Rabu, 12 September 2012

JEJAK LANGKAH PASIR (9); SASTRA DAN PERADABAN MANUSIA INDONESIA

Membicarakan perihal sastra bukanlah hal yang sebentar, bukan juga sedikit. Agak susah untuk memilah-milah dan memilih fokus. Tapi, walau bagaimana pun, pembicaraan itu harus tetap diangkat. Karena sastra adalah bagian dari peradaban, bahkan dapat dibilang, sastra juga memiliki turut andil yang besar dalam membangun peradaban. Tidak terkecuali di Indonesia.

Sastra di Indonesia ini, sudah berada lama sekali, bahkan ketika wacana mengenai kenegaraan masih jauh dari bentuk jabang bayi. Beberapa pendapat mengatakan sastra muncul sejak kerajaan-kerajaan penganut Hindu bermunculan. Seperti kerajaan Kutai, Tarumanegara, Sriwijaya atau beberapa lagi –terdapat berbagai macam versi mengenai kerajaan tertua. Ditemukannya berbagai macam prasasti yang dipercayai dari zaman tersebut, menunjukkan adanya peran aksara dan bahasa dalam peradaban kerajaan. Dengan adanya aksara dan bahasa, sangat tidak mustahil ada pula bentuk kesusastraan, meski nilai-nilai kesusastraan di zaman itu tentu tidak sama dengan saat ini. Kesusastraan pada masa silam lebih bersifat religuitas dan sakral. Para pandai aksara berasal dari kaum Brahmana, tingkatan tertinggi dalam kasta Hindu.

Tetapi, ternyata kesusastraan bukan pula hanya terbatas pada aksara. Sebuah masyarakat yang belum mengenal aksara, belum tentu juga tidak memiliki konsep kesusastraan. Dengan demikian, masyarakat zaman animisme atau yang masih berorientasi pada dewa-dewa, yang keberadaannya sudah ada jauh sebelum adanya kerajaan, tidak dapat diacuhkan dalam hal ini. Misalnya, di masyarakat Dayak Uud Danum, ada dikenal Kolimoi dan Tahtum yang hingga kini masih bersifat lisan. Disinyalir keberadaan folkor yang mirip Mahabarata dan Ramayana itu sudah ada sejak pra-masehi.

Lebih jauh lagi, sastra mungkin telah ada sejak adanya manusia pertama kali. Penggambaran ini diungkapkan oleh Octavio Paz dalam essainya Suara Lain, “Hubungan antara manusia dengan puisi (bisa juga dibaca “sastra”) sama tuanya dengan sejarah kita; ia mulai ketika manusia menjadi manusia. Pemburu pertama dan pengumpul bahan makanan pertama pada suatu hari memandang kepada diri mereka dengan rasa heran. Hal ini berlangsung sejenak namun tak berkesudahan dan melahirkan akhiran teduh sebuah puisi. Sejak saat itu orang-orang tidak berhenti memandang kepada diri mereka pada cermin itu. Dan mereka telah melihat pada diri mereka sendiri, pada suatu waktu dan waktu yang sama, sebagai kreator citra-citra dan sekaligus sebagai citra-citra ciptaan mereka sendiri. Untuk alasan itulah saya dapat menyatakan dengan sedikit kepastian, bahwa selama di sana ada orang, ada manusia, maka di sana akan ada puisi”.
Melalui ungkapan Paz tersebut, dapat kita temukan satu titik temu antara keberadaan manusia dan kesusastraan. Keduanya ternyata tidak dapat dipisahkan, seperti sosok dan bayangannya, sosok dan cerminnya. Kita pun sampai pada kesimpulan sementara; sastra memang telah ada sejak nafas manusia yang pertama kali ada.

Mungkin pernyataan tersebut terdengar terlalu melankolis atau “meninggi-ninggikan sastra”. Tetapi, kenyataannya sastra memang selalu ada. Ternyata pula, ia memiliki pengaruh yang tidak sedikit dalam perjalanan umat manusia. Kegiatan “meninggikan” sastra, dapat menjadi suatu upaya menciptakan peradaban yang lebih baik. Hal ini dapat kita lihat lewat pembacaan terhadap sejarah. Yunani Kuno. Ia masih diingat keberadaannya, salah satu faktor utamanya karena kesusastraan mereka. Nama-nama semacam Aristoteles, Plato, Socrates tidak dapat dilepaskan dari perkembangan umat manusia meski Yunani Kuno telah lama menghilang. Contoh lain lagi, kita bisa melihat pada zaman Harun Al-Rasyid. Kesusastraan memiliki posisi yang diprioritaskan kala itu, membuat kisah 1001 Malam, Abu Nawas, atau Nasruddin, menjadi terkenang hingga kini. Zaman Al-Rasyid pun akhirnya kerap dijadikan parameter “zaman keemasan”. Lainnya, kisah Mahabarata dan Ramayana, juga memiliki andil besar dalam membangun peradaban India, juga masyarakat-masyarakat yang di kemudian hari menganut Hindu. Contohnya, kerajaan-kerajaan awal Nusantara. Kedua kisah tersebut, sudah tidak perlu dipertanyakan lagi kebesaran dan keajaibannya. Di tanah Jawa juga, kita pun mendapat kebesaran Serat Centini, kitab Pararaton, Serat Kertanegara, dan macam-macam lagi, yang ternyata memiliki nilai-nilai yang besar dalam pembangunan peradaban Jawa lama, membuat kita bisa mengingat bahwa zaman itu adalah salah satu zaman terbaik yang pernah ada di nusantara.

Kesemuanya menunjukkan bahwa keberadaan sastra memiliki posisi yang penting dalam pembangunan peradaban. Peradaban yang terbaik, salah satu indikatornya adalah ketika sastra ditempatkan pada tempat yang selayaknya dan tidak diacuhkan. Mengacuhkan sastra dapat dianggap sebagai proses membunuh diri perlahan-lahan. Bukan tanpa landasan kalimat tersebut saya cetuskan, sebab sering sastra memiliki andil terhadap suatu perubahan negri. Perang saudara di Amerika misalnya, salah satunya disebabkan karena munculnya novel Uncle Tom yang ditulis oleh Harriet Beecher Stowe, dipublikasikan pada 1852. Amerika pun lantas berangsur-angsur melihat manusia secara sama rata, tanpa membedakan warna kulit. Di Indonesia, pernah terjadi masa keberadaan Balai Pustaka dianggap senjata kolonial sehingga membuat banyak pengarang menerbitkan “karya tandingan”. Secara langsung dan tidak langsung, keadaan tersebut ternyata turut memunculkan kesadaran kemerdekaan. Pasca kemerdekaan, perseteruan-perseteruan kembali terjadi juga, antar ideologi budaya atau antara ideologi budaya dengan realitas kekuasaan; Perseteruan konsep arah perjalanan budaya bangsa antara ketimuran yang diwakili oleh Armijn Pane atau kebaratan yang diwakili oleh Sutan Takdir Alisyahbana; perseteruan Manikebu dan Lekra; Demonstrasi di masa reformasi 66 yang salah satu penyebabnya adalah puisi-puisi Taufiq Ismail; beberapa demonstrasi zaman Soeharto karena puisi Wiji Tukul. Dan beberapa lagi.

Bicara tentang sastra, bukan sekadar bicara tentang kumpulan imajinasi yang dibahasakan. Sastra tidak lahir dari kekosongan realita. Ia tidak seratus persen imajinatif. Selalu ada kandungan yang diusungnya, entah itu dari segi filsafat, agama, politik, sejarah, psikis, atau sosial. Karena itu, bagi saya sendiri, bila Al-Kitab dianggap sebagai pencerahan, maka sastra adalah keterbukaan. Selalu ada sudut pandang lain yang mungkin muncul dari tempat yang tidak terduga, menyadarkan kita bahwa dunia begitu luas dan dalam.

Sayangnya, kebanyakan masyarakat Indonesia tidak beranggapan demikian. Sastra sering dituduh sebagai bacaan “tak berisi” karena dianggap sekadar berisikan imajinasi dan khayalan. Novel, puisi, cerpen, naskah lakon, hanya dipandang sebagai bacaan hiburan. Orang tua akan lebih senang anaknya membaca buku Fisika ketimbang menjadi pecandu Sastra (bukan dengan maksud mendiskriminasikan Fisika atau Ilmu Pasti). Bahkan, tidak sedikit orang tua yang mengharamkan sastra, karena takut anaknya menjadi tukang melamun. (padahal, tidak sedikit dari orang tua tersebut selalu menunggu dengan tidak sabar lanjutan sinetron). Di ruang pendidikan, sama saja. Seorang teman pernah bercerita bahwa ada guru yang melarang murid-muridnya membaca novel dengan alasan buku pelajaran lebih penting untuk dibaca. Dan kejadian itu adalah hal yang tidak asing, membuat kita bertanya-tanya “apakah pendidikan hanya ditolak ukur dari sebatas buku pelajaran?”. “Bukankah esensi pendidikan adalah peluasan wawasan?”. Di ruang media massa (koran, televisi)yang memiliki andil besar dalam menentukan budaya dan pola pikir masyarakat, sastra sering dinomor sekiankan. Hanya beberapa media massa yang masih mengapresasi karya sastra dengan amat baik. Selebihnya hanya bersifat ala kadar dan bahkan enggan.

Suatu saat saya melamar pekerjaan di sebuah media massa yang cukup besar. Setelah beberapa kali test, sampailah pada test wawancara. Tiga jam penuh saya berhadap-hadapan dengan kepala bagian SDM, saling tanya jawab. Salah satu konteks pertanyaan adalah mengenai sastra dan budaya (koran ini tidak memiliki rubrik sastra dan budaya). Saya kemukakan argumen saya dan dia tertawa kecil. Katanya "kalau mau jadi wartawan khusus bagian budaya, susah. Tidak setiap hari ada konser musik dan perlombaan tari-tarian. Dan tanpa rubrik sastra pun koran kita sudah besar". Ah, budaya hanya dianggap sebagai komoditi (pantas kalau pemerintahan menyandingkan Budaya dengan Pariwisata dalam satu dinas)... dan sastra, seperti yang sudah dibilang, zaman ini seperti itik salah kandang.

*****
Pentingnya keeksistensian karya sastra pernah diangakat oleh Adonis, salah seorang pengarang kontemporer Arab. Ia pernah mencetuskan kalimat “sastrawan hampir sama dengan nabi”. Ucapan yang terdengar kontroversial itu dilandasi dari anggapan bahwa fungsi sastrawan dan agama sesungguhnya tidak jauh berbeda. Keduanya sama-sama mengandung konsep “society controller”. Bedanya, jika agama memiliki nilai dogma (dalam arti seluas-luasnya) yang kadang tidak bisa diganggu gugat, sastra lebih bersifat terbuka dan bukan berarti antara agama dan sastra mesti harus dicari pemenangnya (seakan-akan kebenaran adalah ajang mencari juara). Keduanya sering kali berkolerasi dan memang sepatutnya demikian. Keterbukaan sastra sering dipraktekan para penulis sufistik untuk mendalami lebih jauh keberadaan agama dan hubungan dengan Tuhan. Di Indonesia, penulis-penulis semisal Y.B. Mangunwijaya, Danarto, A.A Navis dan Mustafa Bisri, bisa menjadi acuan dalam melihat keakraban antara agama dan sastra. Sastra dan agama seperti kakak beradik saja, bahkan meski seorang penyair “menampikkan” Tuhan.

Reposisi terhadap keberadaan sastra di Indonesia, simpulannya, mesti terus diadakan. Sastra sudah semestinya tidak dipahami sebagai media hiburan, fiktif, dan imajinatif belaka. Pendidikan dapat menjadi wadah pertama dalam proses reidentifikasi ini, sebab pendidikan adalah modal utama untuk arah perjalanan yang lebih baik. Jika keberadaan sastra tetap dianggap sebagai konteks yang terpisah sama sekali dari realitas sosial, akan sangat sulit menduga-duga peradaban bangsa ini bisa sebaik, misalnya zaman Harun Al-Rasyid. Dan pemisahan tersebut telah menunjukkan bahwa imajinasi, sebagai salah satu unsur penting sastra, dan sebagai salah satu karunia terbaik dalam diri manusia, ditempatkan pada posisi yang salah kaprah. Hanya sebagai “embel-embel” eksistensi manusia. Padahal, “imajinasi lebih hebat dari sains apapun” begitu tutur Einstein. Lanjutan kalimat Ovtavio Paz berikut ini, bisa menjadi tafsiran bagi kalimat Enstein tersebut. “Lahir dari imajinasi manusia, ia (sastra) bisa saja mati sekiranya imajinasi mati dan dikorup. Jika manusia melupakan sastra, mereka akan melupakan diri mereka. Dan akhirnya, kembali kepada kekacaubalauan semula.”

Boleh kita juga mengingat ungkapan Pramodya Ananta Toer, sebagai sirene instropeksi, bukan nada provokasi. “Kalian boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan apa saja, tapi tanpa mencintai sastra, kalian tinggal hanya hewan yang pandai."

Singkawang, 7 Agustus 2012