Pertama kali saya bermain teater di kelas 2 pesantren (anggap saja 2 SMP). Waktu itu, kami mementaskan kisah nabi Ibrahim. Pementasan itu merupakan salah satu rangkaian acara dari Idul Adha. Peran saya adalah peran yang “numpang lewat” atau katakan saja “sangat tidak penting”. Kalau pun saya tidak turut, sama sekali tidak akan mengganggu pementasan secara keseluruhan. Si pengangkat keranda jenazah, itulah saya.
Tetapi peranan itu ternyata ada bekasnya. Pertama, saya jadi punya pengalaman bermain teater. Pengalaman itu bukan sekadar berakting (kalau boleh kegiatan saya waktu itu disebut akting) tok. Ada tersisip kebanggaan di situ; bangga dapat dilihat semua orang. Apalagi yang menonton adalah keseluruhan santri, angkatan pertama dan dua, yang jumlahnya kurang lebih 3 ribu orang. Ditambah juga para ustadz dan ustadzah yang jumlahnya ratusan. Belum lagi staf pengurus pesantren. Belum lagi karyawan loundry, karyawan bangunan, karyawan kantin. Meski kemungkinan besar mereka tidak memperdulikan saya, itu urusan nomor sekian. Selain itu, saya juga bangga karena bisa “bolos” dari hukum wajib berada di asrama di malam hari. Kami berlatih di gedung pertunjukkan, selama satu minggu, setiap ba’dan isya hingga jam setengah sepuluh. Bagi saya yang waktu itu adalah santri taat hukum, itu merupakan prestasi tersendiri.
Bekas yang kedua, sayangnya adalah bekas yang tidak menyenangkan. Karena pementasan itu adalah tentang nabi Ibrahim, dan kaum nabi Ibrahim adalah orang Arab (katakan saja begitu. Waktu itu, kami tidak mau repot-repot menggali sejarah), dan orang Arab adalah orang yang memakai baju gamis (baju kurung yang panjang itu loh) maka saya pun harus meminjam baju gamis. Mengapa meminjam? Saya tidak punya. Mengapa tidak punya? Karena tidak diwajibkan. Mengapa tidak diwajibkan? Karena itu baju orang Arab. Dan pesantren, haruskah selalu identik dengan Arab? Untuk urusan lughoh (bahasa) mungkin iya. Tapi baju, setidaknya dalam penalaran saya di hari ini, adalah urusan “tetek bengek”.
Intinya, saya harus pinjam baju gamis. Seorang teman dekat, sangat dekat, karena kami satu kelas dan satu kamar dalam beberapa semester, meminjamkan saya. Sebut saja namanya Abdul. Saya pun tertolong. Saya jadi tidak perlu berkeliling asrama mencari pinjaman gamis yang jarang dipunyai itu.
Selain itu, ada juga aksesoris lain yang terbilang wajib, yaitu bulu. Yah, namanya orang Arab, pasti banyak bulu.
Minimal, ada janggutnya. Untuk urusan ini, saya dan beberapa teman berinisiatif menggunakan tinta. Jadilah dagu dan jambang muda kami mendadak hitam.
Sayangnya, saat janggut itu belum kering, saya sudah menunduk (karena apa, entah). Tinta pun melekat di gamis. Saya sadari itu setelah pementasan berakhir. Saya pun me-loundry-nya. Ternyata tidak hilang. Ya sudahlah. Mau bagaimana lagi. Toh gamis ini baju teman baik. Tidak jarang kami bertukar barang dan kalau terdapat masalah dengan barang tersebut, tidak pernah jadi persoalan besar. Pikir saya, ia akan mengomel sedikit lalu kami baikan seperti sedia kala lagi. Tidak mungkin ia menuntut gamis baru.
Ternyata, bayangan saya sama jauh dari kenyataan. Saat Abdul menerimanya kembali dan melihat bercak hitam di dekat kerah depan, ia mengomel. Bukan sedikit, tapi banyak. Setelah tiga hari (jika orang bermusuhan, maksimal hanya tiga hari. Bukankah begitu wahai pak ustadz?), ia tidak juga menegur saya. Saya tentu menjadi sangat tidak nyaman hati. Saya berinisiatif menegur duluan, mengatakan bahwa saya akan mengganti gamisnya. Tetapi dia tetap berlaku cuek aja. Akhirnya, hubungan persahabatan kami terputus. Benar-benar terputus. Saya tahu, gamis mahal harganya. Tapi saya tidak tahu, yang mahal kadang membuat masalah yang sesungguhnya sepele menjadi besar, bahkan mengorbankan hubungan persahabatan. Ya, diwaktu itu, saya belajar menjadi orang yang berprinsip “punya teman seribu masih sedikit, punya musuh satu sudah banyak”. Entah prinsip itu masih berlaku atau tidak. Karenanya, saya kecewa dan masih mengingatnya terus.
Akhirnya, saya jadi trauma dengan baju gamis. Sangat trauma. Seingat saya, saya tidak pernah lagi menggunakan baju gamis selama di pesantren setelah permusuhan kami itu. Dampaknya terhadap karir (karir? ckck) saya di teater ternyata besar. Pementasan teater pesantren selalu berbau-bau Arab. Gamis menjadi fashion wajib. Saya memilih keluar saja dari pada harus berurusan dengan gamis. Toh saya bukan pemeran utama, hanya anak bawang. Tidak akan ada dampak apa-apa. Si pengangkat keranda pun menjadi satu-satunya memori saya di teater pesantren.
Selanjutnya, setelah lulus pesantren, saya “terjebak” di Sastra Indonesia. Saya pun terjebak juga di salah satu kegiatan mahasiswa. Teater Djati namanya. Saya ikut teater itu, sebagian alasan saya karena sepuluh persen teman-teman angkatan saya ikut itu. Sebagian lagi alasan, karena itulah kegiatan yang tidak mengeluarkan uang pendaftaran. Tentu alasan itu tidak cukup kuat untuk menahan saya di sana. Saya pun berniat mencari kegiatan yang lain. Sayang, saat niat itu hendak diwujudkan, teater Djati akan melakukan pementasan besar dan saya sudah didaftarkan sebagai tim properti (bahasa kerennya, tukang angkut barang). Terpaksa saya harus masih bertahan beberapa waktu.
Frasa “beberapa waktu” itu ternyata tidak memiliki makna. Tidak tahu karena kerasukan apa, saya pelan-pelan merasa senang di teater Djati. Bahkan meski dalam dua tahun saya hanya menjadi tukang angkut barang, meski satu per satu teman-teman saya lebih memilih fokus di kegiatan lain, meski ketika saya dimintai iuran mingguan, saya tetap di teater Djati. Kata “tetap” di sini bersifat fluktuatif, sebab saya bukan orang yang rajin hadir latihan juga ambil bagian. Sesuai mood saja. Kata “tetap” hanya menunjukkan bahwa saya dan Djati mulai bersahabat dekat.
Pementasan pertama, setelah mungkin dua tahun lebih sejak pertama kali turut latihan, lalu tiba. Itu pementasan absurd. Saya hanya di suruh berbicara dalam bahasa Singkawang. Tentu mudah, karena kesalahan apa pun yang saya buat dalam pengucapan, tidak akan ada yang mengerti. Unpad ada di tanah Sunda. Dalam pementasan itu, ada juga teman saya yang (dalam pengakuannya) berasal dari Bangka. Inisialnya, Fega Maria. Saya masih ingat bagaimana dia membuka percakapan dengan berteriak sambil kakinya bergerak-gerak seperti mengibas pasir pantai. Itu, membuat saya yang seharusnya berdiam diri menjadi patung karena belum saatnya berdialog, menjadi bersusah payah menahan cekikikan. Dari pementasan itu saya belajar, konsentrasi memang merupakan hal yang tidak mudah.
Dari pementasan selanjutnya saya belajar tentang A. Pementasan selanjutnya juga. Yang itu juga. Akhirnya, banyak sekali yang saya dapatkan dari teater. Pembelajaran yang ternyata berpengaruh di kehidupan “nyata”. Tentu bukan dari teater saja pembelajaran tersebut dapat ditemukan. Setiap orang punya caranya masing-masing. Hanya, inilah cara saya.
Di lain sisi, kehidupan saya ternyata mulai goyah. Cukup serius karena menyangkut aqidah. Apa yang saya pelajari dari pesantren ternyata digebuk habis-habisan. Persoalan itu mengenai keberadaan Tuhan dan tujuan kehidupan. Apa penyebabnya? Hm, saya kira itu pertanyaan mudah. Kata kunci: nihilisme, skeptisme, blablablaisme.
Yang jelas, karena itu, saya pun mengalami suatu Jumat yang gelisah. Sangat gelisah. Saya akhirnya memutuskan untuk menulis di sebuah kertas. Kira-kira begini bunyinya; Tuhan, kalau kau memang ada, jawab sekarang juga, untuk apa hidup ini. Terdengar kurang ajar memang. Itu bukan pertanyaan, tapi perintah. Saya seperti ingin menyamai nabi Musa yang meminta Tuhan menujukkan wujudnya, lalu Tuhan pun merubuhkan sebuah gunung, atau seperti bani Israil yang juga ingin melihat Tuhan, lalu disambar halilintar. Jumat itu memang Jumat gelisah.
Beruntung tidak ada gunung yang rubuh, tidak ada halilintar yang menyambar. Beberapa menit setelah saya menulis perintah berbungkus tanya, tiba-tiba volume radio terdengar lebih nyaring –yang jika sebenarnya dilihat dari teori psikologi, wajar terjadi. Suara yang pelan bisa menjadi suara yang jernih jika kita memfokuskan telinga-. Saya, yang secara alam bawah sadar tentu menyimpan konsep irasionalitas, pun agak kaget. Dari Radio tersebut, terdengar sebuah lagu yang belum pernah saya dengarkan sebelum dan setelahnya. Bunyinya: tanyalah ayah, tanyalah ibu. Siapa penyanyinya, saya tidak tahu. Yang jelas, bukan Slank, bukan Iwan Fals. Dan saya tidak pernah ingin mencari tahu. Sebuah keuntungan tentunya, karena ketidaktahuan yang tidak melahirkan rasa penasaran kadang justru menghasilkan ketentraman.
Saya hanya peduli dengan liriknya. "Tanyalah ayah, tanyalah ibu.."
Saya SMS ibu saya, bapak saya. Keduanya membalas dengan nada yang hampir sama. Hidup ini untuk menjalankan peranan masing-masing. Terutama ibu saya, saya bahkan tidak percaya ia akan menjawab seperti itu. Saya kira ia akan berkultum. Ternyata, itulah jawabannya. Kita sering kali merasa mengenal seseorang.
Saya pun percaya, Tuhan memang ada, bukan diada-adakan. Saya pun percaya, hidup itu peranan. Jika yang terjadi pada saya adalah sebuah kekonyolan, saya pun akan tetap percaya. Apakah hal itu masuk di logika atau tidak? Saya tidak peduli. Kita sering kali lupa bahwa manusia juga memiliki intuisi selain otak. Yang seharusnya adalah keseimbangan; yin dan yang kata orang Cina, Lingga dan yoni, kata orang Hindu. Pengagungan salah satunya hanya akan menyebabkan krisis eksistensi (halaaah. Cukup).
Selain peristiwa di atas, dalam bulan selanjutnya, berturut-turut dalam beberapa minggu, saya juga mendapat mimpi. Mimpi bertemu dengan Albet Camus, Franz Kafka, Nietzsche, dan Muhammad Iqbal.
