“Agama adalah candu” begitu pernyataan Karl Marx, sebuah ungkapan yang bisa saja menumbuhkan kekesalan para penganut agama. Namun, tentu lebih baik melihat latar belakang mengapa pernyataan itu ada. Pada zaman Marx, agama berfungsi tidak lebih sebagai “hiburan” bagi masyarakat proletar. Dakwah yang dilakukan lembaga-lembaga dan penguasa agama, tentang surga di seberang kematian, lebih bertujuan agar masyarakattidak memprotes kehidupan yang serba miskin dan serba kekurangan. Lebih jauh lagi, agar gejala kolusi, korupsi, antara para tokoh agama dan penguasa tiran dalam berkuasa tidak terganggu dan tidak dikritisi.Bagi penguasa, agama menjadi senjata. Bagi yang dikuasai, agama menjadi candu, menjadi pelarian untuk mengeluhkan kemiskinan dan ketidakadilan.
Keadaan tersebut bertahan dalam waktu yang cukup lama. Doktrin agama yang cenderung sakral untuk dibantah membantu kondisi semacam itu bertahan. Sebab memang, secara psikologi sosial, kecenderungan kesadaran beragama dan kebutuhan bertuhan lebih mudah muncul ketika seseorang ditimpa malapetaka. Seseorang yang merasa mudah putus asa dengan keadaan, ditekan oleh kekuasaan, dan ditambah lagi tiadanya ulur tangan orang lain untuk menariknya dari jurang kelam, akan melakukan satu-satunya yang ia bisa: berdoa pada sesuatu yang bersifat irasional atau transenden. Berdoa dalam kasus ini akhirnya merupakan bentuk pengalihan. Represi, begitu Sigmund Freud mengistilahkannya –Freud juga mengeluarkan komentar yang mirip dengan Marx mengenai “candu agama” ini.
Jika dikaji ulang, secara historis, kemunculan agama-agama umumnyamemang lahir terlebih dahulu di kalangan kaum proletar atau bukan dari kaum penguasa. Keberhasilan dakwah Musa salah satunya karena ia mampu menggaet kaum yang dalam kurun waktu yang lama ditindas oleh Firaun. Keberadaan Isa sebagai nabi hanya diikuti oleh sekelompok kecil dan mereka mesti berhadapan dengan kekuasaan Romawi.
Dalam Islam, hal yang tidak jauh berbeda juga terjadi. Muhammad sendiri bukan dari keluarga kaya raya, namun dari keluarga sederhana. Di masa awal dakwahnya di Mekkah, Muhammad hanya memiliki tidak sampai seratus orang pengikut, sebagian besar bukan dari golongan bangsawan. Keberadaan mereka diperangi oleh hampir seluruh Bani penguasa Makkah. Dalam satu waktu, para pengikut Muhammad bahkan mesti hijrah ke Habsyah demi menghindari teror penguasa. Ketika Muhammad pindah ke Yatsrib (Madinah), barulah ia memiliki posisi yang stategis dalam meluaskan Islam.Di Nusantara, Islamdi masa awal perkembangannya lebih mudah diterima oleh kaum Sudra, kasta terbawah dalam Hindu. Tidak adanya peraturan kasta dalam Islam menjadi salah satu daya tarik utama bagi golongan tersebut.
Simpulannya, makna dan semangat keadilan umumnya lebih dihayati oleh kaum miskin, papa, yang berada pada strata sosial terbawah, dan menjadi objek ekpoitasi kekuasaan yang tertinggi. Oleh sebab itu, kehadiran nabi dalam kalangan proletar tidak dapat dianggap sebagai sebuah kebetulan. Nabi ternyata tidak berfungsi sebagai pembawa risalah agama, yang menjanjikan jalan keselamatan di alam ukhrowi, namun juga menjadi pembela hak asasi manusia. Meski keimanan dan aspek transendental tetap menjadi pokok kehadiran agama, bukan berarti aspek sosial dinomorduakan. Transformasisosial (meminjam istilah Komaruddin Hidayat), jugamenjadi salah satu agenda utama dalam konsep keberagamaan. Namun, meski nabi langsung diutus oleh Tuhan, perubahan sosial tidak serta merta terjadi. Perubahan selalu menuntut proses, sebab secara substansial dan hakiki, masyarakat tetap menjadi subjek bagi diri mereka sendiri. Perubahan yang diharapkan dapat terjadi dengan dimulai dari perubahan mereka sendiri.
Keberadaan nabi dan perubahan sosial, hal tersebutlah yang lantas menimbulkan pertentangan. Para penentang yang umumnya berasal dari kaum penguasa cemas terhadap prinsip keadilan dan paham egalitarianisme yang dibawa oleh agama. Membiarkan mereka sama artinya dengan membiarkan transformasi sosial, transformasi tampuk pimpinan.
Kita akhirnya sama-sama tahu, transformasi sosial itu terjadi. Hukum rimba beralih pada hukum yang manusiawi dan adil. Hal tersebut tidak lepas dari peranan agama. Secara luas, agama perlahan-lahan memegang banyak kendali terhadap peradaban manusia. Agama menjadi panutan dalam hal rohani juga menjadi hukum dalam kehidupan sehari-hari. Di tata pemerintahan, agama juga memegang peranan yang penting. Terutama di dalam Islam, keberhasilan Muhammad, Khulafa Al-Rasyidin, bani Umayyah dan bani Abbasiyah dalam menerapkan sistem keadilan sosial mencatatkan Islam sebagai agama yang sukses membawa peradaban ke arah yang lebih baik.
Tetapi, sejarah mencatat, ada masa agama sulit untuk dipersatukan dengan konsep sosial. Sebab, meski agama membawa konsep egalitarianisme, tetaplah pelaku beragama dan bernegara adalah manusia. Dan manusia adalah makhluk paling baik sekaligus paling buruk yang pernah ada di muka bumi.
Seperti di masa Marx dan Freud, agama tidak lagi dipercayai sebagai konstitusi keadilan sosial dikarenakan agama bahkan sering digunakan sebagai pelanggeng kekuasaan, kepentingan ideologi, dan senjata pembodohan rakyat. Dalam persentuhannya dengan kebenaran pengetahuan, pelaku agama juga sering kali menempatkan diri sebagai pihak otoriter, dan semakin otoriter ketika negara dan agama diotonomikan pada satu pihak saja. Misalnya di pertengahan abad 16, otonomi kekuasaan negara dan agama yang dipegang oleh Paus Alexander IV telah menimbulkan sikap skeptis di kalangan ilmuwan, filsuf, juga masyarakat terhadap agama.Sikap tersebut tidak lepas dari kesewenang-wenangan dan tidak terkontrolnya kelakuan Paus Alexander IV (bernama asli Rodrigo Borgia, dari Spanyol). Dia membuunuh rahib Dominikan Girolamo de Savanarola (1452-1490) yang menghujatnya, berkembang biak seenaknya lewat perzinahan, korup, pesta dan mabuk-mabukan, dan menghambat perkembangan pengetahuan –salah satunya dengan membakar bukuDe Revolutionibus orbium coelestium (Tentang peredaran benda-benda langit) yang terbit pada tahun 1543, karya Nicolaus Copernicus.
Hal yang tidak jauh berbeda dapat ditemukan juga bila kita melihat keruntuhan Bani Abbasiyah. Selain disebabkan oleh serangan dari bangsa Mongol, kejatuhan Abbasiyah juga dikarenakan problem-problem internal yang tidak kalah besar. Banyaknya pemberontakan karena pajak yang tinggi dan degradasi rasa kepercayaan kepada pimpinan, telahmenggangguperekonomian dan kehidupan sosial. Pengeluaranpun semakinmembengkakakibat gaya hidupparakhalifahdanpejabatyang hura-hura dan penuh tindakankorupsi. Masyarakat semakin tidak percaya. Pemberontakan semakin meluas.Segalafaktor itu punsalingberkaitan, tidakterpisahkan, dan tidak terselesaikan hingga Abbasiyah benar-benar jatuh.
Penyalahgunaan peran agama dalam ruang sosial dan birokrasi pemerintahan akhirnya melahirkan paham sekulerisme, pemisahan antara kekuasaan dan agama. Perkembangan sekulerisme, dalam pandangan Sosiolog Max Weber dan teolog Harvey Cox, semakin mendunia akibat pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan menguatnya sistem birokrasi modern. Dampaknya, masyarakat memang cenderung mulai memisahkan antara fungsi bernegara dan fungsi beragama.
Terlepas dari sependapat atau tidaknya mengenai sekulerisme ini, terdapat beberapa catatan peradaban bahwa sekulerisme juga memiliki kandungan nilai positif dan negatif dalam keberagamaan. Komaruddin Hidayat, dalam essai Dari Sekulerisme ke Pluralisme(1992)mengatakan manusia sekuler lebih mempercayai kekuatan dan otonomi manusia. Mereka merasa terbebas dari batang-bayang doktrin agama yang membelenggu. Di satu sisi, di saat orang beragama, ia menyadari sepenuhnya pilihannya, bukan karena paksaan dan otoritas wahyu atau lembaga. Wahyu lebih bersifat inspiratif dan petunjuk, bukan doktrinitas yang tidak bisa diganggu gugat.
Hal-hal tersebut tentu berpengaruh dalam aspek sosial. Sekulerisme yang lahir dari jalan panjang sejarah pun mengambil alih tata kerja transformasi sosial.Transformasi sosial diletakkan kepada lembaga-lembaga yang cenderung terpisah dari agama. Perkembangan perbankan, ekonomi, pendidikan, dan budaya yang tentu berpengaruh pada ruang transformasi sosial lebih bersifat humansentral(sepenuhnya pada manusia, berikut aturan-aturannya). Jika ada persentuhan dengan agama, akan ada pemisahan yang jelas. Sebab, agama sendiri telah terdegradasi konsepnya menjadi “kumpulan dogma”.
Degradasi konsep ini, tentu titik persoalannya bukan pada agama, namun pelakunya. Pelaku agama yang “sungguh-sungguh” pernah dan akan berhasil memberlakukan keadilan sosial, menegakan etika, dan etos transformasi sosial, karena agama memang memiliki begitu banyak kaidah kehidupan sosial. Secara aqidah pun sesungguhnya relasi pada Tuhan dapat dimulakan dari relasi antar-manusia. Hal ini lah yang sekiranya perlu dibina kembali,bukan memberlakukan agama menjadi lembaga himpunan dogma teologis dan layanan ritual untuk menghibur mereka yang tengah berduka dan tersuruk dari panggung kehidupan, seakan-akan agama hanya diperlukan di saat berkeluh kesah dan berdosa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar