*Dipublikasikan juga di Pontianak Post, 14 Agustus 2012
Lelaki tua bernama Jumena itu, duduk sendiri. Ia memandang sepi pada tali di hadapannya, yang disediakan untuk menggantung dirinya. Jumena lalu beranjak ke arah tali, dan bersiap-siap untuk mati sampai akhirnya ia berkata “Kalau saya bunuh diri, sandiwara ini tidak akan pernah ada.”
Lalu, lakon Sumur Tanpa Dasar, yang ditulis Arifin C. Noer, antara tahun 1960-1970 (terdapat berbagai versi mengenai ini), pun bermula. Semua alur dan jalinan konflik bertitik fokus pada tokoh Jumena, tokoh yang berorientasi pada materi dan rasionalitas, yang mengabaikan relasi sosial (ia tidak mempercayai semua istrinya, termasuk istri keempatnya, Euis, karena beranggapan mereka bermaksud mendapatkan hasil dari timbunan hartanya; menuduh Marjuki, adik angkatnya, dan semua karyawannya, berniat menipu dirinya), tokoh yang berteriak akan melawan malaikat dan setan-setan yang berani mengganggu lemari uangnya, dan tokoh yang bingung dengan eksistensinya. Karena itu, Jumena bisa dibilang mengidap krisis eksistensi. Krisis eksistensi Jumena tersebut yang menjadi pokok alur, dari awal hingga layar tertutup. Dan, tidak ada akhir konflik. Tidak ada penyelesaian konflik. Seakan-akan, Jumena sesungguhnya tidak mati.
Sebab, apa yang dialami Jumena memang tidak berdasar. Berputar-putar begitu saja. Jumena adalah manusia yang bimbang mengenai makna hidup sejati dan tidak pernah “mendapat apa yang dicari” atau tenggelam dalam “sumur tanpa dasar”. Dalam kerangka filsafat, hal tersebut amat bersentuhan dengan konsep eksistensialisme. Arifin memang pernah mengakui, ia ada dipengaruhi oleh pemikiran Freud dan beberapa pemikir eksistensialisme. Mungkin Albert Camus menarik perhatiannya juga, sebab beberapa teks lakon Sumur Tanpa Dasar mirip dengan Caligula, naskah besar si Camus. Dan Caligula itu, menekankan eksistensialisme yang absurd; bahwa hidup adalah sesuatu yang riddicolous, konyol. Atas dasar itu, Caligula pun merasa bebas untuk membunuh, memerkosa, dan merampok. Tapi Arifin bukanlah Camus. Jumena bukanlah Caligula.
Tidak ada pembunuhan besar-besaran yang dilakukan Jumena. Tidak ada kematian tragis yang menjadi akhir riwayat Jumena. Arifin tidak ingin “mematikan” tokoh ini, sebab ia mengira-ngira bahwa Jumena akan selalu ada. Jumena hanya simbol ucapan selamat datang kepada era modern. Jumena diciptakan Arifin, terutama untuk Indonesia “Saya melihat potret orang masa kini alias ‘modern’ dalam diri dan konflik Jumena Martawangsa, lelaki tua yang sukses tapi harus menghadapi suksesi itu....dan yang lebih penting tokoh Jumena mewakili orang Indonesia sekarang, yang merupakan ajang pertempuran antara masa-silam dan masa-depan, antara kekolotan dan kemajuan, antara kemapanan dan perubahan antara idealisme dan materialisme. Antara Tuhan dan Dajjal. Suatu pertempuran fikiran yang menyebabkan Jumena menjadi porak poranda sebagai manusia”.
Arifin nampaknya benar. Sejak Indonesia beralih dari negara terjajah ke negara merdeka, lalu dari era Soekarno atau era Soeharto, dan era-era lainnya lagi, Indonesia tidak pernah lepas dari pertikaian ideologi, secara massal ataupun individual. Masing-masing berusaha mencari dirinya. Terus berlangsung hingga dekade dekat-dekat ini. Tentu, makna ideologi disini tidak sekadar isme-isme yang sering dibahas dalam pelajaran sejarah perpolitikan. Kecenderungan sosial dan budaya juga masuk dalamnya. Termasuk juga, kecenderungan untuk berlaku seperti Jumena yang berorientasi pada materi.