Albert Camus datang kepada saya di suatu tidur pagi (karena saya tidur setelah pukul lima). Bagaimana awal mula dia datang, jelas saya tidak tahu. Kita selalu lupa bagaimana sebuah mimpi bermula. Ia menggunakan jas hitam yang kerahnya dinaikan. Sekilas mirip vampir yang digambarkan banyak film. Percakapan kami sebenarnya singkat. Namun karena itu di mimpi, jadi terasa lama. Saya masih ingat dialog kami.
Camus : Kamu sisifus?
Saya : Bukan, saya rojay.
Camus : Tidak, kamu adalah sisifus.
Saya : iya, saya sisifus.
Camus : Kamu bahagia?
Saya : Mudah-mudahan.
Camus : Ya, berbahagialah. Saat mendorong batu, jangan terlalu dibuat beban. Sesekali singgahlah di warung kopi, merokok dan bersitirahat dengan santai. Pandangi bintang-bintang. Dari gunung, mereka seakan dekat sekali.
Saya : Ya saya tahu. Saya pernah naik ke gunung Geulis.
Camus : Itu bukan gunung. Itu bukit.
Saya : ya. bukit. hanya kami menyebutnya gunung Geulis.
Camus : Seharusnya tidak boleh terjadi. sebutan bukit Geulis tentu lebih tepat.
Saya : Ya.
Saya dan dia diam beberapa saat. Saya berinisiatif bertanya.
Saya : Anda bahagia?
Camus : Ya. Saya berbahagia saat saya memutuskan untuk tidak lagi membahas soal bunuh diri.
Saya : ya.
Lalu dia tiba-tiba hilang karena saya tiba-tiba terbangun. Kandung kemih saya menuntut untuk ke kamar mandi. Saya pun menurutinya dengan rasa kesal sebab tidak mungkin kita mengharapkan mimpi berlanjut dalam tidur “sambungan”.
Minggu depannya, saya bermimpi bertemu Kafka. Ia terlihat lebih sehat dari pada perkataan banyak orang selama ini bahwa hidupnya hanya diselimuti derita penyakit. Juga tampan. Sangat layak untuk menjadi personil boy band. Saya lupa percakapan kami seutuhnya. Hanya ada satu kalimat yang bisa saya ingat. “Jangan seperti orang desa itu, yang cuma menunggu di gerbang dari muda hingga tua. Berkeliaranlah”. Itu saja. Dia pergi sebelum saya sempat menawarkannya jus mangga. Entah bagaimana saya bisa menikmati jus Mangga. Mimpi sering kali bersifat seenaknya.
Selanjutnya, saya bertemu Nietzsche. Dengannya, saya tidak bercakap-cakap, sebab ia hanya berkeliaran, mendadak muncul dan mendadak hilang. Lewat begitu saja di depan saya. Saat ia muncul, saya mencoba berteriak memanggil. Pertama dalam bahasa Indonesia, tapi gagal. Kedua dalam bahasa Jerman, dan berhasil. Ia menoleh sejenak lalu bergumam, hampir tidak terdengar. Kira-kira begini terjemahannya “bego itu Hitler. Dia pikir, dia itu Zarathustra?”. Kemudian dia hilang dan tidak muncul kembali. Padahal saya ingin bertanya “apa beda God is Dead dan Dead is God”. Tentu akhirnya batal. Oh, saya ingat. Kumisnya di mimpi saya tidak hanya menutupi mulut, tapi juga menutupi leher, dada, dan perut.
Lalu, di minggu depan, di hari selasa, saya bertemu dengan seseorang yang di pundaknya menempel sesuatu yang samar-samar semacam sayap. Awalnya saya kira dia malaikat. Namun kumisnya menyurutkan dugaan saya. Lalu saya kira dia pangeran Diponegoro, tapi salah juga. Saya pun tidak dapat mengenali dia itu siapa. Kami bercakap-cakap panjang lebar seperti mimpi saya dengan Camus. Sayangnya, percakapan kali ini tidak bisa saya ingat sama sekali sewaktu saya bangun. Sama sekali tidak bisa. Tetapi, saya tidak berusaha mengingatnya. Saya lebih memilih keluar kamar dan mendapati setelah sekian lama, saya akhirnya berjumpa dengan pagi dan udara dinginnya. Tidak ada kantuk lagi. Tidak ada niat untuk menyelinap ke balik selimut lagi. Yang saya lakukan selanjutnya, membuat kopi, memasak mie, menyulut rokok, dan memainkan lagu. Memori sederhana itu saya ingat sebagai salah satu hal menyenangkan dalam hidup saya.
Di hari kemudian, saya tahu bahwa seseorang bersayap samar dan berkumis itu adalah Muhammad Iqbal.
Keempat mimpi itu, hingga hari ini kadang selalu saya kenang. Cukup seorang diri saja. Tidak pernah saya bercerita kepada siapapun. Ada ketakutan kalau saya dicap pembohong, pengkhayal, pendusta, dan macam-macam lagi, meski dalam kenyataannya saya memang mengarang.
Beberapa perisitiwa dalam kehidupan saya (jawaban bapak-ibu saya dan mimpi-mimpi saya), ternyata berhasil menjalin satu tema yang utuh, yang lalu bercokol damai dalam pola pikir; hidup adalah pemeranan. Tadinya, ingin saya istilahkan “dunia ini adalah panggung sandiwara”, tapi sudah lebih dahulu diserobot God Bless.
Pola pikir ini pun berpengaruh pula dalam keikutsertaan saya di teater. Saya tidak lagi memandang hubungan saya dengan teater Djati seperti hubungan saya dengan seorang sahabat, tetapi saya dan jemari tangan saya (jemari tangan adalah bagian tubuh yang digunakan, di antaranya adalah untuk mengetik, menjepit rokok, dan mengupil). Pola pikir ini juga berpengaruh saat saya mesti berskripsi-ria. Tanpa ragu-ragu saya memutuskan untuk membahas teater. Teater secara mendalam telah merasuki alam bawah sadar saya.
Lantas waktu pun terus berjalan, tanpa melambat, tanpa mencepat.
Sampailah di suatu jam dua belas malam, di suatu Sabtu, saat saya mendapati kabar bahwa suami bibi saya, meninggal dunia. Kami satu keluarga, malam itu juga lekas pergi ke rumahnya. Di sana kami dapati kabar bahwa kepergian om saya karena serangan jantung yang mendadak. “Padahal jam sembilan tadi masih ngobrol-ngbrol”, “Jam setengah sepuluh dia masih membersihkan rumah”, itulah ungkapan yang beredar, yang menyatakan “masih tidak percaya”. Susah untuk mengomentarinya karena kejadian demikian bukan tidak jarang terjadi. Karena kematian memang sulit diduga.
Di siang hari, setelah ramai orang berkumpul, jenazah om, dibawa ke makamnya. Karena jarak makam tidak terlalu jauh, dia dibawa dengan berjalan kaki. Salah seorang yang menganggut keranda adalah anak lelakinya, sepupu saya, yang berusia dua puluh empat tahun, dan dalam beberapa bulan ke depan akan melangsungkan pernikahan. Saat melihat dia, konsep hidup adalah teater pun kembali mengemuka.
Latar belakang peristiwa tentu akan berpengaruh pada kejiwaan seseorang. Kejiwaan ini lantas berpengaruh pada raut wajah (bahasa kotornya: topeng). Dalam pemakaman tersebut, pada wajah sepupu saya, saya temui kembali (tanpa menghilangkan rasa duka) sebuah “topeng yang alami”. Begitu alaminya. Bahkan jika pun saya tidak memiliki hubungan apa-apa dengannya, saya akan bisa mengenali bahwa ia begitu sedih ditinggal seseorang yang sangat dekat dengannya. Dari matanya, tidak ada air mata. Wajahnya pun tidak memerah. Hanya dari raut wajahnya lah semua berbicara; raut seorang anak lelaki dewasa yang kehilangan ayah, yang berusaha keras tidak mengindahkan beratnya keranda, yang lupa dengan alas kaki padahal aspal siang begitu panas. Dan hanya itulah deskripsi yang bisa saya bahasakan.
Jika saya bandingkan dengan rautnya, yang saya lihat di foto, ketika ia telah melaksanakan lamaran pernikahan, tidak terbayangkan oleh saya ia akan beraut sedih seperti itu. Di dalam foto, senyumnya tersimpul kecil. Pipinya menempel di pipi calon pasangannya. Tanpa di edit photoshop pun kita akan mudah menangkap keceriaan di dalamnya.
Raut dan hidup. Keduanya memiliki sinkronisasi dengan “topeng dan teater”. Selalu berganti sesuai kejiwaan, sesuai peranan. Keduanya memiliki alur, latar belakang, plot persitiwa, dan macam-macam. Bedanya, kehidupan jauh lebih hebat. Seseorang bisa memiliki banyak peranan; ia menjadi bapak, juga anak, paman, kakak, adik, bawahan, bos, dan mungkin peranan yang ia sendiri tidak tahu sedang memerankan apa. Dalam satu waktu, ia bisa menjadi protagonis. Dalam waktu yang lain, ia menjadi antagonis. Waktu lain lagi, ia abu-abu. Alur yang terjadi pun bisa berbelit-belit dan kadang tidak masuk akal. Latar tempat bisa lebih kecil dari panggung pementasan, bisa jauh lebih luas. Tema, selalu berubah-ubah, bahkan kadang tanpa ada hikmah cerita.
Namun, keduanya sama-sama tidak bisa lepas dari ikatan waktu. Ada tirai pembukaan, ada tirai penutupan. Ikatan ini menjadi dorongan untuk pertanyaan yang dasar. Jika memang hidup adalah teater, lantas apa peranan kita?
Tentu akan sulit diterima jika ada seseorang yang membunuh lalu beralasan, tindakannya tersebut disebabkan ia merasa peranannya adalah pembunuh. Konyol sekali tentunya. Karena, dalam teater kehidupan, selain berperan, manusia pun bersutradara, walau hanya dalam lingkup yang sederhana, lingkup dirinya sendiri. Adanya rasio (otak) dan intuisi (perasaan) memungkinkan manusia melakukan itu (tentang ini, lebih jauh dapat ditanyakan pada pecandu eksistensialisme). Kemampuan bersutradara ini memungkinkan manusia untuk menempatkan peranannya, secara sadar, bukan sekadar ikut arus. Setidaknya, ia mampu menempatkan diri sendiri menjadi pemeran utama dalam kehidupan sendiri –Kalimat terakhir ini saya kemukakan karena tidak sedikit dari kita yang mudah merasa “terasing.”, merasa lebih menjadi figuran dalam kehidupan ini-.
Sebab, di teater panggung pun, meski posisi seseorang adalah sebagai aktor, ia sesungguhnya juga bersutradara. Apa yang ia rasakan, ia intonasikan, ia gesture-kan, ia seoranglah yang menentukan. Sutradara tunggal hanya memberi pengarahan.
Termasuk juga, kebebasan memilih, apakah ingin menjadi pengangkat keranda yang cekakak-cekikik, tidak “paham” dengan yang diangkatnya, atau pengangkat keranda yang “setulusnya”.
Sepulang dari pemakaman, seorang bibi menanggapi kematian mendadak om saya. Ia berkata “mau bagaimana lagi. Sudah habis kontraknya”. Kata “kontrak” itu, saya pikir punya kaitan dengan teater kehidupan. Juga kematian. Benarkah pernah ada kontrak sebelum nafas pertama?
Singkawang, Akhir Mei 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar