Selasa, 28 Agustus 2012

JEJAK LANGKAH PASIR (7); UTOPIA DALAM KEMUSTAHILAN DAN KEMUNGKINAN


Ada yang harus kuungkapkan
Tentang mimpi-mimpiku
Bercerita soal kehidupan
Di atas pulau biru
Gak ada hakim, dan terdakwa, jauh dari kriminal.


Itu adalah kutipan lirik lagu PulauBiru, Slank. Larik ‘mimpi-mimpiku’, sepertinya bukan mimpi sang pencipta lirik, Bimbim, belaka. Itu harapan banyak orang; ada kehidupan yang begitu damai, yang tak perlu hakim dan jaksa. Tetapi, peradaban manusia berdiri dari leher yang terpenggal dan suara letusan senapan. Ada darah yang dituntut. Ada kejahatan yang terkadang mesti. Epos Adam-Hawa menyiratkan bahwa manusia ada di Bumi karena pelanggaran. Pembunuhan Qobil terhadap Habil pun menambahkan, yang tersisa hanyalah keturunan sang pembunuh. Kodrat ‘penjahat’ sepertinya telah melekat di jidad. Dan kita dihadapkan pada pilihan; membenarkan kejahatan atau menjahatkan kejahatan.

Tentu akan selalu ada yang mengelus dada usai membaca rubrik kriminalitas di koran pagi. Elusan dada itu menunjukkan bahwa mimpi harus selalu berlangsung. Jalan ke negeri dongeng yang aman, sejahtera, dan sentosa mesti dibangun. Salah satunya, dengan membentuk ‘wadah’ orang-orang yang memberantas Poerterico –tokoh cerpen Narasi Seorang Pembunuh, karya Sihar Situmorang, yang menyenangi kegiatan membunuh-. Kita pun kemudian mengenal kata ‘Mahkamah’ dan ‘Polisi’.

Sayangnya, lembaga hukum seringkali tidak seperti diharapkan. Terutama di Indonesia, hukum yang kehilangan wibawa kerap menjadi opini di koran dan warta televisi. Sebagian diakibatkan ulah penanggung jawab hukum itu sendiri. Menjatuhkan hukuman 3 tahun penjara (belum lagi remisi) pada koruptor dan 5 tahun untuk maling semangka; menyidang tersangka korupsi dengan seorang hakim yang pernah menjadi tersangka korupsi, adalah salah satu contoh biang hilangnya wibawa. Masyarakat yang tergerus kepercayaannya, akhirnya tidak sabar. Mereka datang ke kantor polisi demi menghakimi sendiri maling motor; membakar polisi karena ditilang; saling adu parang antar golongan/ras/geng/aliran keagamaan dengan polisi hanya menjadi penonton. Ketidakadilan melahirkan ketidakpercayaan. Diri sendiri menjadi merasa memiliki wewenang. Wewenang ini sering bersifat kriminal. Rantai kriminalitas pun tak berujung, melingkar bulat penuh. Ketidakadilan-ketidakpercayaan-kriminalitas-hukum-ketidakadilan....


Satu cinta hilangkan, naluri saling menghancurkan..

Begitu lirik selanjutnya lagu Pulau Biru. Itu penawaran memutus lingkaran, yang tentu tidak hanya datang dari Bimbim. Agak terdengar romantis, tapi mungkin yang terbaik, yang bisa dilakukan dalam ruang lingkup kecil. Erich Fromm merumuskan penawaran ini dalam ruang ‘cinta saudara’; keharmonisan suatu masyarakat dimungkinkan dengan melihat orang lain sebagai bagian dari diri sendiri. Kepentingan diri sendiri pun akhirnya tidak selalu berbentrokan dengan kepentingan masyarakat. Individu menjadi individu itu sendiri, sekaligus menjadi bagian individu lainnya. Individu mencintai diri sendiri, sekaligus mencintai lingkungannya...tindakan buruk bagi orang lain hanya akan kembali pada diri sendiri. Dan sambil terus melihat diri sendiri, patut juga untuk tidak selalu berpandangan pesimis. Sesuatu yang baik adalah sesuatu yang terus berbenah. Muhammad Hatta Ali, resmi menjadi ketua Mahkamah Agung di 1 Maret 2012. Darinya, hukum diharapkan diletakkan pada garis yang seharusnya; adil. Tindakan perubahan mulai tercium. Untuk kasus pencurian kecil-kecilan, sang ketua sudah menerapkan hukum baru. Pencurian dibawah 2,5 juta, hanya diperlakukan seperti sidang tilang. Tidak perlu ada persidangan. Mungkin ini tindakan baik, mungkin juga blunder. Akan menjadi baik selama ada niat baik. Akan menjadi baik selama manusia mendengarkan hatinya, bukan mendengar bisikan kompromi kanan-kiri.

Erich Fromm boleh merumuskan mungkin konsep masyarakat ideal. Bim-Bim boleh bermimpi tentang pulau Biru. Namun, menghapus Poertorico-Poertorico dari rubrik kriminalitas bukan perkara gampang dan sebentar. Hakim, jaksa, terdakwa, akan selalu ada. Sejarah peradaban manusia mengajarkan: selama ada manusia, tidak pernah akan ada utopia. Sekaligus pula, selama ada manusia, selalu ada kemungkinan ke sana.



Pontianak, Maret 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar