Kamis, 02 Agustus 2012

JEJAK PASIR (1); SAYA, DOSEN, BAPAK SAYA, DAN SASTRA INDONESIA

Juni, tahun 2005, di rumah seorang paman, di Kalibata, Jakarta, saya yang masih labil (sepertinya, sampai hari ini juga) mencoba membuat keputusan tentang masa depan. Orang tua saya, yang berada di Singkawang, Kalimantan Barat, menyerahkan sepenuhnya kepada saya, akan kuliah apa, dimana. Mereka (sepertinya) percaya, bahwa saya yang sejak lulus Sekolah Dasar sudah hidup berpisah dengan mereka, karena bermadrasah 6 tahun di sebuah pesantren dekat Haur Geulis, mampu memilih jalan sendiri. Di satu sisi, menguntungkan, karena banyak sahabat saya yang mengeluh “hidup gue seperti cuma alat buat orang tua gue”. Di satu sisi, saya goyah. Maklum, labil.

Bagaimana pun itu, saya tetap harus menimbang-nimbang. Menimbang dengan daya pikir lulusan SMA. Hasilnya, jurusan komunikasi berhasil menarik perhatian. Alasannya, saya pernah membuat novel dan berpikir komunikasi adalah tempat yang terbaik untuk meluaskan imajinasi. Dan kabar yang beredar, jurusan komunikasi yang terbaik ada di Universitas Padjadjaran, Bandung. Saya punya sedikit kenangan tentang kota itu.
Ketika usia saya 5 tahun, saya pernah dibawa bapak saya ke sana, menemani ia yang sedang menempuh pendidikan di IKIP (sekarang UPI, Universitas Padahal Ikip, He). Dimana saya tinggal? saya lupa. Berapa lama waktunya? kurang lebih, 2 atau 3 bulan. Tepatnya, saya tidak tahu. Satu-satunya hal yang masih saya ingat adalah, saya tidak pernah melepaskan jaket. Begitu dinginnya kota itu. Dan hanya hal itu yang saya ketahui tentang Bandung. Tentu, soal perempuannya yang geulis-geulis, itu sudah kabar umum. Tidak perlu diperbincangkan. Toh, waktu itu saya masih kecil. Masih polos. Perempuan belum bisa menjadi lembar kenangan.

Yang jelas, Ingatan yang sangat samar itu, ternyata berhasil membuat saya merasa sangat mengenal Bandung. Merasa mengenal. Saya pun lantas merasa harus segera ke Bandung. Sangat ingin segera. Lusa, saya pun minta diantarkan paman saya ke terminal Kampung Rambutan.

Di suatu sore ibu kota negara, yang panasnya masih pengap, saya pun celingukan melihat kanan kiri. Yang manakah bis ke Bandung? Terdengar suara kenek dari kejauhan “BANDUNG, BANDUNG!!”. Itu dia. Saya pun naik.

Entah apa yang saya bayangkan di dalam bis. Mungkin banyak pertanyaan. Bagaimanakah kota Bandung saat ini? Masih dingin kah? Betulkah gadis-gadisnya memang cantik? (saya sudah bukan anak kecil!), Bagaimanakah UNPAD itu? Segala pertanyaan membuat saya melupakan nikmatnya tidur dalam perjalanan. Saya terus membayang-bayang, sambil menggali-gali, mungkin masih ada sisa kenangan usia 5 tahun.
Bayang-bayang itu mulai buyar saat seorang bapak yang duduk di sebelah saya mengajak bercakap-cakap.