Majalah Tempo, edisi 20-26 Februari 2012, mewartakan, lima puluh persen lebih penduduk Indonesia, secara statistik, adalah kaum menengah ke atas. Suatu hal yang menggembirakan jika dilihat dari sudut pandang ekonomi. Tetapi, eksistensi seseorang tentu tidak hanya ditandai oleh statistik finansialnya. Karena sering, orientasi materi hanya menutup mata seseorang terhadap keberadaan orang lain.
Bukan perihal yang mengherankan jika suatu saat kita temui seseorang yang memiliki koleksi tas Hermes, baju Hugo Boss, atau bahkan mobil Alphard hanya untuk dipakai sesekali. Bukan hal yang aneh bila ada kita temui seseorang dengan berbagai macam koleksi sepatu dengan harga minimal sekian juta hanya untuk disimpan di almari. Dan saya pribadi, pernah kenal seseorang yang lebih rela menghutang buku kuliah demi pergi ke Singapura, menonton boy band Korea. Sebagian bergerak dengan tujuan gengsi dan materi. Orientasi pada hal-hal itu muncul karena perkembangan budaya.
Perkembangan budaya, banyak faktor yang turut andil di dalamnya. Pasar, gejala si Narcissus yang tidak tertahankan, pendidikan, dan macam-macam lagi. Kesemuanya, pada akhirnya, hanya menjadikan seseorang menjadi individualistis. Semakin nampak nyata bila mereka disandingkan dengan orang-orang yang bersusah payah hanya demi memenuhi kebutuhan, yang jumlah mereka tidak sedikit. Kalau keironisan tersebut tidak menggugah mereka, akan menjadi tidak masalah. Namun yang kerap terjadi adalah, masalah dan masalah. Memang hidup akan selalu diliputi masalah. Tinggal memilih saja, ingin masalah yang rada prinsipil atau konyol. Dan masalah yang ditimbulkan karena gengsi nampaknya sesuatu yang konyol. Ada orang yang terjerat hutang hanya karena ngebet punya rumah baru. Ada orang yang jatuh miskin gara-gara belanja blak-blakan dengan kartu kredit. Ada orang yang terjerat kasus korupsi karena agar mendapat gelar haji. Akhirnya, yang tampak jelas dari mereka hanyalah kehadiran Jumena-Jumena baru.
Lalu kita bertanya-tanya, bagaimanakah memenuhi impian agar meninggal dengan tenang, dikelilingi sanak tercinta, dihembus angin pantai, dan senyuman? Sebab, itulah impian terbanyak dari umat manusia, menunjukkan bahwa yang dicari manusia dari kehidupan adalah kebahagiaan. Lantas, kita pun melangkah ke dalam agama, ke dalam seminar enterpreneurship, ke dalam profesi, ke dalam buku-buku. Masing-masing dengan jalannya masing-masing. Masing-masing dengan keyakinannya masing-masing. Masing-masing ingin menghindari diri dari menjadi Jumena. Dan Arifin mencoba membantu. Katanya, setelah lama lakon itu ia tulis, kesalahan Jumena yang paling fatal adalah; tidak lagi sepenuhnya kepada Tuhan (Teater Tanpa Masa Silam, 2005:160).
Namun, “eksistensi manusia” sama artinya dengan “semua bergantung pada manusianya”. Langkah kaki, tetap manusia yang melakukannya. Mungkin, bisa dimulai dari mencari makna sesungguhnya dari “ketenangan”.
“Kalau saya bisa percaya, saya tenang. Kalau saya bisa tidak percaya, saya tenang. Kalau saya bisa percaya dan bisa tidak percaya, saya tenang. Tapi, saya tidak bisa percaya tidak bisa tidak percaya, jadi saya tidak tenang. Tapi juga, kalau saya tenang, tak akan pernah ada sandiwara ini” ujar Jumena. Dan begitulah realitas kehidupan (baca; sandiwara), dari rahim yang tenang, kita lahir untuk mencari ketenangan, sampai atau tidak sampai.
Terima kasih.
Singkawang, 1 Agustus 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar