keranda yang cekakak-cekikik, tidak “paham” dengan yang diangkatnya, atau pengangkat keranda yang “setulusnya”.
Sepulang dari pemakaman, seorang bibi menanggapi kematian mendadak om saya. Ia berkata “mau bagaimana lagi. Sudah habis kontraknya”. Kata “kontrak” itu, saya pikir punya kaitan dengan teater kehidupan. Juga kematian. Benarkah pernah ada kontrak sebelum nafas pertama?
Singkawang, Akhir Mei 2012
JEJAK PASIR (1); SAYA, DOSEN, BAPAK SAYA, DAN SASTRA INDONESIA
Juni, tahun 2005, di rumah seorang paman, di Kalibata, Jakarta, saya yang masih labil (sepertinya, sampai hari ini juga) mencoba membuat keputusan tentang masa depan. Orang tua saya, yang berada di Singkawang, Kalimantan Barat, menyerahkan sepenuhnya kepada saya, akan kuliah apa, dimana. Mereka (sepertinya) percaya, bahwa saya yang sejak lulus Sekolah Dasar sudah hidup berpisah dengan mereka, karena bermadrasah 6 tahun di sebuah pesantren dekat Haur Geulis, mampu memilih jalan sendiri. Di satu sisi, menguntungkan, karena banyak sahabat saya yang mengeluh “hidup gue seperti cuma alat buat orang tua gue”. Di satu sisi, saya goyah. Maklum, labil.
Bagaimana pun itu, saya tetap harus menimbang-nimbang. Menimbang dengan daya pikir lulusan SMA. Hasilnya, jurusan komunikasi berhasil menarik perhatian. Alasannya, saya pernah membuat novel dan berpikir komunikasi adalah tempat yang terbaik untuk meluaskan imajinasi. Dan kabar yang beredar, jurusan komunikasi yang terbaik ada di Universitas Padjadjaran, Bandung. Saya punya sedikit kenangan tentang kota itu.
Ketika usia saya 5 tahun, saya pernah dibawa bapak saya ke sana, menemani ia yang sedang menempuh pendidikan di IKIP (sekarang UPI, Universitas Padahal Ikip, He). Dimana saya tinggal? saya lupa. Berapa lama waktunya? kurang lebih, 2 atau 3 bulan. Tepatnya, saya tidak tahu. Satu-satunya hal yang masih saya ingat adalah, saya tidak pernah melepaskan jaket. Begitu dinginnya kota itu. Dan hanya hal itu yang saya ketahui tentang Bandung. Tentu, soal perempuannya yang geulis-geulis, itu sudah kabar umum. Tidak perlu diperbincangkan. Toh, waktu itu saya masih kecil. Masih polos. Perempuan belum bisa menjadi lembar kenangan.
Yang jelas, Ingatan yang sangat samar itu, ternyata berhasil membuat saya merasa sangat mengenal Bandung. Merasa mengenal. Saya pun lantas merasa harus segera ke Bandung. Sangat ingin segera. Lusa, saya pun minta diantarkan paman saya ke terminal Kampung Rambutan.
Di suatu sore ibu kota negara, yang panasnya masih pengap, saya pun celingukan melihat kanan kiri. Yang manakah bis ke Bandung? Terdengar suara kenek dari kejauhan “BANDUNG, BANDUNG!!”. Itu dia. Saya pun naik.
Entah apa yang saya bayangkan di dalam bis. Mungkin banyak pertanyaan. Bagaimanakah kota Bandung saat ini? Masih dingin kah? Betulkah gadis-gadisnya memang cantik? (saya sudah bukan anak kecil!), Bagaimanakah UNPAD itu? Segala pertanyaan membuat saya melupakan nikmatnya tidur dalam perjalanan. Saya terus membayang-bayang, sambil menggali-gali, mungkin masih ada sisa kenangan usia 5 tahun.
Bayang-bayang itu mulai buyar saat seorang bapak yang duduk di sebelah saya mengajak bercakap-cakap.
“Mau kemana de?”
“Bandung pak”
“Bandungnya dimana?”
“Belum tahu pak. Nanti saya menginap di rumah keluarga” –kata keluarga saya pilih agar menghindari penjelasan bertele-tele-.
“Oh, rumah keluarganya dimana?”
“Belum tahu pak. Nanti saya hubungi dia dari terminal”
“Oh, nanti berhenti dimana?”
“Bandung”
“Iya, Bandungnya dimana? Cileunyi? Atau Buah Batu? Atau Rancaekek?”
“yaa, di tempat bis nya berhenti terakhir pak”
“Bis ini ke Garut. Berhenti di Garut”
Saya masih ingat kening saya berkerut. Saya masih ingat sangat. Saya cuma tahu Bandung. Cuma satu Bandung. Garut? Bukankah itu merek dodol? Masa bis ini berhenti di dodol.
Pengetahuan “cuma tahu satu Bandung” ini pun ditangkap oleh bapak tersebut.
“Baru pertama kali ke Bandung”
“Yang kedua pak. Yang pertama waktu kecil”
“Waktu kecil itu umur berapa?”
“Lima tahun”
Sayangnya, saya lupa ekspresi bapak itu.
“Coba kamu tanyakan bapak kamu, di mana alamat keluarga kamu”
“Saya tidak punya handphone pak. Nanti saja kalau sudah di terminal. Saya cari wartel”. Ya, handphone saat itu masih merupakan barang yang wah untuk saya.
Ia, mungkin mengangguk-angguk. Mungkin menggeleng-geleng. “Sudah malam loh. Belum tentu ada wartel yang buka”
Saya ingat, kalau saya diam. Betul-betul diam. Perlahan-lahan, saya sadar, saya telah membuat kesalahan besar. Saya tidak memberi tahu bapak saya kalau saya berangkat ke Bandung di hari ini. Saya tidak mencari tahu dimana alamat rumah pak Hamdi. Saya tidak mengecek dulu seluas apa kota Bandung.
Saya cuma tahu ada kota bernama Bandung. Saya cuma tahu, ada pak Hamdi di dalam Bandung.
Tapi, saya (setidaknya di waktu itu) adalah orang yang nekat. Orang yang nekat dulu baru mikir. Itu julukan dari bapak saya di kemudian hari. Saya sudah menimbang-nimbang, kalau saya tidak dapat bertemu pak Hamdi, malam ini saya menginap di Masjid saja. Yang penting, harus sampai di Bandung.
Demi memperlihatkan bahwa saya bukan orang yang gampang panik, apalagi pencari belas kasihan, saya pun mencari obrolan lain.
“Dari mana pak?”
“Jakarta”
“Kerja ya pak?”
“Tugas.”
“Bapak kerja di mana?”
“Saya dosen di Universitas Padjadajaran”
"Padjadjaran itu, di Bandung kan pak?"
"Iya. Tapi di sana cuma ada dua fakultas. Yang Paling banyak di Jatinangor"
"Jati..."
"Jatinangor"
“Jatinangor. Bapak mengajar jurusan apa pak?”
“Sastra Indonesia"
"Sastra Indonesia itu di Jati.."
"Jatinangor. Iya. Dulu di Bandung, tapi sekarang sudah di Jatinangor"
"Jauh pak Jatinangor dari Bandung?"
"Hmm, satu jam lah standarnya"
Saya mencoba membayangkan sebagaimana jauh jarak kedua temat itu. Mungkin dari Singkawang ke Pemangkat.
"Kamu ke Bandung kenapa?” Tanya bapak.
“Mau kuliah pak”
“Mau ambil jurusan apa?”
"Komunikasi"
"Oh. Aslinya dari mana?"
Kami pun bercakap-cakap semengalirnya.
Pembicaraan itu akhirnya mesti berhenti karena bis mulai mendekati ujung tol. Di luar, gelap dan rintik hujan terlihat jelas. Jelas juga, lampu-lampu kota yang menghardik mata. Ada yang di gunung. Ada yang bertumpuk. Ada yang jarang-jarang. Inikah Bandung? ckckck. Indah.
Pandangan mata saya kembali kepada bapak di samping. Ia mulai menyiapkan barang bawaannya. Saya sepertinya perlu bersiap-siap juga. Tapi yang terjadi, saya diam saja. Perlu waktu bagi saya untuk menarik nafas dan menguatkan niat untuk mengadapi semua yang akan terjadi. Ternyata bapak itu menawarkan saya untuk turut serta turun dengannya
“Kamu ikut saya saja dulu. Turun di Cileunyi. Nanti kamu naik angkot ke Cicaheum. Di sana kamu nanti coba hubungi keluarga kamu”
Begitulah. Saya pun ikut dia turun di Cileunyi. Hujan ternyata lebih deras dari yang terlihat. Sepatu saya terbuat dari kain. Air pun mudah merembes. Dan Bandung memang masih dingin. Dalam semenit kemudian, gigi atas dan gigi bawah saya sudah saling beradu. Keadaan ini membuat nyali saya untuk tidur di masjid menciut. Bapak itu tertawa melihat saya. Ya, saya ingat dia tertawa. Ia mengajak saya masuk ke dalam salah satu angkot yang bertuliskan CICAHEUM-CILEUNYI.
Saat angkot masih belum berjalan karena masih menunggu penumpang penuh, Bapak itu mengeluarkan handphone-nya. Disodorkannya ke arah saya.
“Kamu tahu telpon orang tua kamu?”
Saya mengangguk. Orang tua saya telah mengajarkan saya untuk menghapal nomor-nomor penting.
“Telepon saja orang tua kamu”
Saya ragu-ragu. Setahu saya, pulsa menelpon, dari handphone ke handphone itu mahal.
“Gak apa apa pak?”
“Iya. Telepon saja”
Saya pun menelpon bapak saya. Saya lupa bagaimana reaksi kaget bapak saya saat saya sampaikan saya berada di Bandung. Saya juga lupa bagaimana kakagetan itu bertambah parah saat dikatakan bahwa saya tidak tahu alamat Pak Hamdi, tidak tahu nomor teleponnya, dan tidak tahu segalanya. Tapi saya ingat saat ia katakan “kalau tidak salah, rumah pak Hamdi dekat Cicaheum. Nantilah bapak cari dulu nomornya”. Oh, Cicaheum. Bukankah itu nama tempat yang saya tuju?.
Handphone saya serahkan kembali. Tidak lupa rasa terima kasih yang diucapkan. Angkot telah pun berjalan. Di sebuah tempat, yang sayangnya saya lupa apakah Cibiru atau Ujung Berung, bapak yang baik hati itu berkata “kiri”.
Angkot berhenti. Ia turun. Sebelumnya ia mengingatkan saya agar berhenti di Cicaheum, bukan tempat lain. Saya mengiyakan sambil mengucap sekali lagi terima kasih.
Di Cicaheum saya berhenti. Ada wartel yang buka. Saya telepon kembali orang tua saya. Ia memberi tahu nomor pak Hamdi. Saya telepon pak Hamdi. Dan ia tidak tinggal di Dekat Cicaheum, tapi di Cicaheum. Pertualangan tidur di masjid pun gagal terlaksana.
Dua minggu kemudian saya mengisi formulir pendaftaran SMPTN. Universitas yang saya pilih, hanya satu, Padjadjaran. “Niat sangat tinggal di Bandung” kata bapak saya. Entah, saya tidak tahu alasan saya sesungguhnya. Karena saya memilih jalur IPC, saya pun mesti membuat tiga pilihan. Pilihan pertama, jelas, komunikasi. Kedua, saya lupa (ada kata “pertanian” pokoknya). Ketiga, saya bingung. Saya meminta saran dengan orang tua, dan ia bertanya “mengapa tidak Sastra Indonesia? Katanya suka nulis”. Sebenarnya, saya memang memiliki pemikiran untuk mempertimbangkan sastra Indonesia. Namun, saat itu dalam otak saya, statement yang terbentuk adalah sastra Indonesia merupakan pelajaran merangkai kata seindah mungkin, seperti Kahlil Gibran. Dan saya takut, saya akan menjadi orang yang romantis di kemudian hari.
Tapi, bapak saya menawarkan pilihan itu dengan nada riang sekaligus sungguh-sungguh –satu hal yang membuat saya berpikir, orang tua mungkin lebih mengenal anaknya dari pada anak itu sendiri-. Saya pun mencari-cari pembenaran untuk pilihan ini. Setelah mengingat asyiknya membaca Lupus-nya Hilman dan Supernova-nya Dewi Lestari, Sastra Indonesia resmi saya bulatkan dengan pensil 2B itu. Sambil memenuhi bulatan, ingatan saya mengarah pada bapak di bis. Bukankah dia dosen Sastra Indonesia Unpad?
Ujian SNMPTN lalu dilaksanakan. Saya ikuti dengan tanpa riwayat bimbingan belajar. Kalau mau lulus, luluslah. Kalau tidak, yaaa, kalau bisa, luluslah. Usai ujian, saya pulang ke Singkawang. Akhir bulan Juli, pengumuman kelulusan dimuat di internet (Singkawang bukan kota gaptek loh). Saya dapati nomor peserta ujian saya dilabeli kata LULUS. Di pilihan ketiga. Sastra Indonesia.
*************
Sekarang, 25 Mei 2012. Sudah hampir tujuh tahun sejak Juni itu. Sudah hampir satu tahun nama saya ada buntut Sarjana Sastra (jangan ditulis di surat undangan nikahan. ditakutkan akan membebani hidup. he). Sudah banyak berubah diri saya ini (entah ke positif atau negatif. Ah, yang penting sirotol mustaqiim). Konsep “cuma satu Bandung”, jika diingat, membuat saya merasa (atau memang) tolol. Tapi, jika tidak demikian, saya tidak akan “dikasihani” oleh seorang bapak yang kebetulan bertemu di bis, seorang bapak, yang saya yakini hingga hari ini, adalah salah satu dosen saya. Sering saya mencoba mengingat-ingat, siapa ya namanya? Sayang, selalu gagal.
Sesekali, ingin saya bertanya langsung. Tapi urung. Pertama, karena saya memang agak sulit berkomunikasi dengan orang yang tahun kelahirannya jauh lebih duluan. Kedua, karena saya tidak yakin siapa orangnya. Ketiga, jika pun diketahui orangnya, saya tidak yakin ia mengingatnya. Percakapan dalam bis, itu hal biasa, hanya peristiwa kecil yang tidak jauh berbeda dengan iklan televisi. Jika lupa, itu sangat sangat sangat wajar. Bapak saya pun mungkin lupa bahwa ia yang menawarkan jurusan Sastra Indonesia.
Tapi saya tidak lupa. Akhirnya, saya beranggapan, semua dosen saya, termasuk yang perempuan, adalah orang yang bertanya “Bandungnya dimana?”, menyarankan saya ikut turun di Cileunyi, dan meminjami saya handphone-nya. Memang hanya moment kecil. Begitu pun saat bapak saya menawarkan Sastra
Indonesia padahal saya sangat berniat di komunikasi. Hanya tawaran kecil. Dan keduanya hampir tidak berhubungan.
Namun, semua itu, yang kecil-kecil itu, yang sering diistalahkan “kebetulan”, ternyata sedikit demi sedikit sering menumpuk, lalu berhubungan. Akhirnya, tanpa sadar menjadi belokan tajam untuk jalan seorang anak manusia. Belokan yang mengarah pada kalimat “Saya tidak pernah menyesal. Saya merasa sangat bahagia. Ini dunia saya. Entah apa jadinya jika saya tidak di sini”.
Saat ini juga, sekali lagi ingin saya ungkapkan: Kepada Tuhan Yang Maha Sutradara, kepada dosen-dosen saya, kepada bapak saya, kepada sastra Indonesia, saya ucapkan terima kasih. terima kasih. terima kasih. untuk segala moment kecil, atau pun besar.
Pontianak, 25 Mei 2012.
Bagaimana pun itu, saya tetap harus menimbang-nimbang. Menimbang dengan daya pikir lulusan SMA. Hasilnya, jurusan komunikasi berhasil menarik perhatian. Alasannya, saya pernah membuat novel dan berpikir komunikasi adalah tempat yang terbaik untuk meluaskan imajinasi. Dan kabar yang beredar, jurusan komunikasi yang terbaik ada di Universitas Padjadjaran, Bandung. Saya punya sedikit kenangan tentang kota itu.
Ketika usia saya 5 tahun, saya pernah dibawa bapak saya ke sana, menemani ia yang sedang menempuh pendidikan di IKIP (sekarang UPI, Universitas Padahal Ikip, He). Dimana saya tinggal? saya lupa. Berapa lama waktunya? kurang lebih, 2 atau 3 bulan. Tepatnya, saya tidak tahu. Satu-satunya hal yang masih saya ingat adalah, saya tidak pernah melepaskan jaket. Begitu dinginnya kota itu. Dan hanya hal itu yang saya ketahui tentang Bandung. Tentu, soal perempuannya yang geulis-geulis, itu sudah kabar umum. Tidak perlu diperbincangkan. Toh, waktu itu saya masih kecil. Masih polos. Perempuan belum bisa menjadi lembar kenangan.
Yang jelas, Ingatan yang sangat samar itu, ternyata berhasil membuat saya merasa sangat mengenal Bandung. Merasa mengenal. Saya pun lantas merasa harus segera ke Bandung. Sangat ingin segera. Lusa, saya pun minta diantarkan paman saya ke terminal Kampung Rambutan.
Di suatu sore ibu kota negara, yang panasnya masih pengap, saya pun celingukan melihat kanan kiri. Yang manakah bis ke Bandung? Terdengar suara kenek dari kejauhan “BANDUNG, BANDUNG!!”. Itu dia. Saya pun naik.
Entah apa yang saya bayangkan di dalam bis. Mungkin banyak pertanyaan. Bagaimanakah kota Bandung saat ini? Masih dingin kah? Betulkah gadis-gadisnya memang cantik? (saya sudah bukan anak kecil!), Bagaimanakah UNPAD itu? Segala pertanyaan membuat saya melupakan nikmatnya tidur dalam perjalanan. Saya terus membayang-bayang, sambil menggali-gali, mungkin masih ada sisa kenangan usia 5 tahun.
Bayang-bayang itu mulai buyar saat seorang bapak yang duduk di sebelah saya mengajak bercakap-cakap.
“Mau kemana de?”
“Bandung pak”
“Bandungnya dimana?”
“Belum tahu pak. Nanti saya menginap di rumah keluarga” –kata keluarga saya pilih agar menghindari penjelasan bertele-tele-.
“Oh, rumah keluarganya dimana?”
“Belum tahu pak. Nanti saya hubungi dia dari terminal”
“Oh, nanti berhenti dimana?”
“Bandung”
“Iya, Bandungnya dimana? Cileunyi? Atau Buah Batu? Atau Rancaekek?”
“yaa, di tempat bis nya berhenti terakhir pak”
“Bis ini ke Garut. Berhenti di Garut”
Saya masih ingat kening saya berkerut. Saya masih ingat sangat. Saya cuma tahu Bandung. Cuma satu Bandung. Garut? Bukankah itu merek dodol? Masa bis ini berhenti di dodol.
Pengetahuan “cuma tahu satu Bandung” ini pun ditangkap oleh bapak tersebut.
“Baru pertama kali ke Bandung”
“Yang kedua pak. Yang pertama waktu kecil”
“Waktu kecil itu umur berapa?”
“Lima tahun”
Sayangnya, saya lupa ekspresi bapak itu.
“Coba kamu tanyakan bapak kamu, di mana alamat keluarga kamu”
“Saya tidak punya handphone pak. Nanti saja kalau sudah di terminal. Saya cari wartel”. Ya, handphone saat itu masih merupakan barang yang wah untuk saya.
Ia, mungkin mengangguk-angguk. Mungkin menggeleng-geleng. “Sudah malam loh. Belum tentu ada wartel yang buka”
Saya ingat, kalau saya diam. Betul-betul diam. Perlahan-lahan, saya sadar, saya telah membuat kesalahan besar. Saya tidak memberi tahu bapak saya kalau saya berangkat ke Bandung di hari ini. Saya tidak mencari tahu dimana alamat rumah pak Hamdi. Saya tidak mengecek dulu seluas apa kota Bandung.
Saya cuma tahu ada kota bernama Bandung. Saya cuma tahu, ada pak Hamdi di dalam Bandung.
Tapi, saya (setidaknya di waktu itu) adalah orang yang nekat. Orang yang nekat dulu baru mikir. Itu julukan dari bapak saya di kemudian hari. Saya sudah menimbang-nimbang, kalau saya tidak dapat bertemu pak Hamdi, malam ini saya menginap di Masjid saja. Yang penting, harus sampai di Bandung.
Demi memperlihatkan bahwa saya bukan orang yang gampang panik, apalagi pencari belas kasihan, saya pun mencari obrolan lain.
“Dari mana pak?”
“Jakarta”
“Kerja ya pak?”
“Tugas.”
“Bapak kerja di mana?”
“Saya dosen di Universitas Padjadajaran”
"Padjadjaran itu, di Bandung kan pak?"
"Iya. Tapi di sana cuma ada dua fakultas. Yang Paling banyak di Jatinangor"
"Jati..."
"Jatinangor"
“Jatinangor. Bapak mengajar jurusan apa pak?”
“Sastra Indonesia"
"Sastra Indonesia itu di Jati.."
"Jatinangor. Iya. Dulu di Bandung, tapi sekarang sudah di Jatinangor"
"Jauh pak Jatinangor dari Bandung?"
"Hmm, satu jam lah standarnya"
Saya mencoba membayangkan sebagaimana jauh jarak kedua temat itu. Mungkin dari Singkawang ke Pemangkat.
"Kamu ke Bandung kenapa?” Tanya bapak.
“Mau kuliah pak”
“Mau ambil jurusan apa?”
"Komunikasi"
"Oh. Aslinya dari mana?"
Kami pun bercakap-cakap semengalirnya.
Pembicaraan itu akhirnya mesti berhenti karena bis mulai mendekati ujung tol. Di luar, gelap dan rintik hujan terlihat jelas. Jelas juga, lampu-lampu kota yang menghardik mata. Ada yang di gunung. Ada yang bertumpuk. Ada yang jarang-jarang. Inikah Bandung? ckckck. Indah.
Pandangan mata saya kembali kepada bapak di samping. Ia mulai menyiapkan barang bawaannya. Saya sepertinya perlu bersiap-siap juga. Tapi yang terjadi, saya diam saja. Perlu waktu bagi saya untuk menarik nafas dan menguatkan niat untuk mengadapi semua yang akan terjadi. Ternyata bapak itu menawarkan saya untuk turut serta turun dengannya
“Kamu ikut saya saja dulu. Turun di Cileunyi. Nanti kamu naik angkot ke Cicaheum. Di sana kamu nanti coba hubungi keluarga kamu”
Begitulah. Saya pun ikut dia turun di Cileunyi. Hujan ternyata lebih deras dari yang terlihat. Sepatu saya terbuat dari kain. Air pun mudah merembes. Dan Bandung memang masih dingin. Dalam semenit kemudian, gigi atas dan gigi bawah saya sudah saling beradu. Keadaan ini membuat nyali saya untuk tidur di masjid menciut. Bapak itu tertawa melihat saya. Ya, saya ingat dia tertawa. Ia mengajak saya masuk ke dalam salah satu angkot yang bertuliskan CICAHEUM-CILEUNYI.
Saat angkot masih belum berjalan karena masih menunggu penumpang penuh, Bapak itu mengeluarkan handphone-nya. Disodorkannya ke arah saya.
“Kamu tahu telpon orang tua kamu?”
Saya mengangguk. Orang tua saya telah mengajarkan saya untuk menghapal nomor-nomor penting.
“Telepon saja orang tua kamu”
Saya ragu-ragu. Setahu saya, pulsa menelpon, dari handphone ke handphone itu mahal.
“Gak apa apa pak?”
“Iya. Telepon saja”
Saya pun menelpon bapak saya. Saya lupa bagaimana reaksi kaget bapak saya saat saya sampaikan saya berada di Bandung. Saya juga lupa bagaimana kakagetan itu bertambah parah saat dikatakan bahwa saya tidak tahu alamat Pak Hamdi, tidak tahu nomor teleponnya, dan tidak tahu segalanya. Tapi saya ingat saat ia katakan “kalau tidak salah, rumah pak Hamdi dekat Cicaheum. Nantilah bapak cari dulu nomornya”. Oh, Cicaheum. Bukankah itu nama tempat yang saya tuju?.
Handphone saya serahkan kembali. Tidak lupa rasa terima kasih yang diucapkan. Angkot telah pun berjalan. Di sebuah tempat, yang sayangnya saya lupa apakah Cibiru atau Ujung Berung, bapak yang baik hati itu berkata “kiri”.
Angkot berhenti. Ia turun. Sebelumnya ia mengingatkan saya agar berhenti di Cicaheum, bukan tempat lain. Saya mengiyakan sambil mengucap sekali lagi terima kasih.
Di Cicaheum saya berhenti. Ada wartel yang buka. Saya telepon kembali orang tua saya. Ia memberi tahu nomor pak Hamdi. Saya telepon pak Hamdi. Dan ia tidak tinggal di Dekat Cicaheum, tapi di Cicaheum. Pertualangan tidur di masjid pun gagal terlaksana.
Dua minggu kemudian saya mengisi formulir pendaftaran SMPTN. Universitas yang saya pilih, hanya satu, Padjadjaran. “Niat sangat tinggal di Bandung” kata bapak saya. Entah, saya tidak tahu alasan saya sesungguhnya. Karena saya memilih jalur IPC, saya pun mesti membuat tiga pilihan. Pilihan pertama, jelas, komunikasi. Kedua, saya lupa (ada kata “pertanian” pokoknya). Ketiga, saya bingung. Saya meminta saran dengan orang tua, dan ia bertanya “mengapa tidak Sastra Indonesia? Katanya suka nulis”. Sebenarnya, saya memang memiliki pemikiran untuk mempertimbangkan sastra Indonesia. Namun, saat itu dalam otak saya, statement yang terbentuk adalah sastra Indonesia merupakan pelajaran merangkai kata seindah mungkin, seperti Kahlil Gibran. Dan saya takut, saya akan menjadi orang yang romantis di kemudian hari.
Tapi, bapak saya menawarkan pilihan itu dengan nada riang sekaligus sungguh-sungguh –satu hal yang membuat saya berpikir, orang tua mungkin lebih mengenal anaknya dari pada anak itu sendiri-. Saya pun mencari-cari pembenaran untuk pilihan ini. Setelah mengingat asyiknya membaca Lupus-nya Hilman dan Supernova-nya Dewi Lestari, Sastra Indonesia resmi saya bulatkan dengan pensil 2B itu. Sambil memenuhi bulatan, ingatan saya mengarah pada bapak di bis. Bukankah dia dosen Sastra Indonesia Unpad?
Ujian SNMPTN lalu dilaksanakan. Saya ikuti dengan tanpa riwayat bimbingan belajar. Kalau mau lulus, luluslah. Kalau tidak, yaaa, kalau bisa, luluslah. Usai ujian, saya pulang ke Singkawang. Akhir bulan Juli, pengumuman kelulusan dimuat di internet (Singkawang bukan kota gaptek loh). Saya dapati nomor peserta ujian saya dilabeli kata LULUS. Di pilihan ketiga. Sastra Indonesia.
*************
Sekarang, 25 Mei 2012. Sudah hampir tujuh tahun sejak Juni itu. Sudah hampir satu tahun nama saya ada buntut Sarjana Sastra (jangan ditulis di surat undangan nikahan. ditakutkan akan membebani hidup. he). Sudah banyak berubah diri saya ini (entah ke positif atau negatif. Ah, yang penting sirotol mustaqiim). Konsep “cuma satu Bandung”, jika diingat, membuat saya merasa (atau memang) tolol. Tapi, jika tidak demikian, saya tidak akan “dikasihani” oleh seorang bapak yang kebetulan bertemu di bis, seorang bapak, yang saya yakini hingga hari ini, adalah salah satu dosen saya. Sering saya mencoba mengingat-ingat, siapa ya namanya? Sayang, selalu gagal.
Sesekali, ingin saya bertanya langsung. Tapi urung. Pertama, karena saya memang agak sulit berkomunikasi dengan orang yang tahun kelahirannya jauh lebih duluan. Kedua, karena saya tidak yakin siapa orangnya. Ketiga, jika pun diketahui orangnya, saya tidak yakin ia mengingatnya. Percakapan dalam bis, itu hal biasa, hanya peristiwa kecil yang tidak jauh berbeda dengan iklan televisi. Jika lupa, itu sangat sangat sangat wajar. Bapak saya pun mungkin lupa bahwa ia yang menawarkan jurusan Sastra Indonesia.
Tapi saya tidak lupa. Akhirnya, saya beranggapan, semua dosen saya, termasuk yang perempuan, adalah orang yang bertanya “Bandungnya dimana?”, menyarankan saya ikut turun di Cileunyi, dan meminjami saya handphone-nya. Memang hanya moment kecil. Begitu pun saat bapak saya menawarkan Sastra
Indonesia padahal saya sangat berniat di komunikasi. Hanya tawaran kecil. Dan keduanya hampir tidak berhubungan.
Namun, semua itu, yang kecil-kecil itu, yang sering diistalahkan “kebetulan”, ternyata sedikit demi sedikit sering menumpuk, lalu berhubungan. Akhirnya, tanpa sadar menjadi belokan tajam untuk jalan seorang anak manusia. Belokan yang mengarah pada kalimat “Saya tidak pernah menyesal. Saya merasa sangat bahagia. Ini dunia saya. Entah apa jadinya jika saya tidak di sini”.
Saat ini juga, sekali lagi ingin saya ungkapkan: Kepada Tuhan Yang Maha Sutradara, kepada dosen-dosen saya, kepada bapak saya, kepada sastra Indonesia, saya ucapkan terima kasih. terima kasih. terima kasih. untuk segala moment kecil, atau pun besar.
Pontianak, 25 Mei 2012.
Langganan:
Postingan (Atom)