“Mau kemana de?”
“Bandung pak”
“Bandungnya dimana?”
“Belum tahu pak. Nanti saya menginap di rumah keluarga” –kata keluarga saya pilih agar menghindari penjelasan bertele-tele-.
“Oh, rumah keluarganya dimana?”
“Belum tahu pak. Nanti saya hubungi dia dari terminal”
“Oh, nanti berhenti dimana?”
“Bandung”
“Iya, Bandungnya dimana? Cileunyi? Atau Buah Batu? Atau Rancaekek?”
“yaa, di tempat bis nya berhenti terakhir pak”
“Bis ini ke Garut. Berhenti di Garut”

Saya masih ingat kening saya berkerut. Saya masih ingat sangat. Saya cuma tahu Bandung. Cuma satu Bandung. Garut? Bukankah itu merek dodol? Masa bis ini berhenti di dodol.

Pengetahuan “cuma tahu satu Bandung” ini pun ditangkap oleh bapak tersebut.

“Baru pertama kali ke Bandung”
“Yang kedua pak. Yang pertama waktu kecil”
“Waktu kecil itu umur berapa?”
“Lima tahun”
Sayangnya, saya lupa ekspresi bapak itu.
“Coba kamu tanyakan bapak kamu, di mana alamat keluarga kamu”
“Saya tidak punya handphone pak. Nanti saja kalau sudah di terminal. Saya cari wartel”. Ya, handphone saat itu masih merupakan barang yang wah untuk saya.
Ia, mungkin mengangguk-angguk. Mungkin menggeleng-geleng. “Sudah malam loh. Belum tentu ada wartel yang buka”

Saya ingat, kalau saya diam. Betul-betul diam. Perlahan-lahan, saya sadar, saya telah membuat kesalahan besar. Saya tidak memberi tahu bapak saya kalau saya berangkat ke Bandung di hari ini. Saya tidak mencari tahu dimana alamat rumah pak Hamdi. Saya tidak mengecek dulu seluas apa kota Bandung.
Saya cuma tahu ada kota bernama Bandung. Saya cuma tahu, ada pak Hamdi di dalam Bandung.

Tapi, saya (setidaknya di waktu itu) adalah orang yang nekat. Orang yang nekat dulu baru mikir. Itu julukan dari bapak saya di kemudian hari. Saya sudah menimbang-nimbang, kalau saya tidak dapat bertemu pak Hamdi, malam ini saya menginap di Masjid saja. Yang penting, harus sampai di Bandung.

Demi memperlihatkan bahwa saya bukan orang yang gampang panik, apalagi pencari belas kasihan, saya pun mencari obrolan lain.
“Dari mana pak?”
“Jakarta”
“Kerja ya pak?”
“Tugas.”
“Bapak kerja di mana?”
“Saya dosen di Universitas Padjadajaran”
"Padjadjaran itu, di Bandung kan pak?"
"Iya. Tapi di sana cuma ada dua fakultas. Yang Paling banyak di Jatinangor"
"Jati..."
"Jatinangor"
“Jatinangor. Bapak mengajar jurusan apa pak?”
“Sastra Indonesia"
"Sastra Indonesia itu di Jati.."
"Jatinangor. Iya. Dulu di Bandung, tapi sekarang sudah di Jatinangor"
"Jauh pak Jatinangor dari Bandung?"
"Hmm, satu jam lah standarnya"

Saya mencoba membayangkan sebagaimana jauh jarak kedua temat itu. Mungkin dari Singkawang ke Pemangkat.

"Kamu ke Bandung kenapa?” Tanya bapak.
“Mau kuliah pak”
“Mau ambil jurusan apa?”
"Komunikasi"
"Oh. Aslinya dari mana?"

Kami pun bercakap-cakap semengalirnya.

Pembicaraan itu akhirnya mesti berhenti karena bis mulai mendekati ujung tol. Di luar, gelap dan rintik hujan terlihat jelas. Jelas juga, lampu-lampu kota yang menghardik mata. Ada yang di gunung. Ada yang bertumpuk. Ada yang jarang-jarang. Inikah Bandung? ckckck. Indah.

Pandangan mata saya kembali kepada bapak di samping. Ia mulai menyiapkan barang bawaannya. Saya sepertinya perlu bersiap-siap juga. Tapi yang terjadi, saya diam saja. Perlu waktu bagi saya untuk menarik nafas dan menguatkan niat untuk mengadapi semua yang akan terjadi. Ternyata bapak itu menawarkan saya untuk turut serta turun dengannya

“Kamu ikut saya saja dulu. Turun di Cileunyi. Nanti kamu naik angkot ke Cicaheum. Di sana kamu nanti coba hubungi keluarga kamu”

Begitulah. Saya pun ikut dia turun di Cileunyi. Hujan ternyata lebih deras dari yang terlihat. Sepatu saya terbuat dari kain. Air pun mudah merembes. Dan Bandung memang masih dingin. Dalam semenit kemudian, gigi atas dan gigi bawah saya sudah saling beradu. Keadaan ini membuat nyali saya untuk tidur di masjid menciut. Bapak itu tertawa melihat saya. Ya, saya ingat dia tertawa. Ia mengajak saya masuk ke dalam salah satu angkot yang bertuliskan CICAHEUM-CILEUNYI.

Saat angkot masih belum berjalan karena masih menunggu penumpang penuh, Bapak itu mengeluarkan handphone-nya. Disodorkannya ke arah saya.

“Kamu tahu telpon orang tua kamu?”
Saya mengangguk. Orang tua saya telah mengajarkan saya untuk menghapal nomor-nomor penting.
“Telepon saja orang tua kamu”
Saya ragu-ragu. Setahu saya, pulsa menelpon, dari handphone ke handphone itu mahal.
“Gak apa apa pak?”
“Iya. Telepon saja”

Saya pun menelpon bapak saya. Saya lupa bagaimana reaksi kaget bapak saya saat saya sampaikan saya berada di Bandung. Saya juga lupa bagaimana kakagetan itu bertambah parah saat dikatakan bahwa saya tidak tahu alamat Pak Hamdi, tidak tahu nomor teleponnya, dan tidak tahu segalanya. Tapi saya ingat saat ia katakan “kalau tidak salah, rumah pak Hamdi dekat Cicaheum. Nantilah bapak cari dulu nomornya”. Oh, Cicaheum. Bukankah itu nama tempat yang saya tuju?.

Handphone saya serahkan kembali. Tidak lupa rasa terima kasih yang diucapkan. Angkot telah pun berjalan. Di sebuah tempat, yang sayangnya saya lupa apakah Cibiru atau Ujung Berung, bapak yang baik hati itu berkata “kiri”.

Angkot berhenti. Ia turun. Sebelumnya ia mengingatkan saya agar berhenti di Cicaheum, bukan tempat lain. Saya mengiyakan sambil mengucap sekali lagi terima kasih.

Di Cicaheum saya berhenti. Ada wartel yang buka. Saya telepon kembali orang tua saya. Ia memberi tahu nomor pak Hamdi. Saya telepon pak Hamdi. Dan ia tidak tinggal di Dekat Cicaheum, tapi di Cicaheum. Pertualangan tidur di masjid pun gagal terlaksana.

Dua minggu kemudian saya mengisi formulir pendaftaran SMPTN. Universitas yang saya pilih, hanya satu, Padjadjaran. “Niat sangat tinggal di Bandung” kata bapak saya. Entah, saya tidak tahu alasan saya sesungguhnya. Karena saya memilih jalur IPC, saya pun mesti membuat tiga pilihan. Pilihan pertama, jelas, komunikasi. Kedua, saya lupa (ada kata “pertanian” pokoknya). Ketiga, saya bingung. Saya meminta saran dengan orang tua, dan ia bertanya “mengapa tidak Sastra Indonesia? Katanya suka nulis”. Sebenarnya, saya memang memiliki pemikiran untuk mempertimbangkan sastra Indonesia. Namun, saat itu dalam otak saya, statement yang terbentuk adalah sastra Indonesia merupakan pelajaran merangkai kata seindah mungkin, seperti Kahlil Gibran. Dan saya takut, saya akan menjadi orang yang romantis di kemudian hari.

Tapi, bapak saya menawarkan pilihan itu dengan nada riang sekaligus sungguh-sungguh –satu hal yang membuat saya berpikir, orang tua mungkin lebih mengenal anaknya dari pada anak itu sendiri-. Saya pun mencari-cari pembenaran untuk pilihan ini. Setelah mengingat asyiknya membaca Lupus-nya Hilman dan Supernova-nya Dewi Lestari, Sastra Indonesia resmi saya bulatkan dengan pensil 2B itu. Sambil memenuhi bulatan, ingatan saya mengarah pada bapak di bis. Bukankah dia dosen Sastra Indonesia Unpad?

Ujian SNMPTN lalu dilaksanakan. Saya ikuti dengan tanpa riwayat bimbingan belajar. Kalau mau lulus, luluslah. Kalau tidak, yaaa, kalau bisa, luluslah. Usai ujian, saya pulang ke Singkawang. Akhir bulan Juli, pengumuman kelulusan dimuat di internet (Singkawang bukan kota gaptek loh). Saya dapati nomor peserta ujian saya dilabeli kata LULUS. Di pilihan ketiga. Sastra Indonesia.

*************

Sekarang, 25 Mei 2012. Sudah hampir tujuh tahun sejak Juni itu. Sudah hampir satu tahun nama saya ada buntut Sarjana Sastra (jangan ditulis di surat undangan nikahan. ditakutkan akan membebani hidup. he). Sudah banyak berubah diri saya ini (entah ke positif atau negatif. Ah, yang penting sirotol mustaqiim). Konsep “cuma satu Bandung”, jika diingat, membuat saya merasa (atau memang) tolol. Tapi, jika tidak demikian, saya tidak akan “dikasihani” oleh seorang bapak yang kebetulan bertemu di bis, seorang bapak, yang saya yakini hingga hari ini, adalah salah satu dosen saya. Sering saya mencoba mengingat-ingat, siapa ya namanya? Sayang, selalu gagal.

Sesekali, ingin saya bertanya langsung. Tapi urung. Pertama, karena saya memang agak sulit berkomunikasi dengan orang yang tahun kelahirannya jauh lebih duluan. Kedua, karena saya tidak yakin siapa orangnya. Ketiga, jika pun diketahui orangnya, saya tidak yakin ia mengingatnya. Percakapan dalam bis, itu hal biasa, hanya peristiwa kecil yang tidak jauh berbeda dengan iklan televisi. Jika lupa, itu sangat sangat sangat wajar. Bapak saya pun mungkin lupa bahwa ia yang menawarkan jurusan Sastra Indonesia.

Tapi saya tidak lupa. Akhirnya, saya beranggapan, semua dosen saya, termasuk yang perempuan, adalah orang yang bertanya “Bandungnya dimana?”, menyarankan saya ikut turun di Cileunyi, dan meminjami saya handphone-nya. Memang hanya moment kecil. Begitu pun saat bapak saya menawarkan Sastra

Indonesia padahal saya sangat berniat di komunikasi. Hanya tawaran kecil. Dan keduanya hampir tidak berhubungan.

Namun, semua itu, yang kecil-kecil itu, yang sering diistalahkan “kebetulan”, ternyata sedikit demi sedikit sering menumpuk, lalu berhubungan. Akhirnya, tanpa sadar menjadi belokan tajam untuk jalan seorang anak manusia. Belokan yang mengarah pada kalimat “Saya tidak pernah menyesal. Saya merasa sangat bahagia. Ini dunia saya. Entah apa jadinya jika saya tidak di sini”.

Saat ini juga, sekali lagi ingin saya ungkapkan: Kepada Tuhan Yang Maha Sutradara, kepada dosen-dosen saya, kepada bapak saya, kepada sastra Indonesia, saya ucapkan terima kasih. terima kasih. terima kasih. untuk segala moment kecil, atau pun besar.


Pontianak, 25 Mei 2012.

1 komentar: